My Ghost Stories [22]
My Ghost Stories [22]
[Chapter 02-Part 22]
Setelah menangis seharian, Aku berhasil membuat diriku sendiri demam-panas tinggi. Selama itu, keluarga Arvin membantu Ibu untuk menjagaku, terutama Auntie Alfi, Alya dan Leah. Kerana dari semua anggota keluarga Arvin, hanya mereka bertiga yang kutahu.Hatiku semakin pedih menyadari tak sekalipun Arvin meluangkan waktu untuk menjengukku. Meski dia tidak ingat, sekedar mengintip untuk menyapa pasti akan sedikit mengobati hatiku. Paling tidak Arvin bisa menganggapku sebagai kenalan Ibunya, kan?
Tapi tidak sama sekali. Arvin pasti menganggap Aku bukanlah orang penting, yang tidak perlu ditanyakan khabarnya. Bahkan permintaan maaf Auntie Alfi atas sikap Arvin makin menggores luka di hatiku, menyadarkanku bahwa ini bukan mimpi. Bahwa Arvin benar-benar melupakanku. Bahwa kenangan kami di dalam apartmentku hanya tersimpan dalam benakku.
Beberapa hari kemudian, Aku mendapat khabar bahwa Arvin sudah diizinkan pulang. Namun sebaliknya, Aku masih harus tinggal di Hospital selama dua hari lagi.
Keseluruhan biaya Hospital sudah ditanggung Auntie Alfi. Dia juga sudah mencabut tuntutan yang pernah dilayangkan Arvin padaku atas tuduhan percobaan pembunuhan.
Dua hari kemudian, Aku diizinkan pulang. Ibu membantuku berkemas. Kami putuskan kembali ke apartmentku. Tak kusangka, Auntie Alfi dan Alya datang menjemput. Sementara suami Alya sudah menunggu di depan hospital dengan mobilnya. Mereka memperlakukanku sangat baik, layaknya sebuah keluarga. Bahkan Ibu dan Auntie Alfi mulai akrab.
Dalam perjalanan pulang, Auntie Alfi menawarkan padaku untuk pindah ke apartment mewah di tingkat atas. Namun Aku menolak, beralasan bahwa Aku memutuskan untuk pulang bersama Ibu.
Ya, yang jelas Aku tidak mahu lagi menempati gedung apartment itu. Dan yang kufikirkan saat ini adalah pulang bersama Ibu.
Tiba di gedung apartment, para tetangga yang kukenal berkumpul menyambut. Aku tak kuasa menahan diri untuk memeluk Dewi lalu membisikkan ucapan terima kasih. Tanpa dia, Aku mungkin tidak akan bisa kembali ke sini dan malah mendekam di penjara.
Lalu kami semua masuk ke apartmentku yang sempit. Disana Auntie Alfi meminta pada para tetanggaku untuk merahasiakan apa yang terjadi pada Arvin. Dia tidak mahu kejadian ini sampai terendus media. Sepertinya dia juga sudah meminta hal yang sama pada pegawai gedung apartment dan anak buah Arvin yang terlibat baku temb4k.
***
Yang pertama kuingat pagi ini saat membuka mata adalah wajah Arvin. Bahkan otak penuh khayalku membayangkan Arvin sedang berdiri di sudut kamar dengan tubuh transparannya. Tapi tidak ada yang terjadi. Semuanya tampak normal. Menciptakan lubang menganga dalam hatiku.
Aku mengubah posisi tidur menjadi duduk lalu menapakkan kedua kaki ke lantai dengan hati-hati, tak ingin membuat Ibu yang masih terlelap di sampingku terbangun. Di luar masih tampak gelap, tapi Aku yakin tidak akan bisa memejamkan mata kembali. Kerana itu kuputuskan untuk segera berkemas kerana Aku dan Ibu sudah sepakat untuk pulang hari ini.
Berdiri, kuputuskan hendak menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Tapi entah mengapa pandanganku mengarah pada buku di atas nakas. Ada lembaran kertas yang tampak terselip di tengahnya, membuatku mengerutkan kening mengingat apa itu.
Penasaran, kuulurkan tangan membuka buku lalu meraih kertas itu. Seketika dadaku sesak dan mataku terasa panas melihat gambarku yang menyedihkan. Gambar sosok Arvin.
"Tidak perlu memuji. Aku memang berbakat."
"Rasa percaya dirimu sungguh mengerikan. Bahkan Aku tidak bisa membayangkan hasilnya seperti ini saat membaca rasa puas dalam kepalamu."
"Kenapa? Di luar dugaan, kan?"
"Benar-benar di luar dugaan. Bahkan anak Tadika pun tidak akan bisa menggambar sejelek ini."
"Kau sama sekali tidak punya mata seorang seniman. Coba perhatikan detail yang kubuat. Bibir tipis, hidung mancung, mata menyorot tajam."
"Bahkan matanya besar sebelah."
"Matamu memang seperti itu."
"Wajahku tidak mungkin bentuknya seperti ini."
"Memang. Coba saja bercermin. Oh, mungkin rambutnya agak beda. Seharusnya Aku buat lebih panjang," lanjutku dengan serius.
"Arrrgghh!"...Lalu kenangan itu berlanjut membanjiri otakku, membuat isak tangis lepas dari sela bibirku. Buru-buru kututup mulut dengan punggung tangan, tak ingin membuat suara gaduh hingga membangunkan Ibu.
Lalu pandanganku jatuh ke arah buku yang terbuka. Kerangka cerita yang sudah setengah jalan menarik perhatianku.
"Bagaimana kau akan membuat akhir dari cerita itu?"
"Entahlah."
"Entah?"
"Ya, aku tidak tau."
"Akhir bahagia tidak harus selalu bersama selamanya."
"Katakan Aku memang penggila cerita dongeng anak-anak. Tapi bagiku akhir bahagia memang seperti itu. Bersama selamanya."
"Sofia, novel hanya sebagian kecil kisah dari keseluruhan hidup tokohnya. Mungkin dalam kisah kita, kau tidak mendapat akhir bahagiamu. Tapi bisa saja dalam kisah lain, kau bisa mendapatkannya."
"Ini novelku! Ini kisah hidupku! Kenapa kau ingin ikut campur?!"..Air mataku semakin deras mengalir. Bahkan masih jelas kurasakan dekapan hangatnya setelah pertengkaran kecil itu. Tapi kini—dia bahkan tidak ingat siapa Aku.
Sungguh menyedihkan. Waktu itu kami mempermasalahkan kondisi kami yang berada di dua dunia. Lalu saat yakin bahwa Arvin bukanlah hantu, melainkan jiwa yang tubuhnya tengah dicuri, Aku begitu bersemangat. Yakin ada harapan bagi kami untuk bersama. Tak pernah terfikir dalam benakku bahwa kenangan kebersamaan kami akan hilang dari memori Arvin. Ini sungguh menyakitkan.
"Sofa, ada apa?" pertanyaan bernada khawatir Ibu membuatku menoleh ke arah ranjang. Tampak Ibu sudah dalam posisi duduk sambil menatapku cemas.
Aku menggeleng perlahan, berniat meredakan kekhawatirannya. Lalu mendadak sebuah tekad terbentuk dalam benakku. Tekad lama yang sempat padam akibat kejadian ini.
Buru-buru kuhapus air mata di wajahku lalu menatap Ibu dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuh, menunjukkan sifat keras kepala yang jarang kutunjukkan.
"Bu, sepertinya Aku tidak bisa ikut Ibu pulang. Aku ingin melanjutkan langkah mengejar impianku. Bukankah Aku masih punya waktu satu tahun sepuluh bulan?"
Aku sudah siap menerima semburan amarah Ibu. Aku sudah siap menerima omelan panjangnya. Tapi tak kusangka, yang kudapati malah senyum lembutnya yang penuh kasih sayang.
"Senang mendengarnya."...Aku ternganga, tak menduga Ibu akan menanggapi seperti itu. "I—ibu... mengizinkan?"
Ibu mengangguk. "Ya. Itu lebih baik daripada kamu ikut pulang bersama Ibu lalu terpuruk dalam kenangan masa lalu. Setidaknya dengan memilih mengejar kembali impianmu, kamu akan berusaha melupakan kejadian ini dan hanya menganggapnya kenangan indah." Lalu senyum Ibu merekah. "Dan jangan lupa untuk menuliskannya. Ibu tidak sabar untuk membacanya."
Seketika pipiku memerah, tak bisa membayangkan Ibu membaca adegan demi adegan ciuman antara Aku dan Arvin. Sepertinya Aku akan memastikan dia tidak membaca ceritaku. Setidaknya cerita yang ini jika benar-benar berhasil kutulis dan kuselesaikan.
"Jadi, Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" tanyaku memastikan.
"Kamu fikir Ibu anak kecil?" Ibu mengerucutkan bibir pura-pura merajuk tapi detik selanjutnya tertawa geli. Mendadak dia merentangkan tangan, mengundangku masuk ke dalam dekapannya. "Kemarilah."
Dadaku kembali sesak. Tapi itu tak menghentikan langkahku untuk bergegas naik kembali ke atas ranjang lalu menyurukkan kepalaku ke dalam dekapannya. Terasa hangat dan nyaman hingga membuat air mataku kembali bergulir.
"Ibu sangat menyayangimu. Dan pastikan setelah ini jangan terlibat masalah lagi. Terutama masalah yang mengancam nyawa seperti sekarang."
Aku tertawa perlahan dengan air mata bercucuran.
"Iya, Bu'. Aku berjanji. Dan Aku juga menyayangi Ibu." [hsz] To be Continued..
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com
No comments
Post a Comment