My Ghost Stories [15]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories[15]">

My Ghost Stories [15]

[Chapter 02-Part 15]

Aku berdiri tegak di tengah ruangan dengan mata terpejam. Bersiap menerima jiwanya ke dalam tubuhku. Tapi tak kupungkiri, Aku ketakutan. Apakah jika terlalu lama dia menggunakan tubuhku, jiwaku sendiri juga akan terlempar keluar? Jika itu terjadi, bisakah Aku kembali? 

Namun di sisi lain ada rasa senang yang membuncah. Rasa senang akibat fakta bahwa—jika dugaan kami benar—ada peluang bagi kami untuk bersama, layaknya pasangan pada umumnya. Hal ini membuatku merasa rela menyerahkan segalanya, mencoba berbagai cara, demi bisa membantunya kembali pada tubuh asalnya. 

Tangan hangat yang menangkup pipiku membuatku tersentak, namun tetap menutup rapat mataku. Kurasakan kini dia berdiri begitu dekat di depanku, membuat tubuh bagian depan kami menempel rapat. 

"Percaya padaku," gumamnya dengan nafas yang menerpa wajahku. Aku yakin saat ini dia menunduk hingga wajah kami sejajar. 
Aku mengangguk sebagai tanggapan.

"Tarik nafas."... Kulakukan seperti yang dia katakan. Setelah tiga tarikan nafas, Aku mulai merasa rileks. Namun detik berikutnya Aku kembali tersentak saat kurasakan bibir hangatnya menempel rapat di bibirku, dilanjutkan dengan rasa sakit yang mencengkeram dada hingga membuatku sesak nafas. 

Tapi itu tak berlangsung lama. Mungkin hanya sepuluh detik. Berikutnya yang kurasakan tubuhku dingin. Dimulai dari ujung-ujung jari kaki dan tangan, terus menjalar hingga akhirnya seluruh tubuhku terasa dingin. 

Perlahan rasa dingin itu berubah menjadi rasa kebas. Hingga Aku mati rasa dan mulai kehilangan kendali atas tubuhku. Kucoba untuk mengangkat tanganku. Terasa amat berat dan sama sekali tak bergerak 

Akhirnya kucoba membuka mata dan refleks Aku memekik kaget sekaligus takut hingga tubuhku jatuh terduduk di atas kegelapan bagai lantai nan dingin.

Ya, disitulah Aku berada saat ini. Kegelapan yang pekat. Membuatku ketakutan setengah mati. Sejauh mata memandang, semuanya gelap, hingga rasanya Aku tak bisa bernafas.

"Hei, aku di sini. Jangan takut."... Sentuhan di pipiku membuatku menoleh ke samping kanan. Awalnya gelap. Tak ada yang bisa kulihat. Lalu perlahan cahaya aneh membuat wajahnya terlihat hingga seluruh tubuhnya pun tampak. Tubuhku pun yang tadinya tak bisa kulihat kerana terlalu gelap, kini bisa terlihat. Namun sekitar kami tetap gelap. Membuat kami seolah berada di dunia ini hanya berdua.

"Jangan takut," Ulangnya disertai senyum lembut. "Kau bersamaku."

Perlahan Aku mengangguk lalu senyumku turut merekah. "Kau tetap di sini, kan?"

"Iya. Ayo berdiri."... Dia membantuku berdiri lalu melangkah ke belakangku. Tangannya yang semula memegang tanganku beralih memelukku dari belakang sementara kepalanya bersandar di pundak kananku, membuat pipi kami menempel.

"Lalu apa?" tanyaku seraya meletakkan kedua tanganku di atas tangannya yang terjalin di perutku.

"Lihat ke depan."... Kulakukan seperti yang dia katakan.

Satu detik...Dua detik...Tiga detik..,!.. Dan didetik keempat, kegelapan bagai kabut hitam di depan sana perlahan tersibak, lalu menampakkan cahaya yang bergerak semakin dekat. Terus kian dekat hingga Aku merasa panik. Lalu cahaya itu menghantam wajahku hingga selama sedetik Aku merasa buta akibat cahaya yang terlalu terang memenuhi mata.

"Arghh!" pekikku sambil memejamkan mata rapat. 

"Tidak apa-apa. Aku di sini." Dia yang masih memelukku dari belakang berusaha menenangkan. Pelukannya menghangatkan. Hembusan nafasnya di sisi leherku membuatku perlahan tenang.

Perlahan kubuka mataku. Dan Aku kembali berada di dalam apartmentku, di tempatku berdiri tadi sebelum dia menciumku.

"Tidak terjadi apapun?" tanyaku bingung. Lalu keningku berkerut saat menyadari tadi Aku bertanya melalui mulutku, bukannya dalam hati. Namun tak ada gerakan dari bibirku.

Lalu tubuhku bergerak di luar kendaliku. Melewati ambang pintu kamar yang terbuka dan berhenti di depan cermin besar yang terpasang di pintu lemari. Penampilanku masih sama seperti tadi. Rambut panjang dikuncir ekor kuda, kaus putih polos lengan panjang dipadukan dengan rompi-vest rajutan orange tanpa lengan dan tidak dikancing, serta celana jeans. Tidak ada yang aneh. Kecuali— 

Apa tatapanku tampak kosong?.. "Sekarang aku yang mengendalikan," katanya... Aku terbelalak saat menyadari gerakan bibir di dalam cermin. Dan suara itu bukan berasal dari dia yang terasa masih memelukku di belakang. Suaranya seolah dari tempat lain, yang dibatasi kaca tebal dari tempatku berada, namun masih bisa kudengar jelas.

Refleks kucoba menoleh. Namun tubuhku tak bisa bergerak. Yang kulihat hanya sebatas yang mata itu lihat. Mata dalam cermin.

"Kau di mana?" tanyaku panik.
"Aku di sini. Memelukmu." Lagi-lagi bibir dalam cermin yang bergerak berbicara. Dan diakhiri dengan senyum lembut. Di saat bersamaan, pelukan dari belakang tubuhku terasa semakin kuat, menenangkan, namun Aku masih kehilangan kendali untuk menggerakkan tubuhku. 

"Kau percaya padaku, kan?" Lagi-lagi dia mengulang pertanyaan itu.. Aku berniat mengangguk. Namun kerana tubuhku tak bisa digerakkan, Aku berkata, "Iya."

"Kita pergi sekarang?"... "
Iya." Memangnya apa lagi yang bisa kukatakan? Aku ingin semua ini segera berakhir. Meski Aku mencintainya, bersatu seperti ini amat tidak nyaman.

Bibirku yang tampak di cermin melengkung membentuk senyum geli meski tatapanku masih kosong. "Orang lain pasti bersyukur jika bisa bersatu jiwa dan raga dengan orang yang dicintainya." 

"Itu artinya mereka belum pernah merasakan seperti ini," nada suaraku terdengar menggerutu.

"Bayangkan kita sedang mengendarai jetski. Kau duduk di depan dan Aku duduk di belakangmu memegang kemudi. Kau tidak akan bisa melakukan apapun selain menikmati pemandangan sementara Aku yang mengendalikan laju dan arah jetski." 

"Tapi Aku masih bisa menggerayangimu, bukannya kaku seperti ini," lagi-lagi Aku menggerutu. 

Dia terbahak sampai tubuhku membungkuk. Lalu kembali menatap cermin seraya berkata, "Ya, posisi ini memang cukup merugikanmu. Kau tidak bisa melakukan apapun sementara aku bisa menyentuh di mana saja yang kuinginkan." Dan kalimat terakhir itu bersamaan dengan tanganku terangkat menarik kerah kaus sementara kepalaku menunduk seolah hendak mengintip yang tersembunyi di dalamnya. 

"Hei!" pekikku dengan wajah yang terasa panas kerana malu.

Dia kembali terbahak seraya menjauhi cermin lalu keluar kamar. "Apa kau melihat sesuatu?"

Gelap!... "Ya, aku juga tidak melihat apapun," tawa gelinya masih terdengar. Atau apa perlu kubilang tawa geliku? Kerana yang dia gunakan tertawa adalah mulutku.

"Sama saja.".. 
Dan yang lebih menyebalkan lagi, dia masih saja bisa membaca fikiranku sementara Aku tidak tahu apapun yang dia fikirkan.

"Saat ini yang kufikirkan hanya fokus ingin bertemu Arvin Radhika." Nada suaranya berubah serius saat membuka pintu apartment lalu keluar.

Sejenak dia berhenti di depan pintu, menatap sekitar. Kurasakan gerakan dia menarik nafas beberapa kali, bagai narapidana-banduan yang baru menghirup udara bebas.

"Ya, seperti itu yang kurasakan," katanya sebelum melangkah menuju lift di ujung lorong.

Setelahnya kami sama-sama terdiam. Aku tak tahu bagaimana perasaannya. Namun Aku merasa tegang. Dan keteganganku semakin meningkat selama menunggu pintu lift terbuka.

"Sofia.,!".. 
Aku tersentak kaget mendengar seseorang memanggilku. Namun tubuhku tetap tenang dan kaku. Hanya menoleh perlahan hingga mendapati wajah Astrid di sana lalu kembali menatap lurus ke depan. 

"Aku dengar ada keributan tadi dari apartmentmu. Apa terjadi sesuatu? Aku tidak sempat keluar untuk melihat."

Tidak ada tanggapan..."Astrid pasti bingung. Katakan sesuatu."

Namun ucapanku juga tak mendapat tanggapan, membuatku mengerucutkan bibir. Tentu saja itu hanya perasaanku kerana Aku masih merasa kaku.

Pintu lift terbuka, kami berdua pun masuk, bergabung dengan dua lelaki di dalam. Kurasakan lirikan bingung Astrid mengarah padaku. Namun kali ini dia memilih bungkam.

"Hmm, tingkat yang kamu tuju—penthouse pemilik gedung, ya?" Astrid terdengar berbisik, tak bisa menahan diri untuk bertanya setelah melihat tombol yang kupilih. Tapi sama seperti tadi, pertanyaannya tak mendapat tanggapan.

Lift menuju ke tingkat dasar. Astrid turun bersama dua lelaki tadi dan masih sempat menoleh padaku dengan raut bingung yang tampak jelas di wajahnya.

Begitu pintu tertutup, lift kembali bergerak naik. Kali ini tampaknya dewi fortuna memihak kami. Tidak ada yang naik lagi. Aku sendirian di dalam lift hanya ditemani jiwa hantu yang sepertinya memang bernama Arvin. Hingga akhirnya tersisa satu tingkat lagi yang harus kami lewati untuk mencapai penthouse pemilik gedung. Tapi tiba-tiba—

"Akhhh!"... 
Aku tersentak saat rasa sakit menghantam kepalaku. Ah, bukan hanya Aku. Dia juga kesakitan. Tubuhku bersandar di dinding belakang lift dengan posisi agak membungkuk sementara kedua tangan memegang kepala. Dan saat itulah Aku melihatnya. Bagai kilasan filem, dengan dia sebagai tokoh utama. 

Aku ada di sebuah ruangan menyerupai kamar yang mewah. Dan Aku ada di tubuh seseorang. Tubuh si hantu yang berbaring kesakitan di atas ranjang. Kedua tangannya seolah hendak menyingkirkan sesuatu di leher yang terasa mencekik, namun tidak ada apapun yang tampak. 

"Uhukkk... le... pas!".. 
Aku juga merasakannya. Sesak tak bisa bernafas. Leherku sakit. Dan saat Aku berfikir hidupku akan berakhir di situ, tiba-tiba sesuatu mulai tampak di atasku, menindih tubuhku—atau tubuh si hantu—terserah yang mana saja.

Semakin lama sosoknya yang kabur semakin tampak jelas. Dan Aku terbelalak menyadari sosok itu transparan dengan hawa dingin menyeramkan di sekitarnya. Dia menindih tubuhku dengan kedua tangan mencekik leherku.

Namun di antara semua itu, yang paling membuatku ternganga kehilangan kata adalah wajahnya. Bukan wajah menyeramkan seperti yang sempat kubayangkan mengenai hantu pencuri tubuh. Tapi itu adalah wajah Arvin Radhika sendiri.

Mungkin kerana kesadaran itu, tiba-tiba Aku seolah terlempar dari tubuh yang masih terbaring tercekik di atas ranjang. Kini Aku berdiri di sisi ranjang dengan pandangan tak percaya mengarah pada mereka berdua. Yang satu sosoknya amat solid menandakan bahwa dia manusia. Sementara yang satu lagi transparan dengan hawa dingin mengerikan yang mengelilingi tubuhnya. Keduanya memiliki rupa yang sama persis. 

Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Arvin Radhika memiliki dua jiwa dalam satu tubuh? [hsz] To be Continued...
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com

No comments