MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 30]


<img src="fazryan87.blogspot,com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 30]">

MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 30]

Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para Sahabat

WAITING FOR GAMA

K-ULIAH K-ERJA N-GEKEK

Pagi itu Saya mual campur pusing tujuh keliling. Bukan kerana mahu M, tapi gegara dikocok dalam kabin bus, Sedya Utama menuju lokasi KKN di Wonogiri.Jawa Tengah, KKN tenan iki, ndes! Bukan Kuliah (tapi) Kerjane Ngetik, he he.. (KKN itu seperti Praktikal before graduate-editor)

Baru tahu, ternyata jalan menuju lokasi adalah campuran antara roller-coaster, see-saw dan dermollen yang memutar, berliuk-liku, naik-turun (Yang rumahnya Wonogiri "coret", pasti faham lah 😂)

Pil Antimo (Pil anti-mabuk) dua biji yang saya telan bersama satu gelas teh manis, dua lonjor arem-arem, dan empat bakwan, sama sekali tak berguna. Kenyang iya, ngantuk iya, tapi mual jalan terus. Walhasil, rekod saya tidak mabuk perjalanan selama 12 tahun pun rontok.

Tak terkecuali, gondeser baru selokasi: Ranti (FKIP), Retno (FH), Setyo (FS), Widi (FE), Juni (FKIP), pun teler dengan suksesnya. Bahkan Setyo sang Koordinator Desa (Kordes) saat singgah di kantor Bupati Wonogiri menyempatkan diri untuk.. kerokan!

("Kerokan"- Teraphi buang angin-badan kebiasaan Orang Jawa, dengan dikorek/kerok badannya dengan duit syiling/coin-editor)


Dawungan, itulah nama desanya. Kata dosen-(lecture) pembimbing KKN, letaknya sih "di seputar kota Wonogiri saja." Tapi ketika sampai di ibukota kabupaten, kernet-(kondektur) bus--yang ikut mabuk--bilang, "Alhamdulillah sudah separuh jalan!" 

Hah, separuh?


Yup. Ternyata dari ibukota kabupaten, masih ke Timuuuur... lagi. Melewati Ngadirojo, Sidoharjo, Jatipurwo, lalu Jatisrono. Dari Jatisrono, belok kanan 10 km ke Kecamatan Jatiroto. Sampai? Ternyata belum..

"Desa Dawungan-nya sebelah mana, Mbak?" tanyaku kepo ke seorang staf kecamatan, saat acara serah-terima dengan Pak Camat.

"Masih 11 kilo lagi, pak!"

"Mas!" ralat saya sambil sedikit mendelik. Jindul ik, jik imut ngene diceluk pak! Lagi pula, sejak kapan aku menikahi ibumu, nak? Hi hi hi...

"Serius, masih 11 kilo?" 


"Dua rius. Pokoknya masih ngliwati dua gunung, dua sungai, dan dua Desa lagi. Ya, 12 kilo lah.."

Wooohh... kok jadi lebih? Jangan-jangan gara-gara takpendeliki tadi, njuk jaraknya diimbuhi? He he.. urik juga mbake ini!

Tapi apes tenan ki, Ndes.. kendaraan colt pick-up yang disewa pihak kampus ternyata hanya bisa ngantar rombongan sampai ke Desa Cangkring, 5 kilometer dari kecamatan (daerah). Sementara untuk yang kebagian Desa Dawungan, dimohon meneruskan by-sikil sejauh 7 kilometer lagi!

"Mantap!" cetus Setyo yang kebagian bawa lampu petromax dan seabreg peralatan berukuran besar "Tahu begini, saya paketkan!" keluhnya. 

Tentu dia guyon. Mana ada jasa pengiriman sampai ke Indonesia bagian kemringet seperti ini!

Teman-teman cewek yang prinsipnya "palugada: apa yang lu gak butuh pun gua ada" alias semua barang dibawa, sudah pasti uring-uringan tak terkira. Porter, mana porter?

Saya yang bawa tas besar dan gitar pun meringis. Ingin rasanya saya banting saja itu gitar, ngrepot-ngrepoti saja. Eh, tapi regane larang je, Ndes, 27 kali ngamen!

Jadilah kami hiking siang itu. Atas arahan pak Kades (Kepala Desa) Cangkring, kami disarankan ambil jalan pintas lewat jalan setapak, memotong Bukit Cemoro Telu. "Menghemat satu kilo," katanya.

READ MORE
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 29]




Sebagai pemandu jalan, pak Kades menugaskan keponakannya yang namanya Mas Madi. Ada juga empat orang pejantan tangguh yang ditugas-fungsikan layaknya Sherpa-nya Tenzing Norgay. Jika Ndes(bro) bingung, bahasa Solone: tukang panggul tas-bag! 

Tak lupa, kami juga dibekali nasi bungkus, sayur, lauk, gorengan, pisang dua sisir dan air minum satu ceret besar.

"Waaah, hik Maido kalah komplit iki," celetukku spontan.

Eh, mendengar kata "Maido", tiba-tiba semua saling pandang, saling senyum, lalu terkekeh-kekeh sak Cut-nya... 

Setelah saya tanya, jindul ik... ternyata semua kenal dengan sosok pengumbar makian yang bertahta di Jalan Kolonel Sutarto itu! Wah, tenar tenan si Mbahe!

"Saya pelanggan setia, ya makanannya, ya pisuhannya," ujar Retno geli.

"Wah, kalau begitu, kita satu guru satu ilmu. Sama-sama dapat kuliah Ilmu Umpatan Dasar 6 SKS!" cetus Widi, disambung tawa ngakak bersama, kali ini adiknya gak ikut, hehe..

Berkat Maido, komunikasi anggota geng baru yang semula kaku, menjadi lancar dadakan. Bahkan kerana merasa sesama alumni Al Maido, kami merasa berhak saling memanggil "gondes" satu sama lain. 

Perjalanan yang panjang dan suntuk itu pun mendadak berubah ceria. Awalnya kami jalan sambil nyanyi "Naik-naik ke Puncak Gunung", kerana di kiri kanan benar-benar banyak pohon cemara.

Separuh perjalanan, saat peluh mulai bercucuran, lagunya kami ganti menjadi "Maju Tak Gentar". Maklum semangat masih makantar-kantar.

Tapi jelang etape terakhir, saat medan makin berat, dengkul kami goyah, keringat tumpah, tenaga musnah, konsentrasi bubrah. Maka lagunya kami ganti lagi menjadi "Gentar Tak Maju".😄

Sumpah, Saya yang asli anak gunung saja hampir putus nafas. Juni, Setyo dan Widi bahkan sudah minta time-out empat kali. Beruntung Retno dan Ranti, cukup tangguh. Coba kalau duo R ini sampai tumbang, kami tentu akan kerepotan kerana harus ping suit dengan para "Sherpa" untuk menentukan siapa yang berhak untuk... menggendongnya! 

Baru ngeh sekarang, mengapa Pak Kades Cangkring membekali kami dengan makanan seabreg-abreg. Ternyata perjalanannya memang menguras tenaga. Maka saat Desa Dawungan kelihatan di kejauhan, pencapaian itu pun kami rayakan dengan membongkar bekal dan kami serbu bersama. 

Makan sambil memandang langit memerah menuju senja dan hutan menghijau di bawah kaki, sungguh tiada banding. 

"Sayang gak ada yang misuhi ya," celetuk Setyo.

Iya ya. Entah mengapa, kami tiba-tiba kangen Mbah Maido!

"Sakjannya Mbah Maido diajak KKN ya. Sebagai peserta kehormatan," usul Widi.

"Setuju! Sak angkringannya dibawa. Tapi terus tugasnya disuruh ngapain, mosok di KKN jualan juga?" tanya Ranti.

"Jangan dikasih tugas. Justru apa-apa yang biasa beliau lakukan, kita yang kerjakan. Mbah Maido gantian kita layani," ujar Retno.

"Ide bagus. Nyiapin nasi kucing, minuman panas-dingin, ngobong (memanggang) 3T (tahu, tempe, telur) biar kita. Mbah Maido yang menyantap," imbuh Juni.

"Ok. Tapi ingat... masih ada satu tugas beliau yang juga harus kita kerjakan," kataku.

"Apa itu?" kejar Setyo.

"Maido! (Ngomel)" sahutku.

"Wah iya ya! Kalau begitu, kita semua yang gantian ngomel. Mbah Maido mendengarkan!" celetuk Juni.

Jiahaha... sepertinya cukup adil! Toh selama ini jasa beliau mengomeli kami sudah banyak. Sekarang giliran kami membalas jasa dengan mengomeli beliau!

Tepat saat matahari terbenam, kami diterima Pak Kades Dawungan dalam kegelapan. Iya, gelap sungguhan, kerana letrik belum ada. Penerangan hanya pakai lampu teplok dan thinthir. 

Awalnya Setyo mahu menyalakan petromax yang ia bawa, tapi setelah dicek ternyata kaos lampunya ambrol, efek terjedot-jedot saat digotong tadi! Ya sudahlah...

Pak Kades (warga menyebutnya Pak Polo) namanya Sarmin. Usianya wow.. baru 21 tahun, di bawah usia kami yang rata-rata 22 tahun. Tak pelak saya pun berkelakar, "Jika boleh, kami akan memanggil njenengan, Dik Polo." 

Ternyata Dik.. eh.. Pak Sarmin setuju! Bwahahaha..

Pak Polo ternyata mantan pemain Kethoprak Desa, bagian Dagelan. Wajar jika urusan ngocol dan guyonan (lawak jenaka), kami kalah jauh! Inilah yang namanya 'the right man in the right place'.
Tukang peringisan ditempatkan di Desa yang dikomandoni dagelan. Klopp.. sak Jurgen-nya!


Kami ditempatkan dalam dua ruangan terpisah. Yang cewek di satu ruangan kecil dengan satu tempat tidur besar. Sedangkan yang cowok di satu ruangan besar dengan empat tempat tidur kecil. Bolak-balik ya...

Saya sih gak ambil pusing soal tidur. Yang mendesak untuk dilakukan sekarang adalah mandi. Sudah gerah banget, dan bau badan sudah sekecut pati kanji. Kandung kemih juga sudah minta di-tap.

"Kamar mandi di mana, Ibu?" tanyaku pada Bu Polo yang masih imut banget itu.

"Oh, di kanan rumah, di bawah pohon asem. Tapi maaf, malam ini semua belum bisa mandi. Sumber air dan sumur kering, selang juga mati. Kami hanya punya air dua ember. Silahkan dipakai untuk yang penting-penting saja," pesan Bu Polo.

Waduuhh... 

Terpaksalah Kordes ambil kebijakan: masing-masing dijatah air tiga gayung. Tidak boleh lebih. Hanya boleh untuk pipis, cuci muka, dan sikat gigi. 

"Lha, nek kebelet nganu piye, Ndes?" tanya Juni khawatir.

"Ditunda wae nganunya. Kalau kepepet ya terpaksanya istinjak, bersuci pakai pasir dan batu kayak di gurun," titah Setyo, disambut tawa kecut kawan-kawan. Ya, kecut banget, sekecut bau badan kami. Kerana kami semua punya kekhawatiran yang sama...

Saya sengaja ngambil giliran ke kamar mandi terakhir. Harapannya sih biar dapat air paling banyak. Tapi saat merogoh ember terakhir.. Ya, salaaam.. ternyata isinya tinggal sak crit!

"Banyune mbok entekke ki piye, ndes?" protesku ke Setyo saat kembali ke kamar. (Airnya kok dihabiskan bro-editor)

"Sori, nda.. kerana gelap, tadi embernya kesenggol dan jatuh," kata Setyo dengan wajah bersalah.

Piye iki? Yang tersisa cuma air teh dalam ceret yang dibawa dari Cangkring tadi. Mosok habis pipis mau bebersih pakai air teh? Nggak ah! Ntar malah kayak terapi pembesaran yang itu....

Ya, sudahlaahh... pipis-(buang air kecil) dan gosok giginya ditunda episode depan saja! 
[hsz] 

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya;
  Misteri Nusantara  

Courtesy and Adaptation of Articles by, Nursodik Gunarjo
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com


VIDEO, 
VIRAL NOW! KUBURAN BOEDI DJ4ROT LONGSOR MENGERIKAN MASYARAKAT SEKITAR RESAH

No comments