MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 10]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 10]">

MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 10]

WAITING FOR GAMA

Kami terdiam. Saling pandang. Lalu memandang diri sendiri. Dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Ternyata...empat orang di antara kami berkulit hitam legam dan bermata belok. Cuma saya yang agak putih dan bermata suthup.   

"Piye ki, Ndes?" kata Jayus minta pertimbangan.
"Tak apa-apa, masuk aja. Ngaku sopirnya, pengawal, centeng-bodyguard, atau pembantu si Mati kan bisa!" usulku.   

Tapi walau sudah saya dorong sampai dengkek, semua merasa tak pede-yakin.

"Wis, kowe-kamu wae-saja sing-yang mlebu-masuk, Gun. Kami berempat pulang," kata empat sekawan itu sambil balik kanan ke arah rumah kos.  

Tinggal saya sendirian termangu di gerbang krematorium. 
Masuk...tidak ..  masuk... tidak... Akhirnya saya putuskan masuk.
Di portir penjagaan saya lihat tulisan nama yang meninggal
(maaf tidak saya sebut). Saya hafalkan luar kepala.  


Saat menemui wakil keluarga, saya hanya bilang singkat, "Tanpa Koh A (nama si Mati), saya tidak akan seperti ini. Sie sie!"   

Wakil keluarga mengangguk dalam sambil menepuk nepuk bahu saya. Setelah penghormatan pada jenazah, mata saya langsung berpendar mencari di manakah gerangan jamuan makan diadakan...Sampai lelah mata ini mencari-cari, tetap saja tak saya temukan hidangan istimewa seperti yang dibilang Jayus.   

Jindul tenan-betul kok Gondes siji iki!  Saya pun ngacir pulang membawa rasa dongkol... dan lapar, tentu saja!

Sampai di kos, saya disambut kawan-kawan yang ternyata masih bergerombol di depan rumah dengan seragam "kondangan"-nya.   

"Piye Ndes... enak-enak panganane?" celoteh  mereka. 
"Enaaakk!"   
"Banyak ya, variannya?"
"Banyaaak!"   
"Kok tak mbungkus?"  protes Jayus.   
"Mau tak,..kamu?..Sini!" ujar saya.   

Tepat ketika Jayus mendekat, angin di lambung saya yang kosong mendesak keluar dengan kecepatan supersonik...Semua semburat lari sambil misuh-misuh. Itulah hasil lapar yang tertunda!

TRAGEDI  PPO 

Sudah tak bedhek sebelumnya, kawan-kawan pasti akan banyak mengalami hal yang mustahal di kos Tegalkuniran ini. 

Ibarat orang kecepit-terjepit, tinggal nunggu njeritnya saja. Berdasar survei virtual saya, tempat ini sungguh nyalawadi. Mulai beranda sampai dapur, mulai teritis sampai sumur-perigi, semua mengandung hawa ghaib.

Metode verifikasinya adalah dengan menghitung seberapa sering bulu  lengan saya bergidik. Dan itu sering sekali. Celakanya, hanya saya dan Teguh alias Tokek yang terbilang tahan jirih. Sementara lainnya semua penakut kelas parah. Apalagi Hari alias Mitro.

Busyet... ada suara kupu-kupu di jendela saja sudah pucat dia... Kejadian aneh pertama dialami oleh Maryono alias Meyek.

Sore itu menjelang Maghrib ia sedang siap-siap mandi.
Seperti biasa, sebelum mandi pasti kudu (harus-must) nimba air dulu untuk mengisi kolah (bak mandi). Saat masuk bilik yang ada sumurnya, tiba-tiba ia terjingkat.  

Di atas palang kerekan timba, ia melihat ada benda seperti karung tersampir di situ. Tapi jelas bukan karung, kerana bentuknya lebih panjang dan warnanya putih.   

Sebelum jelas benar apa yang ia lihat, mendadak benda itu merosot jatuh ke dalam sumur, lalu berdebum meninggalkan suara "Bluungg!" dan kecopak air yang menggema di seantero kos.   

Jayus yang kamarnya paling dekat sumur langsung lari mendekat sambil bertanya  gugup, "Yeeekk, apa yang jatuh?!" Tak ada jawaban.  
“Wah, pasti si Meyek kecemplung sumur!” batin Jayus.

Bergegas ia melompat ke arah sumur. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sesosok tubuh kerempeng tergeletak disamping "padasan" (gentong untuk wudhu'). Tubuh si Meyek!   

"Tuluuung! Tuluung! Meyek semaput-pingsan!!" teriak Jayus.
Tak pelak kami pun langsung menghambur ke arah suara teriakan.

Orang-orang kampung yang mendengar kehebohan itu pun ikut datang merubung. Semua berupaya mengangkat tubuh Meyek ke kamar Jayus...Tapi kerana kebanyakan yang ngangkat, malah hampir jatuh terlempar...Melihat itu, Mitro yang berbadan gempal langsung turun tangan.   

"Sudah... minggir semua! Biar saya saja yang angkat!"
Nyeng... sekali cengkiwing badan Meyek yang sedang pingsan total itu langsung terbang. Terang saja, wong anak Bojonegoro itu beratnya cuma 39 kg. Pasti balitanya dulu KMS-nya berada di garis merah kerana kurang gizi. (balita-bawah lima tahun)

Wajah Meyek yang tirus itu tampak pias-pucat. Matanya terkatup rapat. Bibirnya membiru. Eh, ini kerana kebanyakan ngisap Gudang Garam, ding!   

"Minyak! Ambilkan minyak angin, cepat!" ujar Jayus.

Saya ingat masih punya Pak Pung Oil (PPO) yang terkenal ampuh mengusir masuk lesus-angin. Segera saya ambil, saya buka tutupnya, dan isinya saya oleskan ke hidung Meyek.   

Saking semangatnya, saat mau mblonyohi dadanya, botol PPO itu jatuh di perutnya. Isinya luber ke kemana-mana. 

Kena efek bau PPO yang aduhai, sejenak kemudian mata Meyek kriyip-kriyip. Siuman. Melek. Sadar, lalu duduk. Ia terhairan-hairan melihat puluhan orang merubunginya.   

"Ini ngapain, kok pada kumpul di sini?" tanyanya polos sambil tolah-toleh.

"Yaelaaahh...nonton awakmu, Ndess!!" ujar saya spontan.   
Para perubung nyekikik sambil pergi satu per-satu.  

Semua lega, kerana yang tadi tumbang sudah ter-eliminasi dari daftar-calon almarhum.

Saat yang di kamar tinggal kelompok Lakon, tiba-tiba Meyek njenggirat bangun, mendesis, lalu memegangi selangkangannya.  "Ssss...Panaass! Panaass!" teriaknya.

Tak lama kemudian ia menyambar diktat kuliah Pengantar Sosiologi.
Memelorotkan celananya, lalu mengipasi bagian "pesawat pribadi"nya dengan diktat itu bertubi-tubi..."Sshhh...panaaass!!..Jinduull...siapa ini tadi yang minyaki t*t*tku??!!" jeritnya.

Kami bubar sambil menahan tawa...Sebelum si Pemilik tubuh wayang itu dilanda angkara murka ke si Penumpah bala, mending saya nggendring ke kamar.

Pintu saya kunci. Aman dweeh...Tapi malam itu saya kefikiran, buntalan putih apa sebenarnya yang dilihat Meyek? Mosok pocongan? Kalau iya, kok kurang kerjaan betul sampai menyampirkan diri di palang? Lalu ngapain juga bersusah payah nyemplung sumur? Tak takut kedinginan?  

Wis, embuhlah! Tinggal tidur gasik saja. Nanti jam 01.00 bangun untuk ngapeli Maido. Lumayan juga energi yang keluar untuk PPPK tadi. Harus diganti dengan tiga eksemplar nasi kucing, nih.!  

Si Meyek pasti mau mbayari. Tinggal bilang saja, "Besok setiap mandi saya tunggui."  

Hihihi... Belum lagi mata terpejam, tiba-tiba terdengar Hari Mitro menggedor-gedor pintu.

"Ndes... aku tak turu kene (tidur sini), ya..." ujarnya begitu pintu terbuka.

"Lhaah... memange ada apa?"

"Anu je, Ndess... kamarku bau darah..."
   

Hahh... yang bener?"
  
 

"Iya, Ndes. Sejak sore tadi. Bau darah segar yang anyir seperti bau habis kecelakaan, gitu."   

Weeh... kok ya, ada-ada saja fenomena di rumah ini.   
"Ya udah, gini aja, tukaran. Aku tidur di kamarmu, kamu tidur di sini," usul saya.

"Wah, takut Ndes. Tidur bareng kamu saja..." Saya cuma bisa menghela nafas panjang.   
Hhhh... Dalam batin, saya berdoa: Semoga si Mitro ini tidak jadi Tarso kedua yang suka main peluk sembarangan. Jijay, Ndesss!

CATATAN SIPIL

Ini urusan akuntansi-accounting: catat-mencatat. Pembukuannya rapi. Penulisnya ybs (yang bersangkutan) sendiri, ya para Gondes penghuni kos Tegalkuniran.  

Judul bukunya: Daftar Hutang Makan Anak Kos.Yang punya buku Bu' Wardi, pemilik Warung Ijo samping Tugu Cembengan. Yak. Nyathet ,adalah solusi jelang akhir bulan yang amat sangat pro "Bani Lapar" seperti saya.  

Bagaimana tidak? Aturannya: siapa pun dan bilapun boleh makan di warung Bu' Wardi. Yang punya duit, bayar. Yang tak punya duit, tinggal bukak buku sampul ijo. Nyathet nama, tanggal, dan harga nominal menu yang masuk perut...Bayarnya...sak elinge (remember)Harak jos ta, Ndess!

Awalnya saya termasuk spesies Anti-Nyathet. Mosok di kampus nyathet-mencatat, di warung nyathet juga.

Kemlinthi alias kemaki bin sombong berlebihan kuwi, jenenge. Peh, mahasiswa semua dicatat, bila ketahuan ngilmiah ngono-gitu?   

Tapi belakangan saya terpaksa ikut arus fahaman percatatan itu. Salah saya sendiri, eh...salah ortu(orangtua-Ibubapa) ding...yang sering tidak ngirim jatah bulanan.  

Wang kos kadang tak terbayar. Dampaknya, sarapan pagi yang seharusnya "inklut-include packet" kamar kadang diembargo Ibu kos.  
Duit tipis sisa bulan lalu pun terpaksa diincrit-incrit sekadar agar bisa survival.

Untunglah ada Bu' Wardi yang baik hati, suka menabung, dan tidak sombong. Amalannya menerbitkan buku ijo bagi kaum du'afa sungguh mulia..Pasti waktu kuliah dulu Bu' Wardi pernah ngrekoso juga.

Anyway lah... Yang jelas kreativiti beliau telah menyelamatkan generasi muda Tegalkuniran dari kepunahan! Sayangnya, pelayan warungnya yang namanya Susi (lengkapnya Susiyem, asli Wonogiri) tak seramah induk-semangnya (majikannya).

Judesnya sak alaihim.! Ia suka njegadhul kalau lihat catatan para Koster mulai memenuhi halaman buku ijo.   

Sabar ya Sohib, besuk disambung lagi di nombor 11 ya guys,To be Continued...

Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; 
pinterest.com

No comments