Melayari Bahtera Cinta Prahara, Dibayangi Dendam Mistik [8]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="Melayari Bahtera Cinta Prahara, Dibayangi Dendam Mistik[8]">

Melayari Bahtera Cinta Prahara, Dibayangi Dendam Mistik [8]

Part-8-End

Seminggu setelah kejadian malam itu, Suminah sering terlihat murung. Tubuh yang montok itu, menyusut drastik.
Kulit putihnya kini tampak keriput, wajah yang terbiasa di hiasi dengan make-up itu kini kuyu dengan mata cekung.

Tak ada lagi bias kehidupan disana. Apalagi akhir-akhir ini, Suminah selalu terjaga dari tidurnya di tengah malam.
Dan dia akan tetap terjaga sampai matahari menampakkan sinarnya.

Wagiman memperhatikan Suminah yang sedang menjemur baju di belakang rumah.
Sosok yang hampir tak lagi dikenalinya.
Dimatanya, Suminah adalah wanita yang cantik, montok dengan tutur kata mendayu tiap berbicara.
Tapi kini, sosok Istri yang pernah dia kenali, tak lagi dia temukan.
Kini, dihadapannya, berdiri seorang wanita dengan tubuh kurus dengan kulit keriput-berkedutan.

Ingatannya melayang ketika beberapa tahun yang lalu, dimana dirinya hampir saja menebas leher tetangganya dengan sebilah para*g, tatkala dipergokinya dia sedang berdua dengan Istrinya saat itu.

Aahh ... sepertinya, baru kemarin kejadian itu terjadi.

Gedhubrak ....!..
"Bapaak ... Ibu jatuh, pak!" teriak Amira mengagetkan lamunannya.


"Kok bisa jatuh sih Dek ...?"
tanya Wagiman sambil mengangkat tubuh Istrinya ke atas kasur.


"Sepertinya Ibu kesandung kaki meja tadi, Pak,"
jawab Amira.


"Kamu tidak apa-apa, Dek?"
tanya Wagiman memeriksa kaki Suminah.


"Kakiku tidak apa-apa Mas, cuma tanganku sakit sekali. Mungkin keseleo, ta ... tadi jatuhnya mi...ring,"
jawab Suminah terbata.


Sejenak Wagiman memperhatikan Istrinya, dilihatnya mulut Istrinya sedikit miring.
  Sementara, tangan kirinya menekuk, tak bisa diluruskan.
Degh....!...
Perasaan Wagiman menjadi tidak karuan.

Sekali lagi, diperhatikannya Istrinya yang duduk bersandar di atas kasur.

"Apakah Suminah mengalami stroke?" Fikirnya.

"Dek, Mas panggilkan tukang urut, ya? Biar dibetulkan yang barusan jatuh tadi."


Wagiman berkata, kemudian meninggalkan Suminah dan Amira, yang masih memijit kaki Ibunya.

 
"Dek, Ini Mak Siti sudah datang," ucap Wagiman, di sebelahnya, Mak Siti, tukang urut yang tinggal tak jauh dari rumahnya berdiri terpaku menatap Suminah.


"Astaghfirullah ...."..
Terdengar Mak Siti beristighfar, lirih.
"Mas, yang sabar ya ...,"
ucap Mak Siti lirih sambil menepuk pundak Wagiman.

Sementara Wagiman berusaha mencerna maksud dari ucapan Mak Siti tersebut.

--------
"Aahhh ... tidak,.. tidak ... ampuuunn...."
Begitulah, setiap malam terdengar teriakan Suminah.

Seperti malam ini, kembali Suminah berteriak dan terjaga dari tidurnya. Membangunkan seisi rumah.
Jika biasanya, Suminah hanya berteriak saja, kini dia menangis terisak.

"Mma--aas, maa... aaf--kan a--kkuu, ya...,"
ucap Suminah terbata dalam isak tangisnya.

"Aku sudah memaafkan semuanya, Dek," jawab Wagiman sambil menggenggam tangan Suminah.
Walau sebelah tangannya kini tak lagi normal, Suminah berusaha mengulurkan kedua tangannya. Di ciumnya tangan Wagiman, penuh haru. Ada bulir bening yang menetes dari mata Suminah dan membasahi tangan Wagiman.

 
"Pak, Ibu kenapa lagi pak?"
Dion dan Amira sudah berdiri di pintu kamar dengan wajah khawatir.
Keduanya memperhatikan sang Ibu, yang bersusah payah bangkit dari tempat tidur.
Dengan tangan kiri ditekuk keatas, tertatih Suminah berjalan keluar kamar.

Namun baru beberapa langkah, tubuhnya terhuyung hingga kemudian jatuh tersungkur.  Wagiman dan Dion berlari kearah Suminah yang tergeletak di lantai.

"Pak, gimana kalau tangan Ibu yang sebelah kiri ditarik saja.
Biar bisa lurus kembali. Awalnya kan jatuh, siapa tahu tulangnya bisa balik ke tempat semula". Dion mencoba mengutarakan ideanya kepada Wagiman.
  

"Jangan ngawur toh Mas Dion, tak kasihan sama Ibu kamu?"
tanya Wagiman.

Sementara, Suminah hanya diam, pasrah tanpa bisa melakukan apapun.
  

"Kita coba saja dulu, Pak. Aku waktu latihan silat pernah keseleo, dan kakiku yang keseleo di tarik sama jurulatih. Langsung sembuh."
Dion meyakinkan sang bapak.


"Dia punya keahlian, lha, kita kan tak punya."

"Di coba saja dulu, biar aku yang narik. Bapak pegangi ibu dari belakang,"
perintah Dion pada Bapaknya.
Kemudian, Dion memegang tangan kiri Ibunya...Lirih, mulutnya mengucap doa

"Dalam hitungan ke tiga ya, Pak."
"Satu ... dua ... tiga."

Kleeekkk!!!..Seiring ditariknya tangan Suminah, terdengar suara gemeretak dari tulang tangannya...Seperti kayu yang digeser ketempatnya semula.

"Aaaaa....."!!..
Teriak Suminah panjang, begitu Dion menarik tangannya.

Terasa sangat sakit, seperti tulang yang dicabut paksa dari tubuh hidupnya.

Perlahan, di olesinya tangan kiri Suminah dengan minyak urut.
Perlahan, Wagiman membalurkannya keseluruh tangan Suminah. Senyum terlihat di bibirnya. "Bagaimana, Dek? Sakit? Coba diluruskan tangannya," ujar Wagiman.
"Su--dah bisa lu--ruuss Maas....," jawab Suminah terbata.
"Iya dek, sudah tidak menekuk lagi tangannya. Hebat kamu Dion,"
seru Wagiman sambil meluruskan tangan Suminah.


Suminah terlelap dalam tidurnya, sementara Wagiman masih mengurut dan menggosok tangannya dengan minyak urut.
Hingga tanpa sadar, Wagiman pun ikut terlelap sambil memegang tangan Suminah. Mereka tertidur sangat pulas, tidur telah lama tak mereka nikmati.

Hingga ketukan di pintu membangunkan Wagiman.

Dia mengusap kedua matanya, mengumpulkan kembali kesadarannya.
Sementara di sebelahnya, Suminah masih terlelap.
Wajahnya pucat, bahkan sangat pucat.
Perlahan, Wagiman menyentuh wajah Istrinya...Dingin, Sejuk sekali.

Wagiman tersadar, bahwa semalam adalah tidur terakhir dirinya dengan Suminah.  Inna Lillahi Wainna Ilaihi Raaji'un...[End]
Courtesy and Adaptation by Yani Santoso
Editor ; 
Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi Image ; Doc, FortunaNetworks.com 

No comments