My Ghost Stories [17]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories [17]">


My Ghost Stories [17]

[Chapter 02-Part 17]

Saat tersadar, Aku berada di ruangan putih yang steril. Kepalaku yang terasa berdenyut dan rasa sakit di sekujur tubuhku membuatku perlu waktu lama untuk menyadari bahwa kini Aku berada di hospital.
Namun kesadaran itu tak berlangsung lama, kerana perlahan semuanya kembali gelap. 


Aku tidak tahu sudah berapa lama Aku ada di hospital ini. Saat berhasil mendapatkan kesadaranku kembali, tubuhku masih terasa sangat lemah tak bertenaga.


"Saya mohon!"...
"Sebentar saja."

"Tidak bisa."... 
"Tapi kami—"

Lalu tak ada lagi yang bisa kudengar. Semuanya terasa berdengung. Hingga akhirnya kegelapan kembali menelanku ke dalam jurang terdalam.

***
"Ngghh...."..Aku mengerang akibat rasa kering di tenggorokan. Namun kegelapan tak juga mahu menyingkir dari penglihatanku, membuatku lagi-lagi hanya bisa mengerang.

"Nggghh... ha... us...!" 


"Sofia. Kau sudah sadar?"


"Panggil dokter, Yah!"... 
Suara-suara itu familiar. Tapi otakku yang berkabut tak bisa langsung mengenalinya. Setelahnya terdengar suara-suara yang tak bisa kutangkap jelas. Lalu terasa seseorang mengangkat salah satu kelopak mataku. Refleks Aku berkedip begitu cahaya terang langsung menusuk mata.

"Tidak apa-apa. Dia baik-baik saja...." ...
Lalu suara-suara itu kembali tidak jelas. Beberapa saat kemudian, sesuatu yang basah menyentuh bibirku. Refleks Aku menjilatnya, berharap bisa mengurangi rasa kering di tenggorokan. Lalu terasa sesuatu seperti bibir gelas menyentuh bibirku. Segera kuteguk isinya yang mengalir dingin, membuatku mendesah lega. 

Setelahnya Aku berbaring tenang. Kali ini tidak memaksa diri untuk segera keluar dari kabut ini. Aku menunggu, mungkin hanya beberapa detik namun bagai berjam-jam, hingga akhirnya Aku sanggup membuka mata.


Hal pertama yang tampak dalam pandanganku adalah langit-langit berwarna putih lalu disusul bau antiseptik. Tak perlu waktu lama sampai Aku menyadari bahwa ruangan ini adalah kamar hospital.


Remasan lembut di jemariku membuatku menoleh. Lalu pandanganku beradu dengan sosok yang amat kukenal, membuatku mengerjip mata beberapa kali kerana rasa tak percaya.


"Ibu?" tanyaku, meragukan penglihatanku.


"Ya Allah, Nak. Syukurlah. Ibu benar-benar khawatir." Ibuku menangis sambil sesekali mengecup punggung tanganku dan membelai pipiku. "Kenapa bisa sampai seperti ini?"


"Ba—bagaimana Ibu bisa di sini?" tanyaku terbata.


Apa Aku sedang bermimpi? ...
Aku ingat dengan jelas semuanya. Bagaimana Arvin masuk ke tubuhku lalu kami berusaha masuk ke penthouse milik Arvin yang ditempati hantu pencuri tubuhnya. Pelurv-pelvru beterbangan ke arah kami dan Arvin dengan tenangnya mengibas benda-benda berbahaya itu. Hingga akhirnya kami jatuh oleh satu temba5an akibat ingatan Arvin yang tiba-tiba datang menyerang. Setelah semua itu, bagaimana Ibuku bisa tiba-tiba berada di sini?

"Kami mendapat telepon dari polis!" Ibu menjelaskan setengah marah sekaligus terisak. "Seharusnya Ibu memang tidak pernah memberimu izin pergi. Kalau saja kamu tetap di rumah dan menjadi guru, kamu pasti tidak akan terlibat masalah semacam ini."


Air mataku turut menetes melihat tangis ibu. Aku tidak mahu membuatnya khawatir dan sedih seperti ini. Aku bahkan tidak pernah berfikir bahwa yang kulakukan akan berakhir mendapat tembakan. Semua memang berjalan di luar rencana. 


"Ibu sungguh tidak mengerti yang kamu fikirkan!" lanjut Ibu masih dengan nada marah. Namun air matanya tak mahu berhenti mengalir. Genggamannya begitu kuat di jemariku, menandakan dia takut kehilangan diriku. "Bisa-bisanya kamu menerobos masuk ke penthouse pemilik gedung lalu menembaki anak buahnya. Apa yang kamu fikirkan?! Ingin jadi pembunuh?! Bahkan Ibu tidak tahu kamu dapat pist0l dari mana?!"


Teriakan-teriakan dan isak tangis Ibu terasa memenuhi kamar. Tangisku semakin pecah. Kugenggam erat jemarinya dengan perasaan bersalah.


"Aku tidak menembak siapapun, Bu," kataku perlahan.


Ibu mengusap air matanya dengan punggung tangan. Matanya berkilat marah. "Masih saja kamu menyangkal dengan semua bukti? Bahkan pemilik gedung sudah menuntut kamu dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Apa kamu tahu bagaimana susahnya Ayah dan Ibu masuk ke sini karena banyak polis yang berjaga di luar?" Lalu Ibu kembali terisak. "Hanya menunggu waktu sampai para polis itu menyeret kamu ke penjara." 


Astaghfirullah!...
Aku benar-benar tidak menyangka semuanya akan seperti ini. Kufikir masalah Arvin akan langsung selesai begitu dia bertemu dengan hantu yang menempati raganya. Tapi tak kusangka—

Arvin!...
Di mana Arvin?!...Baru saja Aku hendak bertanya pada Ibu, pintu ruang rawat tempatku berada terbuka lalu menampakkan sosok Ayah bersama seorang Polis yang tampak sangar dengan kumis tebalnya.

"Dia baru sadar, Pak." Terdengar suara Ayah perlahan, berbicara pada polis di sampingnya. "Tidak bisakah Bapak menunggu sampai Sofia benar-benar pulih?"


"Ini tidak akan lama." Hanya itu yang dikatakan Polis itu sebelum masuk ke dalam ruangan lalu berdiri di sisi ranjangku yang lain, berseberangan dengan tempat Ibu duduk. "Nona 
Sofia Hani," panggilnya dengan suara datar sambil mengeluarkan buku kecil dari sakunya. "Saya penyidik yang menangani kasus ini. Bisakah Anda menjawab beberapa pertanyaan saya?" 

Jelas itu basa-basi. Meski dia bertanya, namun nada dan tatapannya menunjukkan tak menerima penolakan. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengangguk.


"Bagus."...
Tatapannya tajam menusuk, membuat hatiku gentar. Tapi Aku membalasnya dengan tenang. Kemampuan yang sepertinya sudah cukup terlatih sejak Aku mengenal hantu penghuni apartmentku.
Ah, maksudnya Arvin Radhika yang asli.


"Saya tidak mahu basa-basi," katanya seraya menarik kursi di dekatnya lebih dekat padaku lalu duduk. "Kenapa Anda menyerang Pak Arvin Radhika?"


"Saya tidak pernah menyerangnya," kataku mantap namun dengan nada lemah kerana tubuhku masih terasa kaku dan sakit.


"Hahaha... lucu sekali Anda bilang tidak menyerangnya," jelas dia tengah mengejek. "Lalu apa sebutan untuk kelakuan Anda yang mendatangi kediamannya dengan pistol hingga menyebabkan banyak perabotan rusak dan dua orang terluka tembak?"


"Aku tidak memegang pistol," kali ini suaraku serak diiringi air mata yang bergulir. Ayolah, Sofia! Jangan cengeng sekarang!


"Ehm, Pak. Mungkin Sofia perlu waktu—"...
Tangan polis itu terangkat menyuruh Ibu diam tanpa mengalihkan perhatian dariku. "Saya tidak akan luluh dengan air mata Anda, Nona Sofia. Seharusnya Anda bersyukur kerana mendapat perawatan selama dua hari ini dan bukannya langsung dijebloskan ke penjara," desis polis itu marah.
 "Jadi hapus air mata Anda dan coba jelaskan bagaimana perabotan di rumah Pak Arvin rusak dan anak buahnya terluka? Semua itu jelas akibat tembakan dan ada dua pistol yang penuh sidik jari Anda."


"Itu—"...
Mereka yang menembaki kami. Aku dan Arvin. Arvin hanya menyingkirkan peluru-peluru yang mengarah pada kami. Tidak ada niat membunuh. Arvin hanya ingin mengambil kembali tubuhnya yang dicuri sesosok hantu. 

Aku menggigit bibir dengan air mata yang lagi-lagi bergulir, menyadari tidak akan ada yang percaya pada ceritaku.


"Itu—apa?" desak polis itu tak sabar. 


"Aku tidak tahu." Akhirnya itu yang keluar dari sela bibirku dengan lirih.


"Tidak tahu?" Polis itu bertanya dengan nada tak percaya. "Saya sama sekali tidak menyukai jawaban itu, Nona." Lalu dia menghela nafas seraya menunduk, membolak-balik buku catatannya lalu kembali menatapku. "Sepertinya Anda tidak mahu mengakui perbuatan Anda padahal semuanya sudah jelas. Kalau begitu kita loncati saja bagian itu kerana sekarang saya ingin tahu apa motif Anda. Apa Anda marah pada Pak Arvin kerana beliau meminta Anda pindah ke apartment yang lain atau ini bagian dari cara Anda mendapatkan inspirasi untuk bahan tulisan? Saya dengar dari Ibu-Bapa Anda bahwa Anda memutuskan hidup jauh dari mereka selama dua tahun untuk mencari pengalaman demi memperkaya imajinasi. Jadi apa motif Anda?"


Aku menggeleng. "Bukan dua-duanya."


"Lalu apa?"


"Aku tidak pernah berniat menyerang apalagi membunuh Pak Arvin." Kali ini Aku bisa berbicara tanpa bergetar.


Polis itu mulai hilang kesabaran. Dia berdiri dengan sikap kaku. "Pertanyaan terakhir. Kenapa Anda masuk ke penthouse Pak Arvin hari itu?"


Lagi-lagi Aku menggigit bibir lalu tak punya pilihan selain menggeleng lemah.


"Baiklah. Saya anggap Anda mempersulit proses penyidikan. Ini akan membuat Anda langsung ditetapkan sebagai tersangka. Permisi."


"Pak, tunggu dulu. Bagaimana—" Ayah bergegas mengikuti polis penyidik itu keluar ruangan. Hatiku pedih mendengar nada memohonnya.


Sepeninggal mereka, suasana dalam kamar hening. Ibu masih menggenggam jemariku namun memilih bungkam, seolah tidak tahu lagi hendak berkata apa. Tak lama kemudian pintu kembali terbuka lalu Ayah masuk dengan raut lesu. Dia mendekati ranjang tempatku berada lalu duduk di kursi yang tadi ditempati polis penyidik.


"Sebaiknya kamu berlutut di depan pemilik gedung. Memohon belas kasihannya agar mencabut tuntutan," saran Ibu memecah keheningan seraya mengusap air mata yang bergulir di pipinya.


Ayah menggeser kursi semakin dekat padaku lalu membelai kepalaku lembut. "Boleh Ayah tahu kenapa kamu melakukan semua itu? Kamu mungkin tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada polis tadi. Tapi apa kamu juga tidak mahu bercerita pada Ayah dan Ibu?"


Sikap lembut Ayah membuat air mataku semakin menitik. Kutatap mata hitamnya penuh sayang. "Ayah-Ibu tidak akan percaya."


"Coba ceritakan," pinta Ayah lembut.


Sejenak Aku terdiam. Lalu menghela nafas sebelum memulai. "Aku tidak pernah berniat menyerang Arvin Radhika. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Mungkin mengobrol. Atau apapun. Yang jelas bukan penyerangan apalagi percobaan pembunuhan."


"Tapi bagaimana semua bukti—" Ayah terdiam, tak mengerti.


"Saat baru keluar dari lift di lantai penthouse-nya, orang-orang Arvin sudah bersiap di sana dengan pist0l mengarah pada kami. Mereka yang menembaki kami."


"Kami?" sela Ibu bingung.


Astaghfirullah, bagaimana cara menjelaskannya? Apakah mereka akan menganggapku gila?


"Sebenarnya ada hantu yang menempati apartmentku. Bisa dibilang Aku berteman dengannya meski awalnya dia berusaha membuatku keluar dari apartment itu kerana menurutnya itu adalah rumahnya." Sengaja Aku tidak melihat wajah Ibu-bapaku, memilih menatap langit-langit kamar. "Kami hidup seperti teman sekamar. Sayang dia sama sekali tidak ingat namanya dan bagaimana dia mati. Yang jelas dia terjebak di apartment itu. Sama sekali tidak bisa keluar".


"Lalu suatu hari, Aku melihat seseorang yang sangat mirip dengannya. Dengan hantu di apartmentku. Awalnya di toko buku lalu di lobby  gedung apartment. Kufikir dia kembaran hantu yang masih hidup. Setelahnya tiba-tiba tawaran untuk pindah ke apartment lain datang. Aku merasa tawarannya tidak masuk akal. Kerana itu Aku menolak. Tapi mereka bersikeras ingin Aku pindah. Sampai pemilik gedung sendiri yang ingin bertemu denganku. Di pertemuan itu Aku tahu bahwa pemilik gedung adalah orang yang memiliki wajah yang sama dengan hantu penunggu apartemenku". 


"Kami mengobrol di penthouse-nya. Dia masih bersikeras agar Aku pindah. Hingga akhirnya dia memberikan alasan bahwa ada hantu pencuri tubuh di apartmentku. Saat itulah Aku merasa—apa hantu pencuri tubuh itu telah mencuri tubuh Arvin Radhika yang asli lalu membuat jiwanya terjebak di apartment yang kutempati?"


"Astaghfirullah!" Terdengar seruan perlahan Ibu. Tapi Aku tahu dia belum sepenuhnya percaya.


"Lalu bagaimana?" desak Ayah. 


"Semuanya semakin terasa aneh saat Arvin mengirim anak buahnya untuk menyeretku keluar dari apartment. Kenapa dia begitu bersikeras ingin Aku pindah? Dalam kondisi Aku diseret paksa, hantu penunggu apartmentku masuk ke tubuhku lalu melempar orang-orang itu keluar. Setelahnya dia bilang ingin bertemu Arvin secara langsung dengan meminjam tubuhku".


"Aku menyetujuinya. Lalu kami bersama-sama menuju penthouse Arvin. Aku bisa melihat semuanya tapi hantu itu yang menggerakkan tubuhku. Selanjutnya seperti yang kuceritakan tadi. Anak buah Arvin menembaki kami. Dengan mudah hantu dalam tubuhku menepis peluru-peluru itu hingga berbalik arah dan menghancurkan perabotan serta melukai anak buah Arvin. Sementara itu Arvin melarikan diri melalui tangga darurat".


"Saat itu Aku masih bertanya-tanya kenapa Arvin berusaha kabur? "Padahal kami tidak berniat buruk. Ternyata jika hantu itu dekat dengan tubuh Arvin, ingatannya kembali. Dugaan kami benar. Hantu itu jiwa Arvin yang asli. Jika berdekatan dengan tubuhnya, raganya seolah menolak jiwa palsu lalu menarik jiwa asli kembali ke tempat asalnya." Sejenak kuusap air mata yang mengalir di pipi sebelum melanjutkan, "Aku tahu ini memang tidak masuk akal. Tapi itu yang sebenarnya terjadi. Dan sekarang si Arvin palsu berusaha membuatku menjadi tersangka."


"Lalu di mana jiwa Pak Arvin sekarang? Kalau semua ini benar, dia satu-satunya harapan kita agar kamu tidak terjerat hukum." 


Aku menoleh menatap Ayah. "Ayah percaya padaku?"


Ayah tersenyum lalu mengangguk. "Tentu saja."


"Itu bukan hanya salah satu cerita karangan kamu, kan?" Ibu mengungkapkan keraguannya.


Aku menoleh menatap Ibu lalu menggeleng.


"Jadi di mana kira-kira Ayah bisa berkomunikasi dengan jiwa Pak Arvin? Apa dia ada di ruangan ini?"


Aku diam sejenak. "Kurasa dia kembali ke apartmentku. Terjebak di sana."


Tiba-tiba Ayah berdiri..."Ayah akan ke sana." 
[hsz]  To be Continued...

Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com

No comments