My Ghost Stories [21]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories [21]">

My Ghost Stories [21]

[Chapter 02-Part 21]

Perlahan mataku mengerdip terbuka. Cahaya terang membuatku menutup mata kembali. Namun tak kubiarkan kegelapan menyelubungi terlalu lama. Aku segera membuka mata lagi dan berusaha menyesuaikan penglihatan dengan cahaya terang yang terasa menusuk. 

Lalu ada suara-suara yang tidak jelas tertangkap indera pendengaranku. Orang-orang bergerak, seolah mengerumuniku. Sentuhan-sentuhan. Kemudian semuanya kembali gelap. 

Saat mataku terbuka kembali, kabut yang menyelubungi otakku perlahan sirna. Mataku menatap sekeliling, mencoba-coba menerka di mana Aku berada.

Di Hospital.!..Kenapa Aku di sini? Apa Aku sakit? Sakit apa?

Pertanyaan-pertanyaan itu datang bertubi-tubi tanpa menemukan jawaban. Lalu perlahan tapi pasti, bayangan-bayangan itu melintas di benakku.

Apartment. Hantu. Pemilik gedung. Arvin. Alvin. Lalu—tembak4n.. Seketika teror seolah menguasai hatiku. Refleks Aku meraba keningku, tempat seharusnya sebuah pelvrv bersarang di sana. Tapi tidak ada apa-apa. Keningku baik-baik saja. Hanya bagian pundak-bahu yang terkena tembakan sebelumnya, terasa ngilu saat tadi bergerak tiba-tiba. Lalu bagian-bagian tubuh yang memar akibat jatuh di tangga.

Apa yang terjadi? Bagaimana Aku bisa selamat?


"Sofia? Syukurlah, akhirnya kamu sadar, Nak."...Aku menoleh, baru sadar bahwa ada Ibu yang tadi tidur di atas sofa sisi ruangan yang lain. Sepertinya saat ini sudah malam mengingat hanya lampu tidur yang dibiarkan menyala. Dan Aku baru menyadari kamar yang kutempati kali ini berbeda dari sebelumnya. Tampak lebih luas dengan fasiliti lebih lengkap. Apa ini ruang VVIP?

Ibu menarik kursi di samping ranjang agar lebih dekat lalu duduk sambil menggenggam tanganku yang tidak diinfus. Raut lelah dan cemas tampak menghiasi wajahnya. Hatiku pedih menyadari bahwa Akulah penyebabnya.

"Di mana Ayah?" tanyaku dengan suara serak. Fikiranku berkelana. Terakhir kali yang kuingat adalah insiden di rumah Arvin. Apa orang tuaku terkena imbas dari kejadian itu?

"Ayah pulang. Dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya terlalu lama," jelas Ibu dengan setetes air mata bergulir di pipinya tapi buru-buru dia hapus kembali.

"Apa yang terjadi?"...Tampaknya Ibu mengerti maksud pertanyaanku tanpa Aku perlu memperjelasnya. "Kamu pingsan di rumah Pak Arvin. Lalu keluarganya membawamu ke sini."

"Pingsan? Bukan tertemb4x?" Masih kuingat dengan jelas bagaimana moncong pist01 mengarah padaku dalam jarak yang sangat dekat.

"Beruntung sepupu Pak Arvin, kalau tidak salah namanya Leah, mendorong tangan Pak Arvin hingga tembakannya mengarah ke tempat lain dan tidak melukai siapapun. Ibu tidak bisa berhenti mengucap terima kasih padanya. Dia sangat berani meski sempat tertekan kerana sebelumnya pist01 itu mengarah padanya." 

Ya, Aku ingat dengan jelas saat itu. Makhluk itu, yang mengaku-ngaku sebagai Alvin, mengancam akan membunuh Leah. Itu juga yang membuat Arvin bertindak sigap mendatangi makhluk itu, berfikir bahwa dia akan membvnvh Leah. Tak disangka pist01 malah mengarah padaku.

Aku juga harus berterima kasih secara langsung pada Leah. Wanita lain pasti akan mengkerut ketakutan dan menunggu diselamatkan dalam kondisi seperti itu. Tapi Leah bisa bertindak berani dengan mendorong lengan makhluk itu dan mempertaruhkan keselamatannya sendiri.

Tapi setelah itu apa yang terjadi? Kenapa aku tidak ingat apapun?

"Lalu kenapa Aku pingsan padahal tidak terkena temb4k4n?" Pertanyaan itu lebih ditujukan pada diriku sendiri. Tapi Ibu menjawab pertanyaanku.

"Setelah tembakan itu, kamu dan Pak Arvin pingsan. Tubuh kalian berdua. Sepertinya saat itu, apapun makhluk yang menempati tubuh Pak Arvin, terlempar keluar sementara Pak Arvin kembali ke tubuhnya sendiri." Ibu mendesah sambil menggosok wajahnya dengan satu tangan. "Kejadian ini benar-benar tak masuk akal. Kalau Ibu hanya mendengarnya, Ibu tidak akan percaya." 

Aku mengangguk setuju lalu bertanya, "Jadi Pak Arvin sudah kembali ke tubuhnya sendiri?"

"Ya. Dia baru sadar tadi sore setelah pingsan seharian kemarin."

"Berarti Aku juga pingsan selama itu?" Setelah Ibu mengangguk, Aku melanjutkan, "Lalu bagaimana setelah dia sadar? Apa keluarganya yakin itu memang dia? Bisa saja kami gagal dan dia kembali terjebak—"

"Keluarganya yakin itu memang Pak Arvin yang asli. Mereka pasti sudah mengajukan pertanyaan atau menguji untuk memastikan bahwa kali ini mereka tidak salah mengenali."

Aku mengangguk lalu mendesah lega. Tapi tidak berlangsung lama kerana rasa ngeri kembali merayapi hatiku. "Lalu bagaimana dengan makhluk itu? Apa dia akan kembali?"

"Jin selalu ada di sekitar kita. Mengintai dan menunggu sampai kita lengah untuk menguasai tubuh kita atau menghasut hati kita agar melakukan perbuatan dosa," ujar Ibu sambil membelai kepalaku. "Jadi tidak ada yang bisa kita lakukan selain perkuat diri dengan iman. Semakin dekatkan diri pada-Nya, maka jin ataupun syaitan tidak akan berani mendekat." 

Aku memejamkan mata sejenak lalu mengangguk setuju, menyadari kebenaran dalam kata-kata Ibu. Lalu aku menoleh menatapnya dengan sorot penuh harap. "Boleh Aku melihatnya?"

"Ini sudah malam. Dia pasti sudah tidur. Jadi tunggu besok saja. Sebaiknya kamu juga tidur."


Aku tak bisa menyembunyikan rasa kecewa tapi tak punya pilihan selain mengangguk. Lalu Ibu berdiri, menyelimutiku dan melabuhkan kecupan lembut di keningku sebelum beranjak kembali ke sofa.

Aku mendesah perlahan. Menatap nyalang ke arah langit-langit kamar dan bertanya-tanya apa dia merindukanku seperti Aku yang merindukannya. 
***
Aku begitu bersemangat pagi ini sekaligus gugup bagai gadis remaja yang akan pergi dating untuk pertama kali. Bagaimana tidak? Ini akan jadi pertemuan pertama kami dengan sosok Arvin dalam tubuh aslinya. Bukan lagi dalam wujud transparan yang bisa menghilang sewaktu-waktu. 

Setelah membersihkan diri hanya dengan berbekal selembar kain dan sebaskom air, Aku menyempatkan diri untuk menyisir rambut dan merasa agak kecewa kerana tidak bisa mengganti pakaian pasien yang sedang kugunakan saat ini. Bahkan sempat terfikir dalam benakku untuk bertanya pada Ibu apa dia membawa bedak. Tapi Aku terlalu malu kerana itu akan memperjelas bahwa Aku ingin tampil cantik di depan Arvin.

Sofia, lupakan itu! Alam bawah sadarku memekik memperingatkan. Toh Arvin sudah sering melihatmu dalam keadaan tidur yang—jelas—sama sekali tidak anggun. Jadi tidak perlu berlebihan dan tampil apa adanya saja.

Beberapa menit kemudian setelah Aku dan Ibu siap, kami menuju kamar Arvin yang hanya berjarak beberapa kamar dari tempatku. Aku menolak tawaran Ibu untuk menggunakan kursi roda. Lebih memilih berjalan sambil berpegangan pada Ibu dengan tiang infus di sisi yang lain. Kami mengobrol sepanjang jalan, dan seolah menjadi kesepakatan tak terucap, menghindari obrolan mengenai jiwa Arvin yang sempat keluar dari tubuhnya.

Tiba di kamar yang ditempati Arvin, terdengar suara-suara dari dalam. Sepertinya Arvin kedatangan banyak tamu. Pasti dia memiliki banyak saudara yang menyayangi dan mengkhawatirkannya.

Kleekk..!...Suara pintu terbuka membuat semua mata yang berada di dalam ruangan serentak menoleh padaku dan Ibu. Mendadak suasana menjadi hening. Kulihat banyak wajah asing di sana hingga membuatku ragu untuk masuk. Tapi Aku benar-benar ingin melihat keadaan Arvin.

"Sofia."...Panggilan itu berasal dari Auntie Alfi. Seketika Aku mendesah lega kerana ada seseorang yang mengenaliku. Wanita paruh baya itu bergegas menghampiriku lalu memelukku sejenak. 

"Senang akhirnya kamu sadar. Kenapa tidak menggunakan kursi roda?"

"Aku sudah baik-baik saja, Auntie."

"Syukurlah. Auntie sangat khawatir. Ayo masuk."...

Kami bertiga berjalan mendekati ranjang pasien yang ditempati Arvin. Seketika jantungku terasa menggelegak di dada begitu tatapan kami beradu. Mata hitam itu terasa menusukku dan membuatku teringat akan kebersamaan kami. Ingatan akan kemesraan kami membuat pipiku memerah. Sementara ingatan akan bayangan bahwa kami tidak mungkin bisa bersama membuat mataku panas. Semua perasaan itu berpadu menciptakan rasa lega yang membuncah hingga keinginan untuk menangis tersedu. 

Keluarga Arvin menyingkir memberi ruang bagiku. Auntie Alfi langsung menarikkan kursi lalu Ibu membantuku duduk.

Aku menggigit bibir, menatap penuh kerinduan mata hitam itu yang tidak mengalihkan perhatian dariku. Lalu tanpa bisa menahan diri, jemariku meraih jemarinya lalu menggenggamnya kuat.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyaku dengan suara serak.

"Sudah lebih baik." Suara yang begitu familiar itu mengalun lembut dari sela bibirnya.

"Senang akhirnya kau bisa kembali. Aku fikir kita akan gagal." Aku tak bisa menahan air mata yang akhirnya bergulir di pipi.

"Oh," hanya itu tanggapannya yang berhasil membuat keningku berkerut...."Oh?" tanyaku bingung, mulai menyadari ada yang aneh.

Dia menunduk, sepertinya memperhatikan tanganku yang menggenggam tangannya erat lalu kembali mendongak menatapku. "Hhmm, sebenarnya Aku ingin bertanya, kau siapa? Apa Aku mengenalmu?" 

DEGH..!...Rasanya ada bom yang baru saja dijatuhkan ke atas kepalaku. Aku ternganga selama beberapa detik sebelum melepas tangannya secara tiba-tiba seolah terkena sengatan letrik.

"Apa kau bilang?" tanyaku memastikan dengan nada penuh rasa tak percaya.

"Maafkan Aku. Tapi Aku tidak mengingatmu." Dia tersenyum sedih dengan tatapan menyesal. 

Aku masih terpaku di tempatku duduk, berfikir apa mungkin jiwa Arvin belum kembali ke raganya. Tapi—tidak ada hawa dingin yang biasanya menyelimuti sosok Arvin yang tengah dirasuki makhluk lain. Aku yakin ini memang Arvin yang kukenal. Hantu penghuni apartmentku.

Mendadak Aku berdiri, mengabaikan rasa nyeri di seluruh tubuh. Semua rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa nyeri di dadaku. 

Tatapan kami masih beradu. Dia menatapku penuh penyesalan sementara Aku menatapnya dengan sorot terluka. Bahkan kubiarkan air mataku bergulir membasahi pipi.

Terdengar suara-suara di sekitar kami. Sepertinya ada yang memanggilku dengan nada khawatir tapi Aku tak memperhatiakannya. Fokusku hanya pada Arvin dan rasa sakit di dadaku.

"Sepertinya...," Aku terisak, "Aku tidak bisa mendapatkan akhir bahagiaku, ya?" 

Kurasakan seseorang memegang bahuku. Sepertinya itu Ibu. Namun Aku mengabaikannya.

"Ini sangat menyakitkan," Aku tersenyum penuh ironi. "Tapi setidaknya satu di antara kita akan mendapatkan akhir bahagia." 

Lalu Aku berbalik dan Ibu dengan sigap membantu mendorong tiang infusku seraya menuntunku. Rasanya kedua kakiku berubah menjadi jeli. Goyah saat melangkah. Namun Aku memaksakan diri, tak ingin lebih mempermalukan diri sendiri. Sudah cukup menyakitkan fakta bahwa Arvin tidak mengenaliku. Dan juga sudah cukup memalukan menangis di depan Arvin dan keluarganya. Aku tidak ingin menambah itu semua dengan pingsan di sini.[hsz] To be Continued..
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com

No comments