My Ghost Stories [14]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories [14]">

My Ghost Stories [14]

[Chapter 02-Part 14]

Aku keluar dari lift dengan degup jantung yang masih sama kerasnya seperti saat keluar dari ruang kerja Pak Arvin. Sesekali kulirik sekitar dengan perasaan cemas dan takut, seolah-olah sewaktu-waktu Pak Arvin akan muncul menghadang jalanku. 

Tanganku gemetar saat membuka pintu lalu masuk ke apartmentku. Setelah memastikan pintu tertutup rapat, Aku bergegas menuju sofa tempat si hantu yang semula berbaring langsung merubah posisi menjadi duduk begitu melihatku.

"Ada apa lagi?" tanyanya.

"Arvin Radhika." Aku menyebut nama itu seraya duduk di sampingnya, berharap dia ingat sesuatu.

Dia menatapku bingung... "Kau tidak ingat nama itu?" desakku.

Dia menggeleng. "Apa seharusnya aku ingat?" 

Lagi-lagi kuabaikan pertanyaannya. "Lalu pemilik gedung ini? Apa kau pernah bertemu dengannya?" 

"Aku tidak pernah keluar dari sini. Hanya para penyewa yang pernah kutemui."

Aku berdiri lalu menggigiti kuku jariku dengan cemas. "Aku merasa itu tubuhmu. Dia mencuri tubuhmu." Saat kukatakan dengan lantang dugaan mengerikan itu, tubuhku semakin gemetar ketakutan. 

"Sofia, aku masih tidak mengerti," ucapnya lembut seraya memegang tanganku lalu menarikku kembali duduk di sampingnya.

"Apa kau tidak bisa membaca apa yang kufikirkan?"

"Tidak. Fikiranmu seperti berkabut."

Kupejamkan mata sejenak seraya mengatur nafas sebelum kembali menatap mata hitamnya. "Ternyata pemilik gedung adalah orang yang mirip denganmu. Orang yang kulihat di lobby dan toko buku. Namanya Arvin Radhika. Awal masuk ke penthouse itu dan bertemu dengannya, Aku masih berfikir dia kembaranmu. Tapi saat dia mendesakku untuk pindah dari sini dengan alasan ada hantu jahat yang suka mencuri tubuh, seketika fikiranku berubah. Aku yakin dia bukan kembaranmu. Tapi hantu jahat yang mencuri tubuhmu dan membuatmu terjebak di sini sementara dia bisa berkeliaran bebas." 

Dia terdiam mendengarkan. Bukan hanya perkataanku, tapi dia juga tampak tengah mendengarkan fikiranku. Dengan sengaja Aku berkonsentrasi memikirkan kembali semua kejadian sejak Aku masuk ke penthouse Arvin hingga akhirnya keluar dari sana dengan perasaan takut.

"Apa kau masih tidak ingat apapun?" desakku lagi, berharap kali ini dia mengingat sesuatu. Apapun. Yang bisa memberi kami petunjuk.

Dia menggeleng perlahan lalu meraih kedua tanganku ke dalam genggaman hangatnya. "Bagaimana kalau dia benar? Bahwa aku hantu jahat yang suka mencuri tubuh manusia? Bukankah itu artinya kau benar-benar harus pergi?"

"Tidak!" seruku tegas. "Aku yakin sekali memang dia hantunya. Aku sama sekali tidak takut berada di dekatmu, bahkan saat kau mengancamku dengan pisau melayang di depan wajahku sekalipun. Tapi di dekatnya—ah, tidak. Bahkan hanya berada satu ruangan dengannya, seluruh tubuhku merinding. Aku ketakutan." 

Dia tak mengatakan apapun. Seolah ingin menyangkal dugaanku namun memilih menahan diri.

"Ya, Aku yakin Arvin Radhika adalah namamu yang sebenarnya. Tapi bagaimana kita tahu cara mengembalikan dirimu kalau kau tidak ingat apapun?"


Sebelum dia menanggapi pertanyaanku, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Mungkin kerana masih dikuasai rasa takut, refleks Aku terlonjak dan rasa takut kembali menjalari tiap pori-pori tubuhku.

Remasan lembut di tanganku membuatku kembali menoleh pada si hantu yang sekarang kuyakin bernama Arvin Radhika.

"Jangan terlalu yakin dulu sebelum aku ingat sesuatu atau kita punya bukti yang membenarkan bahwa aku bernama Arvin. Dan orang yang mengetuk pintu itu mungkin hanya tetangga atau suruhan pemilik gedung yang ingin segera tahu keputusanmu untuk pindah atau tidak. Kau belum memberikan jawaban pasti, kan?"

Aku mengangguk... "Kalau begitu tarik nafas panjang dan buka pintunya dengan tenang. Jangan tunjukkan rasa takutmu, bahkan di depan orang yang menjadi sumber ketakutanmu." 

Lagi-lagi Aku mengangguk lalu segera menarik nafas panjang sesuai sarannya. Setelah merasa lebih tenang, Aku berdiri lalu melangkah menuju pintu.

Klekk..! Begitu pintu dibuka, Aku tersentak melihat lima orang bersetelan jas hitam dan bertubuh kekar berdiri di sana. Mereka tampak seperti tukang pukul mafia yang ada di film-film. 

"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku hati-hati seraya berdoa semoga mereka salah mengetuk pintu dan bukannya orang-orang suruhan Pak Arvin.

"Anda Nona Sofia, kan?"

DHEGG.,!.. Rasanya jantungku berhenti berdetak mendengar suara kasar itu menyebut namaku dengan tepat. Apa sebaiknya Aku berbohong?

"Iya, benar. Ada perlu apa?"

"Pak Arvin meminta kami membantu Anda pindah ke tingkat atas."

Lagi-lagi kemampuan beraktingku tengah diuji. Saat yang kuinginkan adalah berlari lalu sembunyi di suatu tempat, Aku terpaksa harus menahan diri tetap berdiri tegak dan bersikap tenang.

"Pasti ada kesalahfahaman. Aku tidak akan pindah dari sini. Pak Arvin tahu itu."

"Kalau begitu terpaksa kami bertindak kasar untuk menyeret Anda keluar."


Aku terbelalak lalu refleks menekan daun pintu agar tertutup. Namun tentu kekuatanku tidak bisa menandingi lima algojo dengan tubuh bak binaragawan. Dalam sekejap Aku sudah terdorong ke tengah ruangan dengan pintu terbuka lebar, membuat tiga lelaki berhasil masuk sementara dua lainnya menunggu di ambang pintu.

"Sepuluh menit untuk mengemasi barang-barang Anda. Atau terpaksa kami seret tanpa membawa apapun." Masih orang yang sama yang berkata. Lelaki kekar dengan rambut dipotong sangat pendek dengan tato yang mengintip di kerah jasnya.

Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh sementara daguku terangkat angkuh. "Aku tidak akan pergi ke mana pun. Jika kalian memaksa, Aku akan berteriak keras."

"Rupanya Anda lebih suka cara kasar." 

Lelaki itu melangkah cepat ke arahku dan langsung mencengkeram pergelangan tanganku. Aku berusaha menarik tanganku seraya kakiku melayang menendang betisnya. Tapi yang terjadi kemudian, Aku yang mengaduh kesakitan kerana tulangku yang tak terlatih membentur keras tulangnya. 

Tak ingin membuang waktu lebih lama, dia langsung berjalan dan menyeretku hanya dengan satu tangan. Aku menarik kuat tanganku dan menjadikan kakiku sebagai penahan tubuh. Tapi itu sama sekali tidak berguna melawan tenaga lelaki itu yang seolah sekuat kingkong.

"Sakit! Lepas!" seruku tertahan... Air mataku mengalir membasahi pipi. Susah payah Aku berusaha menoleh mencari keberadaan si hantu namun tak menemukan sosoknya di mana pun. Tiba-tiba tubuhku tersentak. Sesuatu terasa membentur punggungku keras. Dan di detik itu juga, Aku seolah kehilangan kendali atas tubuhku sendiri.

Aku berdiri tegak dengan kaku. Tangan kiriku masih terulur kerana lelaki tadi masih menarikku. Namun kali ini dia tampak terkejut. Sekali lagi dicobanya menarik tubuhku namun Aku tetap bergeming.

Aku menatap lelaki itu. Namun kurasakan wajahku kaku, tak menampilkan ekspresi apapun meski sebenarnya Aku ketakutan. Saat Aku berusaha menarik lenganku lepas dari cengkeramannya, tubuhku sama sekali tak bergerak sesuai keinginanku. Bahkan rasa sakit akibat pergelanganku yang dicengkeram keras juga tak terasa.

"Jalang merepotkan!" umpatnya marah. "Cepat ikut keluar atau kutarik lenganmu lepas dari tubuhmu!" 

Detik berikutnya setelah ancaman itu terlontar, kurasakan lengan kiriku yang dicengkeram menarik tiba-tiba hingga tubuh orang itu ikut tertarik. Dan sebelum Aku sadar apa yang akan terjadi selanjutnya, tangan kiriku sudah mengepal kuat dan menghantamkan tinju keras tepat mengenai dada si lelaki. Pekik kesakitan terdengar bersamaan dengan tubuh orang itu yang melayang lalu menghantam lukisan di dinding, sebelum jatuh menghantam meja pajangan di bawah lukisan. 

Empat lelaki lain tampak melongo tak percaya. Bahkan yang menunggu di luar buru-buru masuk membantu lelaki yang terlempar tadi. Sementara yang dua di dekatku menoleh padaku dengan ekspresi marah di wajahnya sebelum bergegas maju.

"Wah, pantas saja kau berani menolak perintah bos. Rupanya kau cukup kuat untuk melawan. Tapi sayang sekali, yang tadi hanya—"

BHUGHH!.."Aaarrghh!"... Lelaki itu hanya bisa memekik saat kepalan tanganku dengan sangat kuat menghantam tepat mengenai wajahnya bahkan sampai tubuhnya terdorong menghantam pot hiasan di sudut ruangan. Aku yakin hidung dan beberapa giginya patah akibat kuatnya pukulanku. 

Lelaki yang satu lagi tampak mundur selangkah, mulai terlihat gentar. Tapi begitu dua rakannya menghampiri dan berdiri di kanan-kirinya, keberaniannya bangkit. Dia memberi kode pada kedua rekannya untuk menyerang bersamaan. Tapi belum juga sempat melangkah, kedua tanganku membuat gerakan mendorong ke arah mereka. Seketika angin keras datang lalu menghantam ketiganya hingga keluar dari ambang pintu.

Tidak berhenti sampai di situ, kedua tanganku membuat gerakan mencengkeram ke arah dua orang yang masih terduduk kesakitan di lantai. Seketika tubuh mereka melayang ke arah pintu—membuat keduanya berteriak takut—lalu terlempar keluar menyusul tiga rekannya yang lain. Dan begitu para lelaki itu keluar dari apartment ini, seketika pintu apartment tertutup rapat dengan suara keras yang menggetarkan dinding. 

BHRAKKK!.. Selama sesaat, Aku masih berdiri kaku dengan pandangan mengarah pada pintu. Tapi detik berikutnya tubuhku terasa lemas bagai karet yang sebelumnya ditarik hingga menegang lalu tiba-tiba dilepas, membuatku tak bisa mencegah tubuhku ambruk ke lantai dalam posisi duduk.

"Sofia!"... 
Aku terengah seperti habis lari maraton. Perlahan Aku mendongak dan mendapati si hantu jongkok di dekatku dengan tatapan cemasnya.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengambil tubuhmu. Aku hanya marah dan refleks masuk ke tubuhmu." Dia tampak sangat menyesal. 

Aku menggeleng perlahan. "Tidak... hhh... Aku tidak menyalahkanmu." Tanganku terulur memegang tangannya. "Bantu Aku berdiri."

Bukannya meraih tanganku, dia malah mengangkatku ke dalam gendongan lalu membawaku duduk di sofa sementara dia duduk di sampingku. 

"Aku tidak mengerti," kataku beberapa saat kemudian. "Kenapa si Arvin itu ingin sekali Aku pergi dari sini? Aku jadi ragu dia memang khawatir padaku jika dilihat dari cara kasarnya mengirim orang-orang itu."

"Kau benar. Aku juga merasa ada yang janggal." Dia terdiam sejenak sebelum mengungkapkan dugaannya. "Apa mungkin kecurigaanmu benar? Bahwa yang menguasai tubuh itu adalah setan jahat?" 

"Sudah kuduga." Aku menggigit bibir, berfikir sejenak. "Tapi kalaupun benar, itu tak menjelaskan alasan Arvin palsu ingin Aku keluar dari apartment ini."

"Mungkin dia takut kau membantuku kembali ke tubuhku?" 

Aku terbelalak. "Benar juga. Tapi bagaimana caranya?"

Dia menggeleng. "Entahlah." Lalu keningnya berkerut sebelum kembali fokus padaku dengan sorot serius dalam matanya. "Apa kau percaya padaku?" 

"Tentu saja," sahutku tanpa ragu.

Dia tersenyum. "Kalau begitu, bolehkah aku pinjam tubuhmu? Aku ingin bertemu langsung dengan Arvin. Dan setelah kejadian tadi kufikir satu-satunya jalan agar aku bisa keluar dari sini adalah dengan meminjam ragamu." [hsz] To be Continued...
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com

No comments