MY HUSBAND IS PARLIN [ Part 24 ]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="MY HUSBAND IS PARLIN [ Part 24 ]">

MY HUSBAND IS PARLIN [ Part 24 ]
  • SUAMIKU JADUL
  • Part 24
  • Abang Bohong Lagi

" Biar Suami Jadul, Yang Penting Duit Ngumpul "

 FORTUNA MEDIA -  "Abang bohong lagi?"  Kataku di sela tawa. 

"Bohong di bagian mananya, Dek?"

"Mengapa Abang bilang kerja sopir Istri juragan sawit?"

"Memang betul, Kok, untuk saat ini pekerjaan Abang memang hanya bawa-bawa Istri juragan sawit, Abang kan tak bohong,"

"Abang memang bohong?"

"Ada juga memang bohong Abang tadi,"

"Yang mana, Bang,"

"Abang bilang bawa Istri juragan cantik, padahal ... "

"Padahal apa, Bang?" 

"Padahal bukan cuma cantik, tapi cantikkk sekali,"

Kami sama-sama tertawa, kuelus perut yang sudah masuk delapan bulan, sebulan lagi Aku akan melahirkan. Deg-degan juga menunggu, kerana kata orang hamil di atas umur tiga puluh tahun itu sangat beresiko. Saat ini umurku sudah tiga puluh tiga. Aku lalu teringat perlengkapan bayi yang belum dibeli. 

"Bang Supir, antar dulu Nyonya beli perlengkapan bayi,"  Kataku pada Suami. 

"Siaaap, Bos,"  Jawab Suami seraya bergaya menghormat. 

Suami lalu membukakan pintu mobil, mempersilahkan Aku naik dengan cara menjulurkan tangannya sebelah. 

"Hati-hati jalannya, Bang Supir,"  Candaku lagi. 

"Baik, Nyonya,"  Jawab Suami. 

Sesampainya di toko penjualan perlengkapan bayi, Bang Parlin tetap melanjutkan candaannya, dia bergaya bak supir pribadi, membuka pintu mobil untukku, bahkan pintu kaca toko tersebut pun dia buka. 

Seseorang lalu menghampiriku dan bertanya mahu cari apa. Akupun memilih apa yang ingin kubeli. Ketika Aku memilih-milih, Suami masuk ke toko. Dia masih melanjutkan candaan, keterlaluan memang. 

'Yang ini barangkali cocok, Nyonya,"  Kata Bang Parlin seraya menunjuk ayunan elektrik. 

"Tak mahu yang begitu, Bang supir, Aku mahu yang biasa saja,"

"Mungkin ini juga cocok, Nyonya,"  Kata Bang Parlin seraya menunjuk botol minum susu bayi. 

"Bayiku nanti minum susu Ibu, bukan susu formula,"  Kataku lagi. 

Tiba-tiba pegawai toko itu mengusir Bang Parlin. 

"Bang Supir, sebaiknya tunggu di luar saja, tahu apa pula supir urusan bayi,"  Kata pegawai toko itu. 

Aku tertawa, akan tetapi Bang Parlin tak tertawa, dia justru melanjutkan candaan sandiwaranya. 

"Aku memang supir, tapi tahu betul urusan bayi, apalagi itu bayiku,"  Kata Bang Parlin. 

Staf toko itu menatap hairan, mungkin di fikirannya kami ini pasangan sopir dan majikan yang selingkuh. Mengingat penampilan Suami yang memang mirip sopir, ditambah lagi Aku memanggil Bang Parlin dengan panggilan "Bang Sopir"

"Sudah, Bang, tunggu di luar aja,"   Kataku akhirnya. Bang Parlin menurut, dia akhirnya keluar dan kulanjutkan aktivitiku memilih perlengkapan bayi. 

"Sopir kok gitu, ya, urusan majikan pun mahu dia urus,"  Kata staf toko tersebut. Hanya kubalas dengan senyuman, malas juga untuk menerangkan. 

Ketika semua sudah selesai, kupanggil Suami untuk bantu angkat, Suami malah masih melanjutkan candaan, dia memang seperti itu, dianggap orang sopir, dia akan berperanan sebagai sopir. 

"Ini saja, Nyonya,"   Kata Bang Parlin seraya menunjuk barang belanjaannya. 

"Iya, Bang," 

"Kau punya kelambu ini,"   Kata Bang Parlin seraya mengelus perutku yang sudah besar. 

Kulihat staf toko itu, dia bisik-bisik dengan temannya. Kami keluar, ketika Aku melihat ke belakang, dua staf masih menatap kami. Mungkin kami akan jadi bahan gosip mereka.

    RELATED POST

Novel Collection
The Story of The Prophet Muhammad SAW


Ketika kami sampai di rumah, ada Ria, Adikku yang perempuan. 

"Datang tak bilang-bilang, Ria,"  Kataku seraya menerima uluran salamnya. 

"Aku gak ada pulsa untuk menelepon, Kak," kata Ria. 

"Jangan pura-pura miskin, nanti benaran miskin,"   Candaku kemudian. 

"Silakan masuk,"   Kata Bang Parlin seraya mengangkat barang belanjaan kami. 

Ria duduk di sofa,  Aku segera ke dapur ambil minum. 

"Ada apa Ria, wajahmu kok sedih kali nampak," 

Akhirnya tangis Ria pecah, dia belum bilang apa yang terjadi, tapi tangisnya sudah duluan menggambarkan kesedihannya. 

"Ada apa, Ria, cerita dong?"

"Ayahnya Rio, kak, dia dipecat, huhuhuhuhu,"  Kata Ria, Rio adalah anak semata wayang mereka. 

"Baru dipecat kok seperti itu?"   Suami ikut bicara. 

"Sudah dua bulan dia dipecat, Bang Parlin, bagian kami warisan itu mahu dia pakai buka usaha, kan udah kubelikan pertapakan perumahan, dia suruh jual, tapi usaha apa?  Aku takut, kata orang, wang warisan dibuat modal akan habis,"  Kata Ria. 

Kulihat Bang Parlin, minta dia yang bicara, kerana kutahu Bang Parlin selalu punya solusi. Ria adalah Saudaraku yang paling dekat denganku, ketika dia dulu menikah melangkahi Aku, dia sampai nangis seharian, katanya tak tega dia duluan menikah. 

"Dia mau usaha apa?"  Tanya Bang Parlin. 

"Itulah yang tak kutahu, bayar kontrakan rumah pun sudah nunggak dua bulan, aku bingung mau bagaimana lagi,"  kata Ria. 

Bang Parlin lalu memanggilku ke dapur untuk bicara berdua. 

"Dek, kita bayar zakat untuk Ria saja,"  kata Bang Parlin. 

"Tapi belum waktunya bayar zakat, Bang, masih tiga bulan lagi."  Kataku. 

"Iya, bayar zakat lebih dulu kan tidak apa-apa,"   Kata Suami. 

"Apa mereka sudah pantas menerima zakat, Bang?" tanyaku lagi. 

"Sudah, itu sudah termasuk miskin, orang miskin berhak menerima zakat,"

"Nanti saudaraku yang lain iri, Bang, mereka semua nanti minta juga, bagaimana?"

"Ya, tak usah bilang-bilang," 

Kami kembali ke ruang tengah, Ria masih duduk menunggu, matanya masih basah. 

"Begini saja, nanti malam ajak Suamimu ke mari, kita bicara di sini," kata Bang Parlin. 

Ria pulang, sebelum pulang, Bang Parlin memberikan wang pada Rio anak Adikku tersebut. Ria tampak senang sekali, senyumnya merekah melihat wang Merah tersebut.

Malam harinya, sSami Ria datang bersama Ria dan anak mereka Rio yang masih empat tahun. Selama ini Suami Ria bekerja di perusahaan retail, di bagian gudang. 

"Mau usaha apa rupanya?" tanya Bang Parlin. 

"Belum tau, Bang," 

"Cari modal, tapi tak tahu usaha apa?"

"Aku juga bingung, Bang, sudah sembilan tahun aku kerja di situ, tiba-tiba disuruh mengundurkan diri, alasannya peremajaan,"  Kata Suami Ria. 

Oh, aku baru faham, ternyata ini alasannya kenapa pekerja di Indomart dan Alfamart tak ada yang tua. 

"Jaga kebun sawit, mau?"

"Mau, Bang, tapi kan modalnya besar,"

"Begini, kami ada lahan baru, pernah kami buat peternakan lembu di situ, tapi yang jaga justru melarikan diri setelah menjual lembu tersebut. Jadi, kalau kalian mau, kalian di situ saja, kami gaji sesuai UMR, terus dikasih ternak lembu untuk kalian urus,"   Kata Suami. 

"Mau, Bang, mau,"   kata Suami Ria. 

Bang Parlin lalu menulis surat, lalu memberikan ke suami Ria, pergilah ke Desa, temui Ayahku, ini alamatnya, berikan surat ini, nanti beliau akan mengurus semuanya. 

"Iya, Bang, kami akan pergi besok, karena kontrakan kami kebetulan sudah habis." kata Suami Ria. 

Suami lalu memberikan wang tiga puluh juta. Ria tampak hairan. 

"Saya serahkan zakat harta saya, untuk kalian, semoga bisa dimanfaatkan,"  Kata Bang Parlin seraya menyalami Suami Ria. 

Ria kembali menangis, Aku yakin kali ini bukan tangis sedih lagi, akan tetapi tangis bahagia. Mereka pulang setelah lebih dulu berkali-kali berterima kasih. 

"Mana tahu suatu hari nanti kalian sukses, bayar juga zakat kalian seperti ini, cari orang yang benar-benar perlu,"  Kataku kemudian, Aku takut Suami lupa berpesan tentang kebaikan berantai itu. 

"Bang, kalau mereka larikan wang kita lagi, Aku gak tanggungjawab ya,"  kataku pada Suami. 

"Iyaa, Dek, lagian mana pernah Abang minta Adek tanggung jawab," 

Dua hari kemudian, dua adik lelaki ku datang, mereka datang sambil bawa oleh-oleh gorengan. 

"Bang Parlin memang baik, sama saudara tidak pernah perhitungan,"  Kata adikku yang bungsu. 

"Bang, kami juga minta modal lah, kayak sama Ria itu,"  Sambung Adikku yang nombor dua dari bawah. Duh, Aku sungguh lupa berpesan pada Ria supaya tak bilang ke orang lain. 

"Untuk apa?" kata Bang Parlin. 

"Aku mau beli mobil, Bang,"

"Aku mau beli motor LC-X, Bang,"  kata adikku yang lain. 

"Apa kalian merasa sudah jadi orang yang berhak menerima zakat?" tanya Bang Parlin. 

"Bisa, Bang,"

"Bisa apanya?"

"Kami bisa pura-pura jadi orang yang berhak menerima zakat," 

"Hei, kita itu sesuai keinginan kita, kalau mental kalian seperti itu, ya, begitu selamanya, selamanya jadi penjilat,"  kata Suami. 

Muka adikku tampak merah. "Kok Abang gitu, bilang kami penjilat?" katanya. 

"Ini untuk apa gorengan?" 

"Ya, untuk abang,"

"Tumben bawa gorengan?"

"Kerana... "

"Kerana kalian mau minta wang, inilah yang namanya menjilat, semoga kalian bisa sadar,"  kata Suami. 

Mereka akhirnya pulang, jelas terlihat kekecewaan di wajah mereka. Aku merasa tak enak juga melihat saudaraku itu. Bang Parlin bisa sangat dermawan, akan tetapi bisa juga sangat perhitungan. 

"Padahal mereka lumayan, dua-duanya kerja, tapi mental penjilat," kata Bang Parlin setelah kedua saudaraku pergi. 

Ada juga rasa sakit hatiku, ketika Bang Parlin memperlakukan saudaraku seperti itu, akan tetapi benar juga, mungkin dengan begini mereka bisa sadar. 

Tiba bulannya Aku melahirkan, Suami benar-benar jadi Suami siaga. Perlengkapan ke rumah sakit disediakan di mobil. Subuh itu kami jalan-jalan di seputaran perumahan, kaerana kata doktor jalan di pagi hari bisa memudahkan persalinan. 

"Dek, Abang deg-degan mau ke rumah sakit ini," kata Suami. 

"Lho, yang mau melahirkan itu Aku, Bang, kok Abang yang deg-degan ". 

"Abang belum pernah ke rumah sakit,".

"Mana mungkin?"

"Iya, betul, Dek, seumur hidup belum pernah ke rumah sakit,"

"Wah, emang Abang gak pernah sakit atau antar saudara sakit?"

"Belum, Dek, ada tiga hal yang kuhindari berurusan dengannya,"

"Apa saja,"

"Rumah sakit, kantor polisi dan rumah dukun,"

"Hahaha,"  ðŸ˜‚ Aku tertawa ngakak, ternyata Suamiku ini memang benar-benar unik. 

Tiba-tiba perutku rasanya sakit, entah kerana terlalu ngakak yang tertawa itu Aku tak tahu. Kurasa ini, sudah waktunya. 

"Bang, sudah saatnya, Bang,"  kataku seraya memegang perut. 

Suami gerak cepat, dia justru berlari meninggalkanku, beberapa detik kemudian kembali lagi, lalu berteriak memanggil beca yang kebetulan lewat. 

"Kita kan punya mobil, Bang,"  kataku setelah naik ke becak. 

"Duh, Abang lupa, bentar kuambil," kata Suami seraya menyuruh becak berhenti, baru turun berlari, lalu kembali lagi. Aku tersenyum melihat Suami yang tampak panik. 

"Sudah, kita naik becak saja,"  katanya. Padahal bisa saja dia suruh becak memutar pulang. 

"Ketika sampai di rumah sakit, langsung ke ruangan bersalin,"

Baru kali ini kulihat Suami sepanik ini. Suami ngotot tak mahu keluar dari ruangan ketika perawat menyuruh menunggu di luar.  [hsz] 

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; Novel Collection

Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani 

#indonesia, #Novel, #NovelKomedi, #CeritaBersambung, #Cerbung,  #SuamikuJadul, 

VIDEO : 

USTAZ FELIX SIAUW BICARA DAHSYATNYA FRAMING ISLAMPHOBIA DI INDONESIA

No comments