MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H [6]
MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H [6]
PART-6Semilir udara pagi yang sejuk dari sekitar Lembah Tidar, serta mentari yang masih tersipu malu. Menemani masyarakat kota Magelang yang mulai berdatangan satu persatu menuju seputaran alun-alun kota. Hari Jum’at pagi ini merupakan hari olah-raga dalam rangkaian kegiatan Hari Jadi kota Magelang.
Nampak para pejabat dari Pemda(Pemerintah Daerah) Kota Magelang, para pelajar, TNI, Polri, PNS serta berbagai NGO-Organisasi Masyarakat, mulai berkumpul di sekitar tower air peninggalan Belanda yang kini berusia 104 tahun. Sebagian berdiri dan berfoto selfi di seputar patung Pangeran Diponegoro menunggang Kuda putih. Sebagian berada di Aksara bertulisan “Kota Magelang, juga pujasera Twin Van Java”.
Acara belum dimulai, aku ada diantara kerumunan orang-orang tersebut, bertugas sebagai tenaga bantuan medis, bersama beberapa rakan sejawatku.
Di tempat yang sama kulihat dari kejauhan sesosok tubuh menjulang AKP. Alex Kapolsek(KetuaPolisSektor/Balai) yang berasal dari satu kecamatan denganku.
“Pagi dr. Niken, akhirnya kita ketemu lagi di Magelang.”
Mas Alex kemudian menjabat tanganku dengan erat.
Akupun menyambut uluran tangan Mas Alex, seraya berkata. “Saya kan sudah stand by sejak pagi disini. Siapa tahu Mas Alex perlu bantuan medis,” ujarku.
“Iya, saya takut pingsan kerana belum sarapan. Maklum jomblo tidak ada yang menyiapkan. “ Mas Alex tersenyum misterius.
“Perlu ku temani?” Gantian aku bergurau
“Boleh, nanti usai olah-raga bersama ini kita sarapan nasi gudeg Bu' Hetty di depan Giant.”
“Wah, selera kita ternyata sama, saya juga lebih memilih gudeg Bu' Hetty, daripada yang lain.”
“Deal...,” Mas Alex kembali tersenyum.
Tiba-tiba gawai-handphone yang tersimpan di saku celana olah-ragaku berdering. Kemudian kulihat sebuah nama yang sangat kukenal. Segera kuangkat, “Hallo ... Anto.”
Kudengar suara terputus-putus dan terbata-bata. “Niken.. bisakah kau ke Yogya sekarang juga. Aku perlu bantuanmu Niken. Santi.. Santi...” terdengar sedu sedan Anto.
Lelaki yang biasanya selalu tenang dan tegar ini nampak sekali tak kuasa menerima kenyataan yang ada.
READ MORE;
MYSTERY CINCIN BERLIAN BERDAR4H [5]
“Ada apa Anto, apa yang terjadi ?” Aku bertanya-tanya dalam hati. Kudengar suara nafas yang mulai diatur juga sedu-sedan yang mulai berubah lirih.
“Panjang ceritanya Niken. Kemarin malam aku mengantar Santi pulang kerumah. Usai siang itu kami kembali dari Bandara Adisucipto mengantar Pak Hanung dan Bu Lisa menuju ke Singapura untuk berlibur. Santi sendiri batal berangkat dihari yang sama, kerana ada tugas yang harus diselesaikan di “House of Santi”. Dia berencana berangkat denganku hari ini, kerana aku juga harus segera melapor minggu depan ke KBRI Singapura".
"Tadi pagi aku bermaksud membangun kan Santi untuk bersiap untuk menuju airport. Namun berkali-kali nombor handphone Santi tak bisa ku hubungi. Akhirnya kerana khawatir kami terlambat, aku segera meluncur ke rumah Santi".
"Pukul 6 pagi aku tiba disana, aku kaget kerana tidak ada tanda-tanda kehidupan, lampu-lampu masih menyala. Tapi pintu pagar garasi dalam keadaan terbuka".
"Aku meminta bantuan dari para petugas keamanan untuk mengecek isi rumah. Ternyata saat kami masuk, rumah dalam keadaan berantakan. Dan kami akhirnya menemukan pasangan Agus dan Sumi dalam kondisi lemas terkurung di dalam kamar mandi".
"Aku segera berlari keatas, menuju kamar Santi. Di sekitar tempat itu kulihat banyak ceceran darah. Dan.. dan... Santi hilang, Niken.”
Kudengar tangis tertahan dari Anto. Aku merasa sangat terkejut sekali. “Tenang Anto, aku segera kesana. Tunggu aku, sebisa mungkin segera hubungi kedua Ibu-Bapa Santi.”
Aku tak sadar ada Mas Alex didepanku, wajahnya menampakkan tanda tanya besar. “Ada apa Niken?”
Secara garis besar kuceritakan apa yang menimpa Sahabatku Santi. Meskipun aku seorang dokter, tapi mendengar berita dari Anto, rasanya lepas semua tulang di tubuhku.
“Niken, sebaiknya ku temani kau ke Yogya, mungkin aku bisa membantumu disana.” ..Aku mengangguk lemas, kulihat Mas Alex segera menghubungi beberapa pihak termasuk anggotanya.
Dan akupun teringat untuk menghubungi Pak Harno agar usai acara Olah-raga HUT Kota Magelang segera kembali ke Kaliangkrik, membawa mobil dinasku.
Sepanjang perjalanan kami berdiam diri, sesekali mas Alex membuka percakapan ringan tentang Santi. Aku berusaha menjawab sedapat mungkin, keterangan ini tentu berguna untuk pemeriksaan nantinya.
Mobil yang dikendarai Mas Alex meluncur menuju kota Muntilan. Pemandangan indah Gunung Merapi tersaji di kiri jalan. Gunung biru menjulang, berpayung awan putih berarak. Dulu dari puncak gunung ini terjadi letupan wedus gembel dan muntahan lahar dingin, yang merenggut jiwa Mbah Marijan juru kunci Gunung Merapi. Disekitar kota ini dulu terdampak keras letupan gunung aktif ini.
Hasil muntahan pasir dan batu-batu dari perut gunung kini jadi sumber kehidupan masyarakat Muntilan. Dijual sebagai bahan bangunan, juga sebagai aneka produk kerajinan tangan pahatan batu alam, mulai dari yang kecil berupa cobek-lesung untuk mengulek sambal, hingga patung-patung indah penghias taman.
Aku terus melamun membayangkan nasib Santi, apakah yang terjadi? Sulit rasanya aku menghadapi kemungkinan terburuk. Tak sadar aku menghela nafas panjang, aku lupa ada lelaki lain disebelahku.
Seolah mengetahui apa yang berkecamuk dibenakku, Mas Alex berkata. “Semoga Santi baik-baik saja, Niken. Kita sama-sama berdo’a.”
“Terimakasih Mas.” Aku kembali melamun. Laju mobil dikemudikan Mas Alex dalam kecepatan sedang, dia nampak sangat terlatih dan tenang mengendalikan mobil. Kami sudah sampai terminal jombor, masuk ke ring-road, terus melaju melalui Monjali (Monumen Yogya Kembali), hingga memasuki jalan Kaliurang.
Kembali aku tersadar ketika kami masuk kedalam kompleks perumahan Santi. Alamat yang di setting melalui Waze memang memudahkan pencarian, sehingga aku tak perlu banyak mengarahkan Mas Alex. “Apakah didepan ini rumah sahabatmu itu Santi?”
Aku mengiyakan, kami segera turun. Kulihat beberapa orang sudah di tempat. Termasuk 3 orang anggota Polis. Aku bergegas masuk rumah, segera kuhampiri Anto yang tengah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Wajahnya nampak sangat pucat menatapku ketika kupanggil namanya. Aku segera memeluknya memberi kekuatan.
Anto mengulangi lagi cerita yang tadi di khabar kan melalui telephone padaku, suaranya datar tanpa ekspresi. Aku terus menyimak, hingga cerita berakhir. Kulihat Mas Alex memperkenalkan diri pada ke 3 anggota Polis yang kuyakin pasti pangkatnya di bawahnya. Tak lama dia berbicara dengan seseorang melalui telephone.
Aku menduga Mas Alex menelphone temannya yang bertugas di Polres Yogya, perlahan aku berdiri mendekat. Usai mematikan gawainya Mas Alex bercerita.
Ternyata dugaanku benar, dia mengabarkan situasi yang terjadi di rumah keluarga Pak Hanung, kemudian dia meminta izin untuk membantu melihat yang terjadi di TKP, tanpa bermaksud untuk merusak TKP. Mengingat Mas Alex bukan anggota organik Polres Yogya.Teman Mas Alex yang akhirnya kutahu bernama Indra, berjanji segera akan ke TKP untuk bertemu Mas Alex dan mengecek lokasi.
Salah seorang anggota Polis yang bertugas, turun dan melaporkan sesuatu kepada Mas Alex. Mereka berdua nampak serius berbicara.
“Niken, ayo ikut aku. Mungkin kau ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi.” ... Aku mengangguk dan segera naik ke tingkat atas menuju kamar Santi. Mengikuti langkah tegap Mas Alex beserta satu anggota yang tadi memanggilnya. Kulihat 2 anggota polis lain membuat tanda-tanda kemudian mencatat dengan serius.
Kondisi kamar Santi nampak sangat berantakan. Semua barang dari mulai lemari, tempat tidur hingga brankas yang terbuka dalam posisi yang tidak pada semestinya.
Sekali-sekali Mas Alex bertanya pada petugas pencatat, kemudian berpindah lagi. Aku melangkah sangat hati-hati takut merusak barang bukti. Aku terkesiap melihat tetesan darah segar di beberapa tempat, seharusnya sebagai seorang dokter aku tak kaget lagi. Tapi tidak kali ini, aku sedih sekali membayangkan kemungkinan ini adalah darah sahabatku Santi. Air mataku hampir menitik, namun ku tahan.
Aku terus berjalan di belakang mas Alex, di bagian dalam kamar mandi. Kulihat benda yang membuat pertahanan tangisku jebol. Aku berteriak kencang. “Santiiii....” sambil memegang seonggok rambut panjang yang sudah ditebas tak beraturan sepertinya dengan sebuah parang tajam.💐[hsz]To be Continued..
Courtesy and Adaptation Novel by Rini Indardini
Editor ; Romy Mantovani
Ilustrasi Image by media.tumblr.com
No comments
Post a Comment