My Ghost Stories [19]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories [19]">


My Ghost Stories [19]


[Chapter 02-Part 19]

Auntie Alfi berhasil membuatku keluar dari hospital siang ini. Sepertinya dia punya koneksi ke atasan si penyidik. Dan mengingat Auntie Alfi yang mengajukan permohonan adalah Mama korban, maka Aku diberi kesempatan bebas selama tujuh jam dengan Ibu-Bapaku sebagai jaminan. 

"Tidak apa-apa. Lakukan saja yang harus kamu lakukan." Ibu meremas jemariku memberi dukungan saat Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.


"Hati-hati menggerakkan lengan dan pundakmu. Luka temb4k di situ belum sembuh." 


Aku mengangguk mendengar nasihat Ayah lalu memeluk mereka bergantian. Setelahnya Aku beralih pada 
Auntie Alfi.

"Apa 
Auntie akan ikut bersamaku?"...Auntie Alfi menggeleng. "Ada banyak anak buah Alvin di gedung apartment itu. Dan Auntie nyaris tidak pernah datang ke sana. Daripada memancing kecurigaan yang bisa sampai ke telinga Alvin, lebih baik Auntie menunggu di rumah dan memastikan Alvin tetap di sana. Jadi kalian bisa langsung datang tanpa Alvin memiliki kesempatan melarikan diri."

Aku mengangguk menyetujui rencananya..
Tiba-tiba Auntie Alfi memelukku, membuatku membeku kaget. "Terima kasih. Padahal kamu sedang terluka tapi masih bersedia membantu kami." 

Lagi-lagi Aku hanya mengangguk perlahan sebagai tanggapan setelah pelukan kami terlepas. Semalam Aku memang menceritakan detail pertemuanku dengan Arvin seperti yang diinginkan 
Auntie Alfi. Tapi tentu saja versi cerita dari mulutku sudah banyak disensor. Jadi sampai detik ini Auntie Alfi dan Ibu-Bapaku belum tahu bahwa Aku menjalin hubungan cinta dengan Arvin. Kerana itu bukan hanya Auntie Alfi yang menginginkan Arvin kembali ke tubuh asalnya. Aku juga sangat menginginkannya.

Setelah perpisahan singkat kami, Aku bergegas menuju gedung apartmentku menggunakan taksi yang dipesankan 
Auntie Alfi.

Hanya perlu waktu lima menit dan Aku sudah sampai. Tapi bagiku waktu lima menit terasa sangat lama kerana sedang dikejar waktu. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Jadi sebelum jam delapan malam Aku sudah harus kembali ke hospital. 


Sambil menahan sakit di pundak yang mulai terasa berdenyut, Aku berjalan memasuki pelataran gedung apartment. Tapi baru saja hendak melewati ambang pintu, tiba-tiba segerombolan lelaki bersetelan jas-suit hitam—seperti anak buah Alvin yang menyerang waktu itu—menghampiriku. Seketika Aku membeku dengan jantung bertalu, menatap delapan orang itu yang langsung mengepung.


"Ada apa ini?" tanyaku, berusaha bersikap lantang.


"Nona Sofia, Anda dilarang memasuki gedung apartment ini lagi. Dan bukankah Anda sedang berada di bawah pengawasan polis? Apakah Anda melarikan diri?"


Mungkin orang yang berbicara itu adalah orang yang menyerangku beberapa hari lalu. Tapi sayang Aku sama sekali tidak mengingatnya.


"Saya hanya perlu mengambil barang-barang Saya."


"Barang-barang Anda akan dikirim ke kantor polis secepatnya." Lalu dia mengedikkan dagu ke arahku sambil menatap lelaki yang lain. Tangannya merogoh saku mengeluarkan handphone.


Aku membaca situasi dengan cepat. Dia pasti menyuruh anak buahnya untuk menahanku sementara dia sendiri hendak menghubungi seseorang. Polis? Alvin?


Tapi Aku tidak berniat menebak lebih jauh. Yang harus kulakukan sekarang adalah segera melarikan diri atau semua rencana yang telah tersusun gagal total.


Segera Aku mempertaruhkan keberuntunganku dengan menabrak seorang lelaki lalu meraih pist01 yang tampak jelas terselip di pinggangnya. Dia agak lengah sehingga Aku berhasil menggenggam gagang pistol. Tapi sayang baru berhasil menariknya, tanganku sudah dicekal hingga terjadi aksi saling tarik.


Tapi Aku tak hilang akal. Sebelum teman-temannya berhasil mencapai  untuk membantu, kugunakan lututku yang berada tepat di bawah selangkangannya untuk meremukkan benda berharganya. Terdengar teriak kesakitan yang membuatku meringis sekaligus lega kerana lelaki itu langsung melemas. 


"ARGGHHH!"...
Berhasil menjatuhkan lelaki itu, Aku langsung mengokang pist01 di tanganku. Untung saja pist01 ini jenis semi otomatik seperti yang sering kugunakan dalam novelku. Jadi Aku tahu sedikit cara menggunakannya akibat riset melalui internet yang pernah kulakukan untuk menopang ceritaku. 

"Jangan mendekat!" teriakku pada para lelaki itu sambil menodongkan pist01. Tapi sepertinya mereka menganggap ancamanku bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Akhirnya terpaksa Aku melepaskan tembakan secara acak kerana Aku memang sangat amatir dalam hal ini, sambil berdoa dalam hati semoga tidak ada yang terluka.


"Aaaaaa!"...
PRANGGG!...Teriakan-teriakan terdengar saling bersahutan dengan suara-suara kaca pecah yang terkena terjangan pelurv dari pist01 yang kutemb4kkan. Serentak lelaki-lelaki bersetelan jas hitam itu menyingkir menyelamatkan diri. Melihat itu, Aku tak membuang waktu dan langsung melarikan diri keluar dari gedung apartment seraya membuang pist01 di tanganku.

Instingku mengatakan orang-orang itu pasti sedang mengejarku. Kerana itu sengaja kupilih jalan yang berbelok, bukannya lurus. Lalu Aku masuk ke sebuah butik pinggir jalan dan bersembunyi di antara pakaian dekat kaca depan untuk mengawasi keadaan. Tak lama kemudian, terlihat para lelaki itu berlari melewati butik tempatku bersembunyi, hingga Aku bisa bernafas lega.


Tapi tentu saja, kelegaan ini hanya semu. Sekarang setelah kekacauan yang kubuat tadi, bagaimana caraku bisa masuk ke apartemenku?


"Sofia?"...
Panggilan itu refleks membuatku tersentak dan menegang. Tapi keteganganku perlahan mencair begitu mengenali orang itu.

"Bu Dewi," kataku menyebut tetangga yang pernah makan bersama di apartmentku.


"Ternyata benar." Lalu dia mengamatiku penasaran. "Kenapa kamu terengah begitu dan penampilanmu sangat berantakan?" Lalu dia terbelalak seolah baru teringat sesuatu. "Apa—gosip itu benar?" tanyanya ragu.


Tiba-tiba air mataku bergulir dan cepat-cepat Aku mengusapnya dengan punggung tangan. Mungkin ini air mata akibat rasa frustasi. "Tentang Aku yang berusaha membunuh pemilik gedung? Itu sama sekali tidak benar."


"Lalu apa benar kamu kerasukan hantu penunggu apartmentmu?" tanya Dewi hati-hati.


Aku tersentak mendengar itu. "Ba—bagaimana Bu Dewi bisa tahu?"


Refleks wanita bertubuh berisi itu menutup mulut dengan satu tangan. Lalu tiba-tiba dia menarik tanganku melewati deretan baju menuju bagian belakang butik. Dengan mudahnya dia membuka satu pintu yang tertulis "Khusus Staf" lalu membawaku ke sebuah ruangan dengan sofa melingkar yang nyaman.


"Ap—apa kita boleh berada di sini?" tanyaku bingung seraya menatap sekeliling dan menyadari tidak ada orang lain di sana.


Dewi tersenyum seraya mengambil minuman di freezer sudut ruangan lalu menyerahkannya padaku sebelum duduk di sampingku. Aku menerimanya dengan penuh syukur lalu segera meneguknya banyak-banyak.


"Ini butik milikku," jelasnya.


"Oh, benarkah? Itu hebat sekali." Hanya itu yang bisa kukatakan. Pantas saja dia bisa menyewa apartment mewah. Ah, atau apakah dia membelinya?


Dewi hanya mengibaskan tangan sebagai tanggapan. "Oh, mengenai pertanyaanmu tadi. Aku dan Bu Vivi mendengar hal itu dari Bu Astrid. Saat gosip mengenai kamu yang menyerang kediaman Pak Arvin dengan pist01, kami merasa tidak percaya. Lalu Bu Astrid cerita bahwa dia merasa aneh saat bertemu denganmu di lift beberapa menit sebelum kejadian. Dia merasa itu bukan kamu. Jadi kami menyimpulkan bahwa kamu kerasukan hantu penunggu apartmentmu." Dia memajukan tubuhnya penasaran. "Jadi itu benar?"


Aku menghela nafas lalu mengangguk...
"Bagaimana bisa? Biasanya hantu di sana hanya menyerang penghuninya. Dan kamu bilang tidak ada hantu yang mengganggumu."

"Aku berbohong," kataku mengakui. "Kerana Aku dan hantu di sana sudah mencapai kesepakatan untuk tidak saling mengganggu."


"Bagaimana caranya?"


"Intinya kami saling mengerti."...
Dewi mengangguk menerima penjelasanku. "Tapi kenapa hari itu tiba-tiba dia masuk ke tubuhmu lalu berusaha membunuh pemilik gedung?"

"Dia tidak berniat begitu."...
Lalu kuceritakan secara garis besar mengenai jiwa Alvin yang mengambil alih tubuh Arvin dan bagaimana Aku bisa berakhir di hospital.

"Kedengarannya memang tidak masuk akal. Tapi memang itulah yang terjadi. Bahkan Ibu Pak Arvin sendiri percaya dan beliau lah yang membantuku keluar dari hospital. Tapi Aku hanya punya waktu tujuh jam untuk menyelesaikan semua ini sebelum kembali ke hospital."
Lalu Aku tertunduk. "Tapi sekarang semuanya semakin sulit kerana Aku sama sekali tidak bisa masuk ke apartmentku."


Tiba-tiba Dewi menjentikkan jari. "Kalau hanya itu jangan khawatir. Aku akan membantumu melewati para penjaga." 


Aku mendongak menatap Dewi dengan harapan baru. "Sungguh?"


"Tentu saja." Lalu dia berdiri. "Ayo ikut!"

***
Aku menatap cermin sambil berkedip beberapa kali dengan tatapan tak percaya. Mana mungkin orang yang balas menatapku di dalam sana adalah Aku? Dalam waktu satu jam, Dewi berhasil mengubahku menjadi orang lain.

Wajahku dipoles make-up tebal oleh salah satu pegawai butik yang ternyata jago merias. Mereka bahkan meminjam alat pengeriting rambut dari salon tak jauh dari sana untuk membuat rambut lurusku menjadi berbeda.


Setelah semua itu, Dewi meminjamiku pakaian sejenis coat ala korea dan melilitkan syal di leherku hingga menutupi dagu.


"Buat hidungnya agak memerah seperti orang flu," perintah Dewi pada pegawainya lalu beralih padaku. "Dek, kamu akan pura-pura menjadi keponakanku yang datang berkunjung tapi terserang flu dalam perjalanan."


Aku hanya mengangguk sebagai tanggapan..

Pada sentuhan terakhir, Dewi memakaikanku kacamata transparan dengan bingkai gelap, membuat wajah asliku semakin sedikit terlihat. Setelahnya kami bersama-sama berjalan kaki menuju gedung apartment.

Jantungku berdegup kencang saat melewati para penjaga bersetelan jas-coat hitam dan pegawai yang sedang memperbaiki kekacauan akibat ulahku satu jam lalu.


Satu jam?...
Astaghfirullah! Waktuku semakin habis!
Sementara itu Dewi tetap tenang sambil pura-pura bingung melihat kaca depan dan beberapa vas bunga rusak. Bahkan sengaja dia berhenti di meja resepsionis padahal ada penjaga di sana sampai Aku berfikir mungkin ini hanya jebakan. Bisa saja Dewi tidak memercayai ceritaku dan ingin Aku ditangkap.

Di depan meja resepsionis dia bertanya apa yang terjadi. Setelah mendapat penjalasan, giliran si wanita bagian resepsionis bertanya mengenai diriku. Dengan santai Dewi menjelaskan bahwa Aku adalah keponakannya yang datang berkunjung dan terserang flu dalam perjalanan. Setelahnya kami melanjutkan langkah menuju lift dan kebetulan berhasil mendapat lift kosong.


"Astaghfirullah, kufikir kita akan ketahuan." Aku menyuarakan ketakutanku seraya mendesah lega.


"Aku pintar berakting, kan?"...
Aku terkekeh mendengar gurauannya. Tapi setelahnya kami sama-sama terdiam dengan tegang.

"Apa perlu kuantar?" tanya Dewi begitu lift berhenti di lantai tempat apartmentku berada.


"Tidak perlu. Terima kasih. Aku takut menyeret Bu Dewi lebih jauh dalam masalah ini."


Aku tak menunggu tanggapan lagi. Hanya mengangguk penuh rasa terima kasih lalu bergegas menuju apartmentku yang masih menggunakan kunci manual—tidak seperti apartment mewah di bagian atas—dan selalu kukantongi. Beruntung tidak ada penjaga di sini. Sepertinya Alvin hanya meminta penjaganya fokus pada pintu gedung apartment.


Klekk.!...
Pintu terbuka dengan mudah. Segera Aku masuk lalu menutup pintu rapat dan menguncinya. Setelahnya Aku langsung berdiri di tengah ruangan seraya berseru, "Arvin!"

Seketika sesuatu terasa memelukku erat. Awalnya seperti kabut yang melingkupi. Lalu semakin lama semakin solid. 


"Sofia. Kufikir Aku tidak bisa melihatmu lagi," katanya dengan suara serak penuh emosi seraya mendekapku rapat. 


Bendungan air mataku pun hancur. Kubalas pelukannya sambil menangis tersedu. Dadaku sesak. Kubenamkan wajahku di dadanya sambil mencengkeram t-shirtnya erat.


Aku juga berfikir tidak akan bisa bertemu lagi denganmu, Arvin. Itu membuatku sangat takut.


"Aku mencintaimu."..
DHEG..!..Dua kata yang keluar dari bibir Arvin membuatku membeku. Aku menarik kepala tanpa melepas pelukan hanya agar bisa menatap wajah Arvin.

"Kau bilang apa?" tanyaku memastikan.


Arvin tersenyum. Kedua tangannya membingkai wajahku. "Aku mencintaimu, Sofia."


Perlahan senyumku turut merekah dengan mata berkaca-kaca. Ini pertama kalinya dia menyatakan cinta padaku.


Dia berdecak. "Seharusnya kau sudah tahu perasaanku dari sikapku selama ini padamu. Jadi pernyataan cinta semacam ini tidak penting."


Senyumku semakin lebar seiring air mata yang bergulir di pipiku. "Tidak, Aku tidak tahu. Katakan lagi!"


"Aku mencintaimu, Sofia Hani. Sangat. Meski dandananmu aneh seperti ini." Dia menundukkan wajah hingga kening dan hidung kami menempel satu sama lain. 


Aku mengerucutkan bibir, pura-pura merajuk. "Kalau bukan kerana dandanan ini, Aku tidak mungkin bisa berada di sini."


"Kalau begitu aku harus berterima kasih pada siapapun yang telah mendandanimu." Lalu dia memiringkan kepala, menyatukan bibir kami dalam ciuman penuh kerinduan.


Tok... tok... tok...!!! ..
Aku tersentak, begitu pun dirinya. Refleks kami berdua menoleh ke arah pintu. Seketika jantungku berdetak sangat kencang membayangkan anak buah Alvin berhasil melacak keberadaanku.

"Jangan khawatir. Kali ini tak akan kubiarkan mereka menyakitimu," mata Arvin berlumur janji.


Lalu dia kembali menciumku dalam, membuatku melayang, hingga perasaan hilang kendali akan tubuhku kembali muncul. Kali ini semua terasa lebih cepat. Saat membuka mata, Aku tahu tubuhku sudah berada dalam kuasa Arvin.


Tok... tok... tok..!!!..
"Siap keluar?" tanya Arvin melalui bibirku.

"Ya," sahutku mantap. "Kau masih ingat jalan pulang ke rumah Ibu-Bapamu? Ibumu bilang akan menahan Alvin di sana."


"Tentu saja." Lalu dia mengepalkan kedua tangan. "Hari ini semuanya akan berakhir. Aku janji." 


Senyumku merekah. "Aku percaya padamu."
[hsz] To be Continued..
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com

No comments