MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 14]
MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 14]
WAITING FOR GAMA
Tapi, nasib saya dan tiga teman lainnya ternyata masih jauuuh..lebih baik dari Mitro.Saya, setidaknya masih dapat ransum dua kali makan gratis dari Ibu Kos, kompensasi setelah saya jadi sansak hidup para lelembut beberapa waktu lalu.
Tekek, jelas masih dapat "jatah empat -sehat lima-sempurna" dari Susiyem. Hasil praktek paper ilmu glembuknya yang berjudul "Strategi Menaklukkan Jomblowati dengan Metode Multi-trik Gebeting Komprehensif".
Jes, terbilang tak pernah masalah soal duit. Kerana selain kiriman dari ortunya banyak, dia itu pelit alias medhit bin bakhil-nya tak ketulungan. Beli tempe di Yu Jajan, seharga Rp25 saja ditawar menjadi Rp50 dapat tiga! Pantesan duitnya kayak diformalin:'awet!
Meyek, tercukupi dengan laba-untung "jualan undian permen-gulagula ndhog cecak-nya". Cah Bojonegoro ini memang kere-aktif. Tiap hari ia mensuplay kemasan plastik isi tiga butir permen ndhog cecak yang dibonusi gulungan kertas undian. Harga per-plastiknya Rp25, tapi, ssstt..yang ada hadiahnya cuma lima, dan itu pun diputar di 10 lokasi seantero Kota Solo! Sementara ribuan bungkus lainnya cuma berisi kertas bertuliskan: BELI LAGI!
Cerdas! Lha, yang kasihan ya, Cah Cepu ini, apesnya bertubi-tubi. Sudah empat bulan Mitro tak dapat kiriman. Hutangnya sudah pasti banyak. Nyathetnya sudah puanjaaang...kayak buntut layang-layangan. Bahkan dia sudah di-warning Ibu kos agar get-out dari Mansion Tegalkuniran.
Sebagai kawan se-perkerean, saya putar otak gimana caranya agar Mitro bisa tetap makan. Bagaimanapun saya berhutang-budi kerana ia pernah saya titipi benda pusaka yang membuatnya susah. Maka setiap kali disediakan makan, saya selalu ambil nasi sepiring munjung beserta sayur dan lauk sebanyak banyaknya. Setelah itu bilang ke Ibu kos,
"Bu', saya makan di kamar saja ya. Sungkan-malu di sini dilihat teman-teman yang lain." Biasanya Ibu kos bilang,
“Oh...monggo, Mas'e..." Di kamar, nasi itu saya bagi dua dengan Mitro, dan kami nikmati bersama sambil haha-hihi...melupakan duka,nestapa ...
Duuhh...nulis ini kok saya jadi mbrebes mili dhewe'. Oalah Tro, Mitro... semoga sekarang dirimu jadi orang sukses, sehat dan bahagia...
Suatu hari, sehabis kuliah, Mitro mengajak saya ke Kopma (Koperasi Mahasiswa) dekat Gedung Pusat.
"Aku mahu kirim telegram, Ndes...memberitahukan ke ortu bahwa kondisiku disini sudah kritis."
Saya cuma manggut mengiyakan. Sambil sejatinya saya ingin tahu kirim telegram itu caranya bagaimana. Mosok, mahasiswa gaptek!
"Tulis alamat yang dituju disini, alamat pengirim disini, dan isi pesannya di sini," kata Mbak pelayan Kopma yang wajahnya angker melebihi Nyah Rewel itu, sambil menyodorkan secarik kertas dan pena.
Mitro langsung saja ureg-ureg menulis. Agak lama. Setelah selesai, menyodorkannya ke Nyah Rew...eh, Mbak'e tersebut.
Si Mbak memelototi tulisan Mitro, lalu nunul-nunul kalkulator cap Casio."Semua Rp3.230, Mas."
"Hah..kok mahal?" seru Mitro njenggirat kaget.
"Iya, Mas. Kan dihitung per-huruf Rp10. Sampeyan nulis pesannya 223 huruf termasuk tanda baca. Ongkos kirimnya Rp1.000. Jadi total Rp3.230."
"Ndeehh...Lhak, sama dengan jajanku satu bulan!" gerutunya dengan logat Cepu njekeknya."Sini, saya revisinya dulu, Mbak!"
Sambil njegadhul, Nyah..eh, Mbak'e..melemparkan kertas formulir itu ke Mitro. Saya ikut nglirik kertas itu.Tulisannya begini: Assalamu'alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah putro sehat. Semoga Ayah Bunda dirumah juga demikian adanya. Mohon maaf, sangu(rice) putro sudah sejak 4 bulan lalu habis. Mohon kiranya dikirim sangu lagi. Sekalian persiapan bayar SPP. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.Salam taklim putro. Hari Rudianto.
"Wah, kalau itu sih, Bab I Skripsi!" celetuk saya. Mitro nyengir kuda. Lalu srat-sret-srot mencoreti kata yang tidak perlu. Hahaha.. jadi ingat slogan kuliah Dasar-Dasar Jurnalistik-nya Bu' Sofiah tentang asas ekonomi kata. Pangkas habis!
"Ini, Mbak, yang sudah saya koreksi!" ujar Mitro. "Lho..kok isi pesannya hanya koma ( , ).Bener nih?" tanya Mbak'e heran.“Iya, Mbak..memang hanya koma."
"Jadinya Rp1.010," kata Mbak'e masih dengan wajah tak percaya. Jadilah siang itu telegram terkirim ke Cepu dengan pesan utama: Tanda koma! Tapi sepanjang perjalanan pulang ke kos, si Koma masih mengganggu otak saya.
"Tro...kok isi pesannya cuma tanda koma,ini maksudmu gimana?"
"Kamu tahu, orang yang hidup tidak, mati pun tidak, selama berbulan bulan disebut apa?"
"Koma..." "Naah...itu!" Ooo... Saya faham, maksud si Mitro ingin memberitahukan ortunya bahwa kondisinya sekarang sudah"koma" alias hampir dud. Tapi sejatinya, intinya ya tetap saja, kerana tak punya duit untuk bayar pesan telegram yang panjang!
TAKUT DIPIPISI
'Word of mouth' alias celoteh cangkem memang nguweriii...Jika tersebar bisa liar tak terkendali. Yang jauh melenceng dari fakta pun bisa dianggap benar.
So, 'fenomena post truth' sejatinya sudah ada di era 80-an. Contohnya, ya saya ini. Tanpa wisuda-graduate, tanpa sertifikat, ujug ujug ditahbiskan orang ramai menjadi "paranormal kampus". Kan, gendheng klelegen sarung ta, itu!
Sing-yang paranormal ini, siapa? Po-ra-normal, mungkin. Kalau "kendel (sheaf-gabung") pada makhluk halus, memang saya akui.Tapi ya, sekadar benda nekad saja. Tak ada ilmu atau keahlian apapun tentang bangsa halus yang saya miliki.
Toh, meski sudah saya jelaskan "panjang lebar kali-darab tinggi", tetap saja orang-orang tak percaya! Tetap saja menganggap bahwa saya paranormal. Caapeek deh! Rumitnya, kalau ada peristiwa yang bau-bau mistik, sayalah yang disuruh nginspeksi atau bahkan menghadapi. Harak cilaka, tak?
Seperti siang itu, saat kuliah Pengantar Ilmu Hukum, tiba-tiba salah seorang staf TU minta izin ke Pak Sudihardjo, dosen-lecture PIH, untuk masuk ruangan dan memanggil saya.
"Ada apa, Pak?" tanya saya tergopoh sambil keluar ruang kuliah.
"Bu' In (staf Administrasi, nama saya samarkan) kesurupan di ruang TU, Mas. Kata Pak Prapto, suruh manggil Mas saja."
Jindul ik...Pak Prapto kan, yang tempo hari nggromengi saya soal wesel. Eh, sekarang malah ngasih tugas suruh menghadapi lelembut. Wah, gak bener ini!
"Kasihan Bu' In-nya, Mas. Sudah dua jam tak sadar-sadar". Terpaksa, sekali lagi, terpaksa, saya iyakan tugas yang aneh ini. Jujur, saya belum pernah menangani orang kesurupan. Caranya bagaimana saya juga tidak tahu.!
Satu-satunya yang pernah saya tangani, ya, Aris waktu di Kuncen dulu. Tapi menurut saya, Aris sih, bukan kesurupan, tapi stress. Takut dimarahi kawan-kawan kerana nasi gudegnya basi. Hehehe...
Kata orang yang mengerti, menghadapi orang kesurupan itu yang penting hatinya mantap, tatag. Kalau diajak dialog jangan sampai merendah. Bila perlu, dieyeli atau dibentak saja. Dah, gitu saja rumusnya.
Masuk ruang tempat Bu' In berbaring, saya langsung uluk salam, "Assalamu'alaikum!" Tiba-tiba, Bu' In yang dijaga Pak Prapto dan staf TU berteriak dengan suara berat, menggelegar. Suara lelaki!
"Kurang ajar, kamu! Kenapa kamu mengganggu aku!" sambil nuding ke arah saya.
"Heeii, yang ganggu itu kamu! Kamu syaitan masuk ke tubuh manusia, itu pelanggaran kode etik!!!" jawab saya keras meski ngawur.
Mendengar suara keras saya, makhluk yang merasuki Bu' In terdiam. Mungkin bingung, mikir kode-etik ini panganan apa? Kapokmu kapan!
"Kenapa diam? Kamu merasuki tubuh orang buat apa?!" bentak saya.
"Mau saya bawa pulang!"
"Ke mana?!"
"Ngoresan (nama tempat dekat Hospital Sakit Jiwa Solo)."
"Ya, bawa saja sana! Memangnya kamu kuat?! Ayo, bawa sekarang!" tantang saya. Lagi-lagi makhluk itu diam. Dalam batin, saya tertawa.
"Aku minta diantar!" sambungnya.
"Lhah,...kamu kesini datang sendiri! Sekarang ngancam mau bawa orang, kok minta diantar. Enak banget, kamu! Tidak bisa!"
Ia kembali terdiam. Yak, sudah mulai kalah set rupanya. Tak boleh dikasih kendor!
"Sekarang, kamu harus pulang! Tinggalkan tubuh ini!!" ancam saya makin keras. "Aku minta darah!" tiba-tiba makhluk itu mulai minta yang aneh-aneh.
"Tidak!! Tinggalkan tubuh ini!! Sekarang!! Kalau tidak, tahu sendiri akibatnya!!" teriak saya sambil saya tuding.
"Aku minta daging!" rengeknya agak merendah.
"Heeii! Kamu makhluk astral. Mana bisa minum darah dan makan daging yang bentuknya fisik. Kamu sekolah gak, sih!!" Untuk kesekian kalinya makhluk itu diam. Kesempatan bagi saya untuk melancarkan serangan akhir.
"Minggat kamu, sekarang!!! Kalau tidak, saya kencingi kamu!!!" sembur saya sambil berdiri dan pura-pura membuka retsluiting-zip celana.
Eh, tiba-tiba tubuh Bu' In tersentak, kemudian perlahan-lahan matanya terbuka. Sadar.
Wah, untung belum terlanjur bukak pintu hanggar, tadi!
Pelan-pelan Bu' In saya bimbing baca istighfar dan zikir. Sekitar setengah jam kemudian, Bu' In sudah stabil. Sayapun pamit pulang.
To be Continued...
Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com
No comments
Post a Comment