My Ghost Stories [23]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories [23]">

My Ghost Stories [23]

[Chapter 02-Part 23]

Dua tahun kemudian...

Aku melabuhkan tanda tangan di atas buku karyaku yang baru launching dua bulan lalu. Wanita berhijab yang berdiri di depanku tampak tak bisa menahan diri untuk tersenyum lebar sambil meraih tanganku untuk bersalaman. Dia tak henti-hentinya menyuarakan kekaguman akan karyaku. 

"Karya Kak Sofia Hani tidak pernah mengecewakan. Aku selalu menunggu buku baru kakak." Dia menatapku dengan mata berbinar tanpa mahu melepas tanganku.

"Ah, apa kalimat itu hanya untuk membuatku senang, bangga?" godaku yang langsung mendapat gelengan keras hingga Aku tak bisa menahan diri untuk tertawa geli.

"Aku benar-benar menyukai karya Kakak!" sahutnya bersungguh-sungguh.

Aku mengangguk dengan senyum lebar di bibir. "Ya, Aku percaya."

"Kalau begitu, boleh minta foto bersama Kakak?" tanyanya penuh harap.

"Tentu saja. Kenapa tidak bilang dari tadi?"...Aku menyeringai geli lalu segera berdiri, keluar dari kungkungan kursi dan meja yang sedari pagi menghimpitku. Wanita itu buru-buru menempatkan diri di sampingku seraya mengeluarkan handphone. Aku meminta handphonenya lalu kuserahkan pada manajerku, Andin, untuk membantu mengambil gambar kami berdua.

Sebenarnya Andin adalah editorku. Dia yang pertama kali membaca karyaku sebelum masuk meja team editor penerbit dan yang paling tajam melontarkan kritikan. Tapi Andin juga yang mengurus banyak hal yang berhubungan dengan pekerjaanku. Memilih penerbit, diskusi kontrak, hingga menentukan undangan mana yang perlu dan tidak perlu kuhadiri. Itu sebabnya kini Aku menyebutnya manajer, bukan editor.

Usai berfoto, wanita berhijab itu keluar dari cafe tempat diadakan antrian penggemar untuk bertemu langsung denganku. Lalu Aku kembali duduk dibalik meja untuk memberikan tanda tangan dan menyapa penggemarku berikutnya.

Tiga tahun yang lalu, memiliki penggemar dan mengadakan kegiatan seperti ini adalah impian yang tak berani kusuarakan. Tapi berkat kerja kerasku selama dua tahun-waktu yang diberikan Ibu-Bapaku-Aku berhasil mewujudkan impianku.

Memang tidak mudah. Ada kalanya Aku merasa akan menyerah. Merasa semuanya sia-sia dan berakhir pada kegagalan. Merasa terpuruk. Merasa kehilangan idea, buntu, bahkan masalah utama para penulis yang sering disebut 'writer's block'. Tapi Aku tidak menyerah. Bahkan di hari-hari Aku merasa tidak ada idea yang bisa kutuangkan dalam tulisan, yang kulakukan adalah duduk di depan laptop, melamun, tapi kemudian memaksakan jari-jemariku mengetik-meski hanya satu kalimat-lalu melamun lagi.

Ya, bagiku 'writer's block' hanya alasan. Memang kondisi buntu dan kehilangan idea untuk merangkai kalimat kerap kali dialami penulis. Tapi jika mengalami hal itu sampai berhari-hari apalagi berbulan-bulan, itu bukan buntu lagi melainkan rasa malas yang dibiarkan.

Untuk menjadi penulis, maka menulislah,!... Sebuah kutipan sederhana yang membuatku bisa berhasil mencapai titik ini. Membuatku menanamkan keyakinan dalam benakku bahwa "sehari saja Aku berhenti menulis, maka Aku bukanlah penulis". 

Jalan yang kulalui penuh batu tajam yang beberapa kali membuat langkahku terseok. Cobaan paling berat adalah masalah dengan Arvin. Tidak! Bukan pertemuan dengannya yang Aku anggap merupakan cobaan berat. Bukan pula saat kami harus menghadapi makhluk dalam tubuh Arvin dan berhadapan dengan hujan pelvrv.

Yang kuanggap cobaan berat adalah saat dihadapkan pada kenyataan bahwa Arvin sama sekali tidak mengingatku. Ya, itu sangat menyakitkan. Apalagi setelahnya, saat Aku memutuskan tetap mengejar impianku.

Tiap harinya, kegiatan menulis menjadi siksaan. Sangat sulit memaksa otakku fokus pada sebuah kisah sementara isi otakku saat itu hanya dipenuhi 'Arvin... Arvin... dan Arvin'

Sikap kasarnya. Senyumnya. Pelukannya. Ciumannya. Masakannya. Bahkan sofa kesayangan Arvin. Aku tidak bisa menghapus semua itu dari otakku. Dan yang paling kuingat tentu saja pertemuan terakhir kami di Hospital. Begitu melekat dan menyakitkan.

Hanya kerana tekad kuat yang membuatku berhasil bertahan dan akhirnya menyimpan semua tentang Arvin menjadi kenangan indah di sudut kepalaku. Kini Aku bisa mengecap manisnya. Berhasil meraih kesuksesan yang kuharapkan. 

Lalu apakah Aku sudah melupakan Arvin?...Tentu saja tidak. Rasanya itu mustahil. Aku pasti akan selalu mengingatnya. Kerap kali waktu tidur masih menjadi siksaan kerana di waktu itu kenangan indah kebersamaan kami paling sering muncul. Tapi lihat, Aku tetap bisa berdiri tegar, kan? Kerana tidak ada masalah yang tidak bisa kita lalui asalkan kita tak membiarkan masalah itu membuat kita terpuruk.

Beberapa menit berlalu, Aku menghela nafas meyadari tidak ada lagi antrian di depanku. Lalu Andin datang dan meletakkan segelas minuman di depanku setelah gelas kosong sebelumnya dia bawa pergi.

"Terima kasih," gumamku. "Apa masih ada lagi?"

"Ya, tinggal satu lagi. Dia sudah memesan tempat sejak kemarin tapi katanya ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Jadi dia sudah bilang akan datang terlambat hari ini." 

Setelah meneguk banyak-banyak minuman dingin yang dibawa Andin tadi, Aku mendongak menatap wanita itu penuh tanya. "Bukankah acara ini dibuka untuk umum? Kenapa ada yang memesan tempat segala?" 

"Kerana penggemarmu yang satu ini sangat sibuk." Andin angkat bahu.

"Lalu berapa lama Aku harus menunggu?" Aku menunduk menatap jam di pergelangan tanganku. "Ini masih pukul sebelas. Jangan bilang Aku harus menunggu sampai nanti malam." Padahal Aku sudah berencana menikmati waktu istirahat setelah acara ini kerana besok Aku akan mulai membuat kerangka novel baru.

"Aku sudah menghubunginya tadi dan mengatakan kita hanya bisa menunggu sampai pukul dua belas."

"Oh, baguslah." Aku mengangguk setuju. "Sepertinya Aku akan menghabiskan waktu dengan membaca. Kau bawa novel yang baru kubeli, kan?"

"Ada di beg. Akan kuambilkan."

Sejenak Andin berlalu. Tak lama kemudian dia kembali dengan sebuah buku tebal di tangannya. Buku ini karya salah satu penulis favoritku. Aku selalu menunda untuk membaca kerana akhir-akhir ini disibukkan dengan karya sendiri.

Sepertinya baru beberapa menit berlalu. Cafe ini terasa sepi padahal sebelumnya ada beberapa orang yang masih menikmati hidangan. Andin juga menghilang entah ke mana. Aku tak terlalu memperhatikannya kerana kini fikiranku telah tenggelam dalam jalinan kata di atas lembaran buku yang kubaca.

Tiba-tiba sebuah buket bunga mawar menutupi pandanganku dari buku yang kubaca. Aku mengerutkan kening melihat bunga itu. Lalu pandanganku beralih pada tangan seorang lelaki yang memegangnya. Jelas Aku tahu itu tangan lelaki kerana tampak begitu keras dan kokoh, memegang buket bunga dengan mantap. 

Pandanganku bergerak ke arah lengannya, menyadari dia mengenakan kemeja dengan lengan yang digulung hingga siku, lalu terus bergerak ke arah wajahnya. Namun kerut di keningku semakin dalam dan salah satu alisku terangkat melihat sebuah buku dipegang dengan tangan yang lain menutupi wajahnya.

Tak bisa menahan diri, Aku terkekeh geli menyadari itu adalah buku karyaku... "Terima kasih bunganya," kataku seraya menerima bunga dari tangannya. Dalam hati Aku menebak dia pasti orang yang dimaksud Andin. Sepertinya dia sengaja menutup wajahnya dengan buku kerana malu telah membuatku menunggu.

"Lalu buku itu untuk apa?" tanyaku setengah menggoda kerana dia tak kunjung menyingkirkan buku dari depan wajahnya. 

"Boleh Aku minta tanda tangan?"...Mendadak Aku tertegun. Suara itu-kenapa terdengar familiar? Membuat otakku bekerja keras untuk mencocokkan suara itu dengan suara-suara yang pernah melintas dalam benakku.

"Tapi aku tidak ingin tanda tangan di buku ini," lanjutnya. "Ceritanya kurang hot. Apa kau punya saran ceritamu yang paling hot?" 

Padahal Aku ingin baca novelmu. Terutama yang paling hot..DEGH,!.
Mendadak jantungku bekerja ekstra keras. Mengentak di dada dengan menyakitkan. Aku ternganga, dengan pandangan masih fokus pada buku yang menutupi wajahnya. Tidak mungkin itu dia, kan?

"Kenapa diam? Jangan bilang kau tidak punya novel semacam itu. Aku yang paling tahu bahwa isi otakmu penuh sampah." 

Lucu sekali kau berusaha berbohong pada orang yang bisa membaca isi fikiranmu. Padahal tidak ada yang lebih tahu dariku bahwa isi otakmu penuh sampah.

Nafasku tercekat. Desakan untuk menangis membuat mataku panas dan berkaca-kaca. Tiba-tiba Aku berdiri hingga kursi yang kududuki terdorong ke belakang, menciptakan suara memekakkan di dalam cafe yang sepi ini. Lalu tanpa permisi, Aku meraih buku di depan wajahnya dan menariknya kasar.

DEGH..!...Mata hitam itu menatapku tajam. Namun ada kilat yang tidak kufahami di sana. Apa itu kerinduan? Sementara itu bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang memikat, mengingatkanku akan hari-hari bersamanya. 

"Arvin," gumamku dengan nada tak percaya...Dia mengangguk perlahan lalu mengedikkan dagu ke buku di tanganku. "Kerana sepertinya kau memang tidak punya novel yang kuinginkan, Aku minta tanda tanganku di atas buku nikah saja. Boleh?" 

Aku semakin ternganga hingga serombongan lalat pasti bisa masuk bersamaan ke dalam mulutku. Sungguh, otakku sepertinya sulit mencerna maksud lelaki yang selama dua tahun ini mengisi benakku. Dia seperti berbicara dengan 'bahasa alien' yang tak bisa kufahami. 

Aku sudah dibuat terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Lalu sekarang dia membicarakan tentang buku nikah yang menurutku sama sekali tidak ada hubungannya dengan situasi ini.

Oh, tunggu dulu! Apa Aku sedang bermimpi? Apa Aku tertidur saat membaca dan memimpikan Arvin datang?

"Diam berarti iya." Mata Arvin berkilat senang lalu tiba-tiba dia meraih pergelangan tanganku. "Ayo kita menikah!" 

"Apa?" bisikku tak percaya, diam saja saat dia menarikku keluar dari kungkungan meja dan kursi.

Begitu berdiri tepat di depannya, kesadaran seolah menyentakku dengan keras, membuat kemarahan tiba-tiba mendidih dalam dadaku.

Dengan kasar Aku menarik tanganku lepas dari cekalannya. Gerakanku yang tiba-tiba membuat Arvin tidak siap hingga tanganku lepas dengan mudah. Lalu Aku mendongak menatapnya dengan amarah yang terpancar jelas dalam sorot mataku.

Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh. Telingaku serasa berdenging saat otakku memutar memori di hospital.

Kau siapa? Apa Aku mengenalmu?...Mati-matian kutahan air mata agar tidak tumpah saat menatapnya seraya mendesis, "Kau siapa? Apa Aku mengenalmu?" 

Arvin mengangkat kedua tangan dengan sorot memohon di matanya. "Aku minta maaf untuk kejadian itu."

"Tidak perlu minta maaf. Aku sama sekali tidak mengenalmu. Jadi kau tidak punya salah apapun," geramku sebelum berbalik hendak pergi darinya. 

Sial! Di mana Andin saat Aku memerlukannya,?!
Namun belum sempat melangkah, gerakanku terhenti kerana Arvin mencekal lengan atasku. Sedikit sakit kerana cekalannya lumayan keras, seolah dia benar-benar takut Aku lepas dari jangkauannya.

"Aku sungguh menyesal, Sofa. Aku tidak bisa langsung mengingat kebersamaan kita waktu itu."

Aku menggigit bibir kuat-kuat, tak ingin menangis di depannya. Tak ingin dia melihat betapa sikapnya waktu itu dan kehadirannya saat ini sangat mempengaruhiku.

Tiba-tiba dia mendekat, membuat tubuh bagian belakangku panas kerana kedekatan kami. Jantungku semakin keras berdetak, terutama saat dia menunduk dan dengan sengaja menyentuhkan pipinya di belakang telingaku.

"Aku mencintaimu, Sofia Hani." ... Kalimat itu mengalun dari sela bibirnya, membuat nafas panasnya menghembus telingaku hingga nafasku kian tercekat.

Namun gemuruh amarah belum juga surut dari hatiku. Aku belum bisa memaafkan dan menerimanya dengan mudah. "Tapi Aku sudah tidak mencintaimu." Aku mengutuki nada suaraku yang bergetar, hingga kalimat yang kuucapkan terdengar lemah dan ragu.

"Tidak apa-apa. Aku yakin seiring waktu kau akan mencintaiku lagi. Kita hanya harus segera menikah dan tinggal bersama agar perasaan itu kembali tumbuh." 

Sebenarnya itu tidak perlu kerana ucapanku tadi adalah kebohongan belaka. Tapi Aku tidak suka nadanya yang penuh keyakinan. Seolah Aku akan menerima lamarannya dengan mudah.

Arvin brengsek! Bahkan dia sama sekali tidak melamarku. Kalimatnya sedari tadi lebih cocok disebut pernyataan. Hanya perlu tambahan tanda seru hingga kalimat itu menjadi kalimat perintah.

Aku berbalik untuk melepaskan diri dari kungkungan tubuhnya. Sayang cekalan di tanganku begitu kuat hingga Aku tak bisa mundur jauh darinya.

"Aku... tidak... mencintaimu..., Arvin." Sengaja Aku mengucapkan tiap kata penuh penegasan. "Itu artinya Aku juga tidak mau menikah denganmu." Aku mengangkat dagu dengan sikap menantang. Tatapan mata kami beradu tajam. Bahkan Arvin menatapku tanpa sedikit pun jejak senyum di bibirnya.

Apa dia marah? Biarkan saja. Aku tidak bisa begitu saja memaafkannya meski sebenarnya dia tidak bersalah kerana hilang ingatan. Hari-hari yang kulalui penuh air mata setelah kejadian itu tak bisa begitu saja diganti dengan permintaan maaf.

Tapi ternyata Aku salah mengira. Bukannya marah, perlahan sudut bibir Arvin terangkat membentuk senyum yang kian lama kian lebar.

"Sayangnya Aku tidak menerima penolakan. Undangan sudah disebar dan segala keperluan pesta pernikahan sudah siap. Kita menikah tiga hari lagi." 

Lagi-lagi Arvin sukses membuatku melongo. "A-apa? Ba-bagaimana bisa?"

"Keluargaku dan keluargamu sangat bersemangat menyiapkan pesta ini. Hanya dalam waktu tiga bulan, semua sudah siap. Kita hanya tinggal menikah saja dan menikmati pestanya."

"Hhaahh?"...Aku merasa hari ini otakku bekerja dengan sangat lambat. Kedatangan Arvin semakin memperparahnya. Dan begitu Aku bisa mencerna maksud ucapan Arvin, bukannya marah, Aku malah dilanda perasaan panik.

"Apa maksudmu semuanya sudah siap?!" bentakku. "Aku bahkan tidak punya gaun pengantin." 

"Gaun pengantin yang kau coba tiga bulan lalu, itu yang akan kau kenakan. Andin sudah memastikan ukurannya benar-benar pas."

Otakku langsung berputar cepat. Lalu Aku terbelalak mengingat Andin pernah memintaku mencoba dan memilih gaun pengantin. Bahkan beberapa kali kami bolak-balik untuk melakukan fitting baju pengantin. Katanya itu untuk sampul novelku. Andin bilang tidak perlu susah-susah cari model kerana Aku cocok untuk menjadi modelnya. Tentu awalnya Aku menolak keras. Tapi Andin memang pintar membujuk hingga akhirnya Aku mengalah.

Setelah semua kerumitan memilih gaun pengantin fitting, hingga sesi foto yang melelahkan, seminggu kemudian dengan santainya Andin bilang tidak jadi menggunakan foto-fotoku sebagai sampul. Katanya kurang pas, terlalu ini, terlalu itu hingga membuatku jengkel setengah mati. Kalau bukan kerana Andin sahabatku, Aku pasti akan langsung menendangnya kuat-kuat hingga terlempar ke saturnus sana. 

Tak kusangka, kejadian itu lebih dari sekedar keteledoran Andin sebagai manajer. Kalau begitu, Andin bekerja sama dengan makhluk di depanku ini dan keluargaku yang katanya juga terlibat. 

"Dasar Andin! Di mana dia?!" seruku seraya berbalik hendak mencari keberadaan manusia satu itu yang tiba-tiba saja raib bagai ditelan bumi. Namun lagi-lagi gerakanku terhenti kerana Arvin masih mencekal lenganku. "Lepaskan!" semburku marah sambil melotot ke arahnya.

"Kau bisa selesaikan urusan dengan Andin nanti. Sekarang selesaikan dulu urusan kita. Yang kurang hanya cincin pernikahan. Aku sudah buat janji temu dengan temanku pemilik toko perhiasan. Sebaiknya kita berangkat sekarang sebelum jalanan macet menjelang jam makan siang."

Aku benar-benar tak habis fikir dengan kelakuan Arvin. Dia membicarakan tentang pernikahan dengan mudahnya.

"Kau sinting." Dua kata itu meluncur begitu saja dari sela bibirku. "Aku tidak mahu menikah denganmu!" seruku kemudian lalu berusaha melepaskan diri dari cekalannya, berniat kabur sejauh mungkin dari situasi ini.

Tapi tentu saja, Aku kalah tenaga dari Arvin. Dengan sikap tenang dia berhasil menyelipkan lengannya yang bebas di pinggangku lalu tanpa peringatan mengangkatku ke atas meja yang sejak pagi kugunakan untuk melabuhkan tanda tangan.

"Argh!"...Aku memekik dan refleks kedua tanganku memegang pundak Arvin.

"Arvin brengsek! Turunkan Aku!" seruku marah.
Tiba-tiba seruanku tenggelam dalam ciuman Arvin. Tangannya kini pindah. Satu menahan belakang kepalaku dan satu lagi menahan pipiku, memastikan Aku tidak bisa memalingkan wajah dari ciumannya yang terkesan kasar.

Tapi sepertinya itu sama sekali tidak perlu kerana Aku tidak berniat melepaskan diri. Tidak, bukan menyambut ciuman Arvin dengan suka cita dan penuh kerinduan. Ini seperti pembalasan. Aku menangkup kedua pipinya lalu membalas ciuman Arvin dengan sama kasarnya. Berharap lelaki itu tahu betapa dalam amarah, sakit hati, dan kecewa yang memenuhi hatiku selama dua tahun ini. 

Ciuman rasa amarah dan frustasi..Bibir kami saling memagut, saling mencecap, dan saling melumat. Begitu dalam dan intens hingga ketika kami menarik diri, nafas kami tersengal dan bibir kami sama-sama bengkak sekaligus basah.

"Kau akan menikah denganku, Sofia," desah Arvin penuh janji. Wajah kami begitu dekat hingga nafas kami berpadu jadi satu.

"Itu bukan pertanyaan." Aku masih berusaha mengatur nafas.

"Aku memang tidak berniat bertanya. Tidak memberimu pilihan."

"Dasar egois. Kau yang mendorongku pergi. Lalu tiba-tiba datang lagi dan memaksakan kehendakmu. Bagaimana kalau ternyata Aku sudah memiliki kekasih?"


"Aku tahu itu tidak mungkin. Hanya Aku dalam hatimu," katanya penuh rasa percaya diri. 

Aku berdecak malas mendengar nada sombongnya.

"Jadi, bagaimana?" desaknya tak sabar.

"Kau bilang Aku tidak punya pilihan," balasku kesal.

"Pintar. Kerana pertanyaanku tadi memang hanya basa-basi."..
Aku melemparkan tatapan ingin membunuh ke arah Arvin. Tapi itu tak berlangsung lama. Setelahnya Arvin kembali mendekatkan bibir kami. Kali ini ciumannya lembut, penuh sayang dan sarat akan kerinduan yang kental.

Dan ketika Aku menyerah tenggelam dalam cumbuannya, perasaan lega sekaligus haru merayapi hatiku. Menyadarkanku bahwa meski Aku menolak dan menyangkal, jauh dalam hatiku Aku menginginkannya. Aku menginginkan Arvin menjadi milikku. Mewujudkan impian yang dulu sempat pupus bahwa kami bisa hidup bersama selamanya bak cerita dongeng.[hsz] To be Continued..
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com

No comments