My Ghost Stories [18]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories [18]">

My Ghost Stories [18]

[Chapter 02-Part 18]


Aku duduk menunggu dengan gelisah di atas ranjang pasien.
Saat Ayah pergi, waktu masih menunjukkan pukul 10;00 siang. Tapi sekarang sudah pukul 7;00 malam. Dan Ayah belum juga datang. Padahal Ibu bilang Hospital ini tidak jauh dari gedung apartmentku. 


Ibu yang sedang mengupas apel juga sama gelisahnya. Sesekali dia berhenti lalu menoleh ke arah pintu. Lalu hela nafasnya terdengar sebelum melanjutkan mengupas.

"Bu, Sony dan Sofyan bersama siapa di rumah?" tanyaku memecah keheningan di antara kami.

"Ada Auntiemu. Dia di rumah bersama mereka," sahut Ibu tanpa mengalihkan perhatian dari apel yang sedang dikupasnya.

Aku merasa Ibu marah padaku. Sikapnya seolah mengabaikanku.
"Bu, maafkan Aku sudah membuat Ibu dan Ayah kesusahan." 


Terdengar hela nafas Ibu sebelum dia mendongak menatapku.
"Kamu tahu Ibu marah, kan?"


Aku mengangguk dengan rasa bersalah..."Tapi marah seorang Ibu selalu sama. Bukan kerana merasa disusahkan, tapi kerana khawatir. Entah berapa kali rasanya Ibu ingin pingsan membayangkan tembakan yang mengarah padamu bisa saja membuatmu langsung terbunuh, Nak." Tiba-tiba suara Ibu serak dan bergetar.

"Maaf, Bu." Hanya itu yang bisa kukatakan dengan air mata bergulir di pipi.

"Sudah." Ibu mengusap sudut matanya yang berair lalu tangannya menjangkau untuk menghapus air mataku. "Mahu apel?" tanyanya kemudian seraya mengiris-iris apel yang sudah dikupasnya.

"Tidak."

"Ibu juga tidak mahu."


"Lalu kenapa Ibu mengupasnya?" Kali ini Aku tersenyum.

"Ibu perlu sesuatu untuk dikerjakan. Lagipula ini kelakuan Ayahmu. Buah apel kan kesukaannya. Anaknya yang sakit malah beli buah kesukaannya sendiri," gerutu Ibu, membuat senyumku semakin lebar. 

Klek..!...Suara pintu yang dibuka membuat kami berdua refleks menoleh. Jantungku langsung berdegup cepat melihat Ayah masuk lalu berjalan mendekati ranjang yang kutempati dan duduk di kursi sisi ranjang berseberangan dengan Ibu.

"Kenapa lama sekali, Ayah?" tanyaku dengan raut khawatir.

"Ayah harus ke tempat lain dulu."

Keningku berkerut. "Ke mana? Apa Ayah bertemu dengannya?"

Ayah tersenyum lalu mengangguk.

"Jadi di apartment Sofia, benar-benar ada hantunya?"..Sudah kuduga Ibu belum sepenuhnya percaya. Jadi Aku memilih diam, menunggu penjelasan Ayah.

"Iya. Dan dia agak tidak ramah awalnya. Pertama Ayah berhasil masuk, dia melempari Ayah dengan telepon kabel. Untung Ayah berhasil menghindar. Saat benda lain melayang ke arah Ayah, Ayah langsung teriak, 'Aku Ayah Sofia!'. Barulah dia berhenti. Benda-benda langsung jatuh ke lantai. Ternyata itu pisau dapur." Ayah membuat gerakan bergidik. 

"Dia juga begitu awal Aku tinggal di aparement itu. Lalu bagaimana?"

"Kami berbincang."


"Ayah bisa melihatnya? Apa dia kelihatan menyeramkan?" tanya Ibu penasaran.

"Dia hanya kelihatan seperti kabut. Tapi Ayah bisa mendengarnya bicara."


"Apa yang kalian bicarakan?" Aku lebih penasaran akan hal itu.

"Ayah bilang sudah dengar banyak hal darimu. Lalu sekarang kau menjadi tersangka. Ayah jelaskan semua tuduhan dan bukti-bukti yang memberatkanmu. Lalu meminta tolong agar dia menyelamatkanmu. Tapi katanya dia tidak bisa melakukan apapun kerana terjebak di apartment itu. Bahkan dia tidak bisa masuk ke tubuh Ayah. Satu-satunya tubuh yang bisa dia rasuki adalah tubuhmu."

"Lalu bagaimana cara kita membuktikan kalau Sofia tidak bersalah?" tanya Ibu dengan khawatir. "Apa kita perlu membawa Polis penyidik itu ke apartment Sofia?" 

"Sepertinya dia tidak mungkin mahu," kataku lesu.

Ayah menepuk punggung tanganku lembut. "Jangan khawatir. Dia sudah memberi jalan keluar. Satu-satunya cara agar kamu lepas dari hukum adalah membuat Pak Arvin menarik tuntutannya. Jadi dia harus kembali ke tubuh asalnya. Dan untuk melakukan itu dia memerlukanmu. Kamu harus datang ke apartment lalu membantunya keluar seperti sebelumnya."

"Tapi bagaimana Sofia keluar dari sini, Ayah?" Ibu masih tampak sama khawatirnya seperti sebelum Ayah datang.

"Dia meminta Ayah menemui seseorang yang bisa membantu Sofia keluar dari sini selama beberapa saat. Itu sebabnya Ayah tertahan agak lama."

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Ibu Pak Arvin. Dan beliau sudah setuju untuk datang malam ini." Lalu Ayah melirik jam, "Mungkin sebentar lagi." 
***
Aku duduk bersandar di ranjang ward Hospital dengan gugup. Kedua tangan saling meremas di pangkuan. Ibu duduk di samping kananku dengan Ayah berdiri di belakangnya. Sementara di samping kiriku ada dia—Ibu Arvin yang tampak seperti gambaran wanita-wanita paruh baya dari kalangan atas.

Rambut disanggul rapi. Kuku jemari tampak berkilat meski tanpa pewarna. Dan beg tangan mahal yang dia letakkan di meja samping ranjang pasien. Semuanya tampak begitu mewah. Ditambah tatapan menyelidiknya, membuatku merasa salah tingkah.

"Boleh Aku panggil Fia saja?" akhirnya dia memecah keheningan tak mengenakkan yang terjadi sejak dia masuk ke ruang rawatku.

Sekilas Aku menoleh menatapnya lalu mengangguk dan kembali menunduk. "Saya memang berharap Anda memanggil begitu."

"Alfi. Kau bisa memanggilku Alfi." ...Aku kembali mendongak menatapnya. "Itu sangat tidak sopan. Saya diajari untuk tidak memanggil nama saja pada orang yang lebih tua."

Wanita yang tampak ramah itu tersenyum lembut. "Kalau begitu kamu boleh memanggil Auntie Alfi. Dan tidak perlu terlalu formal."

Aku balas tersenyum seraya mengangguk perlahan."Baiklah—Auntie."

"Hmm, Auntie sudah dengar banyak dari Ayah kamu. Tapi Auntie ingin mendengar semuanya dari kamu secara langsung. Bisakah kamu menceritakannya?"

Aku merasa ragu. "Sejujurnya Aku sendiri masih tidak percaya Auntie mahu datang ke sini. Maksudku, kenapa Auntie langsung setuju mengikuti keinginan orang asing yang menceritakan hal aneh dan tidak masuk akal tentang putranya?"

"Itu kerana Ayah kamu membawa pesan. Pesan seperti yang pernah dikatakan Arvin ketika dia masih berumur 10 tahun." Dia menghela nafas. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca saat mengeluarkan secarik kertas dari begnya lalu ia ulurkan padaku.

Aku menerimanya lalu membuka lipatan kertas yang sepertinya disobek dari salah satu bukuku...'Ma, Arvin terkurung. Tolong Arvin. Dia mengambil tubuh Arvin lagi'. 

Aku mendongak menatap Auntie Alfi. "Lagi? Sebelumnya ini pernah terjadi?"

Auntie Alfi mengangguk seraya mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Saat masih berusia 10 tahun. Arvin anak yang manis dan penurut. Sikapnya sudah dewasa bahkan di usia yang masih belia. Dia cenderung menghindari pertengkaran dan bisa dibilang menjadi pendamai. Kalau pun dia pernah bertengkar, itu kerana kesabarannya sudah hilang".

"Tapi hari itu, tiba-tiba dia pulang sekolah dengan kondisi babak belur. Besoknya Auntie dipanggil ke sekolah. Ada tujuh siswa yang berkelahi dengan Arvin. Ketujuhnya mengalami cedera parah bahkan sampai beberapa patah tulang. Sebagai Ibu tentu Auntie membela Arvin. Mereka bertujuh tapi Arvin sendirian. Kenapa malah Arvin yang disalahkan?

"Tapi ternyata menurut banyak teman-temannya yang menjadi saksi, Arvin yang memulai. Sengaja mengganggu dan menantang anak-anak itu berkelahi. Tentu saja Auntie tidak percaya. Arvin tidak mungkin melakukan itu. Papa Arvin yang waktu itu masih hidup tidak memperpanjang. Dia langsung menjamin pengobatan anak-anak yang terluka sampai sembuh sementara Arvin dipindahkan ke sekolah lain. Tapi dua hari di sekolah baru, hal yang sama terjadi lagi." 

Aku menunggu kelanjutan ceritanya dengan tegang dan bertanya-tanya. Apa hantu yang sekarang menguasai tubuh Arvin adalah hantu yang sama seperti saat dia kecil dulu?

"Setelah kejadian yang kedua kali itu, Papa Arvin murka. Dia menghukum Arvin tetap tinggal di rumah tanpa wang saku, handphone, dan laptop. Benda-benda yang bisa membuatnya terhubung dengan dunia luar. Sama sekali tidak ada rasa bersalah di wajahnya. Dia menghabiskan waktu sepanjang hari bermain game lalu tertidur di depan TV".

"Saat itulah Auntie duduk di sampingnya. Mengamatinya dengan seksama dan bertanya-tanya apa yang salah sampai dia menjadi seperti ini. Lalu tiba-tiba dia membuka mata, menatap Auntie dengan mata berkaca-kaca. Dia bilang, 'Ma, Arvin terkurung. Tolong Arvin. Di sini gelap. Arvin takut.'. Lalu tiba-tiba dia tertidur lagi dengan air mata bergulir di pipinya". 

"Dengan panik Auntie membangunkannya. Tapi tatapannya berubah lagi. Asing. Sesuatu yang baru Auntie sadari padahal insting Auntie sebagai seorang Ibu sudah merasakan perbedaan itu sejak beberapa hari sebelumnya. Dia menatap Auntie dengan dingin seraya bergumam, 'Ganggu saja,' lalu pergi ke kamarnya". 


"Setelah itu Auntie langsung memberitahu Papa Arvin dan kami menemui seorang pemuka agama. Ternyata katanya yang menguasai tubuh Arvin saat itu adalah hantu kembarannya. Dia membantu agar jiwa Arvin yang asli kembali menguasai tubuhnya. Tapi katanya dia tidak bisa menghancurkan hantu itu. Hanya membuatnya tertidur. Menurutnya hantu itu terbentuk akibat dendam dan iri. Jika dua perasaan itu hilang, maka sosoknya pun akan hilang."

"Tunggu, Anda bilang kembaran?" Ibu tak bisa menahan diri untuk menyela.

Auntie Alfi mengangguk. "Iya. Tapi kondisi bayi Alvin sangat lemah. Kata dokter, bayi Arvin menyerap semua nutrisi dalam kandungan dan tidak menyisakan untuk saudaranya. Mereka kembar identik dengan satu plasenta dan kantung ketuban yang sama. Kerana itu, bayi Alvin hanya bisa bertahan selama satu minggu sebelum meninggal." 

Aku tertegun. Seketika otakku memutar kenangan di lift waktu itu.
Ah, lebih tepatnya kenangan Arvin.


Pergi! Kini giliranku! Kau sudah cukup menikmati kebahagiaan dengan menjadikanku sebagai tumbal. Sekarang waktunya kau pergi! 

Refleks Aku menutup mulut dengan kedua tangan. "Jadi itu sebabnya dia berkata begitu," gumamku.

"Berkata apa?" tanya Auntie Alfi.

"Saat Arvin meminjam ragaku lalu kami mendatangi penthouse-nya, kami seolah terserat dalam kenangan yang sempat hilang dari ingatannya. Salah satunya mengenai sosok hantu yang mencekiknya. Hantu itu berkata, 'Sudah cukup kau menikmati kebahagiaan dengan menjadikanku sebagai tumbal. Sekarang kau harus pergi'." 

"Ternyata begitu. Alvin dendam pada Arvin. Dia fikir Arvin penyebab kematiannya."

"Padahal Arvin juga tidak bisa disalahkan," Ayah yang sebelumnya hanya diam akhirnya bersuara. "Bayi hanya bertindak sesuai instingnya untuk bertahan hidup."

Auntie Alfi mengangguk seraya lagi-lagi menyeka air matanya. "Tapi sepertinya Alvin tidak mahu menerima hal itu. Sudah kuduga ada yang salah sejak sikap Arvin berubah. Dia jadi dingin dan menjaga jarak meski tidak ada lagi laporan bahwa dia menyakiti seseorang. Aku takut dia melakukannya namun tak lagi terang-terangan. Menutupi semua itu dengan memanfaatkan koneksinya."

"Jadi Anda menyadari perubahan sikapnya?" Ibu yang bertanya.

Auntie Alfi mengangguk. "Ya, sejak dua tahun yang lalu."

Aku ternganga. "Sudah selama itu?"

"Tidak ada kejadian aneh yang tampak jelas seperti saat dia berusia  10 tahun. Jadi Auntie fikir ada masalah pekerjaan yang membuatnya tertekan hingga sikapnya berubah dingin. Tidak pernah Auntie sangka bahwa lagi-lagi ini perbuatan kembarannya. Pasti Arvin sangat ketakutan di apartment itu." Kali ini Auntie Alfi terisak perlahan lalu menatapku dengan penuh tekad. "Auntie sangat menyayangi mereka berdua. Alvin dan Arvin sama berharganya di mata Auntie. Tapi jika takdir sudah menggariskan seperti ini, manusia hanya bisa menerima. Kerana itu Auntie tidak bisa membiarkan perbuatan Alvin yang menyakiti Arvin. Arvin harus kembali ke tubuh asalnya. Tolong bantu Arvin kerana dari cerita Ayahmu, kamu lah harapan kami satu-satunya." 

Aku mengangguk tanpa ragu. "Tapi bagaimana Aku bisa membantu jika Aku terkurung di sini? Para Polis itu akan segera membawaku ke penjara."

Auntie Alfi meraih tanganku lalu meremas lembut. "Jangan khawatir. Walau Auntie tidak bisa membuatmu lepas dari tuntutan,  tapi Auntie bisa membantu agar kamu bisa keluar selama beberapa jam. Semoga itu cukup."

Aku mengangguk setuju. Meski tidak tahu apa beberapa jam saja cukup, tapi Aku tidak akan menolak peluang sekecil apapun untuk menemui Arvin dan membantunya.[hsz] To be Continued..
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com

No comments