MY HUSBAND IS PARLIN [ Part 25 ]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="MY HUSBAND IS PARLIN [ Part 25 ]">

MY HUSBAND IS PARLIN [ Part 25 ]

  • SUAMIKU JADUL
  • Part 25
  • Nia Sudah Bersalin

" Biar Suami Jadul, Yang Penting Duit Ngumpul "

 FORTUNA MEDIA -  Akhirnya Aku melahirkan secara normal, bayi lelaki seberat tiga koma tiga kilo gram. Ketika Bang Parlin mengazankan bayi kami, suaranya sangat merdu sekali, sampai perawat menghentikan aktivitai mendengar suara azan Bang Parlin. 

Para keluarga datang menjenguk, Abangku yang tertua juga datang. Sepertinya Abangku ini sudah berubah, dia tak lagi bicara merendahkan, tak juga bicara meminjam. Tak menyinggung soal kekayaan Bang Parlin sama sekali. 

"Suamimu membuat aku kena mental, Nia,"   Kata Abangku menjawab pertanyaan di hati. 

"Kena mental?"

"Iya, Nia, soal keperluan, soal keinginan, soal merendah, soal menilai orang dari penampilan, Ah, aku banyak belajar dari dia,"   Kata Abangku. 

Keesokan harinya Ayah mertua juga datang dari kampung. Beliau datang membawa oleh-oleh Ulos khas Batak. Mereka menyebutnya Parompa, bukan ulos baru, tapi ulos yang katanya sudah berusia enam puluh dua tahun, yang beliau dapat ketika lahir. Luar biasa, kain yang sudah enam puluh dua tahun masih kelihatan baik. 

Dua hari kemudian kami pulang ke rumah, tamu terus saja berdatangan. Bahkan Bang Panyahatan datang dari Jambi.  Anehnya hadiah mereka untuk anakku, semuanya sama, yaitu Ulos Batak, untuk apa anakku ulos sebanyak ini, dipakai pun tak bisa? 

Terjadi perdebatan ketika Ayah mertua memberikan nama untuk anakku. Dia menamainya seperti orang dari zaman dahulu. Rakkaya Sutan Pinayungan Siregar, itu nama yang diberikan Ayah mertua. 

"Untuk menabalkan nama ini kita pulang kampung dulu, potong kerbau."  kata Ayah mertua. 

"Tidak setuju Aku, Mang Boru,"  protesku langsung. 

"Kenapa, Dek?"  Tanya Suami. 

"Tak adakah nama lain, kenapa harus nama orang zaman kerajaan?"

"Itu nama bagus, Maen," kata Ayah mertua.

Mereka lalu berbicara dalam Bahasa Batak, Aku jadi pendengar yang baik, Eh, tidak, pendengar yang kesal, mereka bahas nama anakku tapi tidak kumengerti, kesal kan? 

Setelah mereka berbicara panjang lebar.  Akhirnya mereka berhenti juga, mungkin sudah dapat keputusan. Aku deg-degan menunggu nama apa yang akan mereka berikan pada anakku. Biarpun Williams Shakespeare bilang "Apalah arti sebuah nama?"  akan tetapi bagiku nama itu sangat penting. 

"Begini, Maen, orang Batak Angkola biasanya punya dua nama, nama gelar dan nama lahir nama gelar didapatkan setelah si anak di-upa-upa, atau di-Adati. Jadi tadinya saya ingin sekaligus meng-Adati dan memberikan nama, akan tetapi saran dari Parlin soal nama lahir diserahkan sama Maen, kerana Maen bukan Orang Batak, jadi kami tak bisa paksakan. Akan tetapi, nama gelar tetap kami yang buat dan tabalkan,"  kata Ayah mertua panjang lebar. 

Kutatap Bang Parlin, dia tersenyum,  Aku lega, suamiku ini memang selalu punya solusi jitu. Aku dapat hak memberikan nama untuk anakku. Soal nama gelar ya, terserah mereka. Akan tetapi siapa nama yang akan kuberikan pada anakku ini?  Hari itu pernah Suami bilang namanya Ahcin Pani, singkatan dari buah cinta Parlin dan Nia. Akan tetapi nama itu menurutku terlalu lebay/poyo. 

Akhirnya kutemukan nama yang tepat, yaitu:  Pahlavi Siregar, masih ada pa-nya, akan tetapi lebih moden. Suami setuju, dengan sarat nama gelar tak lagi kuganggu gugat. Ayah mertua pulang,  Bang Nyatan juga pulang. Telah disepakati setelah anakku empat puluh hari akan digelar Acara Mengayunkan dan sekaligus menabalkan nama dan upa-upa untuk anakku. 

    RELATED POST

Novel Collection
The Story of The Prophet Muhammad SAW

Mantan tetanggaku juga datang melihat anakku, akan tetapi dia justru pasang wajah masam. 

"Kenapa sih, Mbak Nia harus rahasia segala, aku jadi malu,"  katanya. 

"Rahasia apa, Bu?"

"Itu rumah kontrakan, kenapa tak bilang kalian yang punya, kok pura-pura miskin sih?"

"Oh, maaf, Bu, itu Ayahnya anak ini,"  Kata seraya menunjuk anakku. 

"Kan aku datang ke yang punya rumah, mahu minta keringanan, kerana belum bisa bayar, Eh, disuruh datang kemari, kutanya mahu apa, katanya kalian yang punya rumah,"

"Sekali lagi, maaf, Bu,"

"Jadi kami minta keringanan dulu, Mbak Nia, dua bulan lagi baru narik jula-jula, dua bulan lagi kubayar ya, Mbak?"  kata mantan tetangga ini lagi. 

"Oh, kalau masalah itu, tanya Bang Parlin, Aku tak tau itu, Bu," kataku kemudian. 

Di saat bersamaan datang Bang Parlin bawa api di baskom/baldi zing. 

"Buat apa itu, Bang? Oh, ya, ini Ibu ini mau bicara," kataku kemudian. 

Si Ibu mantan tetangga kami itu kemudian kembali mengutarakan maksudnya minta keringanan. 

"Boleh, boleh,"  kata Suami singkat. 

Tamu itu akhirnya pulang. Aku masih hairan melihat Bang Parlin menyalakan api di baskom zing, aromanya juga seperti lain. 

"Apa itu, Bang?" tanyaku lagi. 

"Parsiduduan, Dek?"

"Pakai bahasa Indonesia, Bang,"

"Tak tau aku bahasa Indonesianya, Dek, pokoknya ini obat orang baru melahirkan, biar rapat kembali."  kata Suami lagi. 

"Obat, obat apaan, Bang?"  Aku makin hairan.

"Begini, Dek, ini obat orang yang habis melahirkan, biar jalan lahir si Ucok itu kembali rapat, di kampung orang melahirkan selalu begini obatnya,"  Terang Suami. 

"Ya, Tuhan, terus itu api diapakan?"

"Begini, Dek, ini asap, bukan api, sudah ada ramuan dibakar di sini, jadi setiap pagi dan sore kau gini, Dek,"   Kata Suami seraya memperagakan. Dia ngangkang di atas bara api tersebut. 

"Maksud Abang iniku diasapi biar cepat kering gitu?"  kataku seraya menahan tawa. Sungguh baru kali ini kulihat dan kudengar ada obat seperti ini. 

"Ya, begitulah, Dek, namanya  " marsidudu " Bahasa Indonesia yang Abang tak tau,"

"Tidak mau, Bang, ini bukan tahun tujuh puluh, ini bukan di Desa yang melahirkan pakai dukun beranak."

Akan tetapi Bang Parlin terus memaksa, akhirnya Aku nurut saja, dengan hanya memakai sarung,  Aku berdiri seraya mengangkang di atas bara tersebut. Rasanya hangat, entah ini pengobatan macam apa, Aku nurut karena percaya pada Suami. 

Keesokan harinya, Aku sudah menunggu parsiduduan tersebut, akan tetapi Suami tak bawa lagi. Dia justru sibuk menggantikan popok anakku. 

"Mana Parsidudududuan itu, Bang,"  Tanyaku. 

"Abang buang, Dek,"  Jawab Suami tanpa menoleh. 

"Lho, kok dibuang?"

"Ternyata zaman sudah berubah, Dek, ilmu pengobatan juga makin canggih. Itu-mu sudah dijahit doktor, tak perlu lagi parsiduduan,"  Kata Suami. 

"Hahaha, hahaha,"😂

"Kok ketawa, Dek?"

"Dari siapa Abang tau?"

"Itu, Bou kan datang kemarin, jadi nampak dia Aku angkat parsiduduan itu, dia tertawai Aku, katanya obat yang begitu untuk yang melahirkan dibantu Dukun beranak, Abang jadi malu, Dek,"  Kata Suami lagi. 

"Hahaha, hahaha," 😂  Aku makin tertawa lebar. 

"Takut kali Abang punyaku tidak rapat lagi, ya, Bang?"

"Sudah, Dek, jangan bahas lagi, Abang malu, ternyata jzman sudah berubah, Abang juga harus berubah, supaya kita tak ketinggalan zaman,"  Kata Suami. 

Ternyata insiden parsiduduan itu bisa merubah Suami, dia mulai sering pegang HP-ku, tentu saja Aku khawatir, kerana bila Suami bergaya bak orang zaman sekarang, akan banyak godaan, pelakor (perampas laki orang) banyak bergentayangan di medsos. 

"Dek, ini, masukkan Simkad, katanya, sudah kubeli dan kumasukkan, terus masukkan e-mail, katanya lagi, di mana lagi dimasukkan di sini, Dek? terus E-mail-nya beli di mana?" kata Bang Parlin di suatu malam, tiba-tiba saja dia sudah bawa pulang HP baru.

Aku berusaha kuat menahan tawa, Aku takut Suami tersinggung bila Aku tertawa, dia selalu dapat solusi tentang kehidupan, akan tetapi langsung buntu jika berhadapan dengan teknologi. 

"Ingat keperluan atau keinginan, Bang,"  kataku seraya menunjukkan jari telunjuk. 

"Ini keperluan, Dek, Abang jadi malu disuruh googel sama doktor," 

"Hahaha, hahaha," 😂  Akhirnya tawaku pecah juga.[hsz] 

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; Novel Collection

Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani 

#indonesia, #Novel, #NovelKomedi, #CeritaBersambung, #Cerbung,  #SuamikuJadul, 

VIDEO :  

VIRALNOW! MEMBONGKAR NASIB PARA DUKUN FENOMENAL DI INDONESIA

No comments