MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 9]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt=" MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 9]">

MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 9]

WAITING FOR GAMA
                   
Saya tahu, kucing adalah makhluk yang paling peka terhadap kehadiran lelembut (gelaran untuk satu bangsa Jin oleh Etnik Jawa). Tapi mengapa kucing itu menatap saya dengan pandangan mengancam? Apakah di diri saya ada yang menakutkan di matanya?  

Jujur, baru pertama ini saya bergidik ngeri melihat ekspresi seekor kucing..
Sebelum saya tahu apa yang  sebenarnya terjadi, tiba-tiba si Pussy menerkam saya..Gerak refleks saya meloncat masuk kamar sambil menutup pintu.

“Duer!” Tubuh kucing hitam itu pun menabrak pintu.
“Selamaatt!” desis saya sambil mendekap dada yang mengab-mengab.
Antara terkejut dan kaget. Eh, sama saja ya. Maaf.

Tapi hati ini bertanya-tanya. Ada apa dengan saya? Kok kucing saja sampai menganggap saya sebagai musuh? Saya menduga yang dia serang sejatinya bukan saya, tapi sesuatu yang menempel di badan saya.


Tapi apa, atau siapa? Wong saya sendiri tidak faham, bahwa ada yang aneh di diri saya. 


Tapi sejak kejadian malam itu, saya jadi tidak lagi percaya seratus persen sama kucing! Bahkan sampai sekarang saya agak-agak parno/trauma kalau ketemu kucing, especially species yang menjadi iklan brand batery Eveready...
Jangan-jangan dia agen lelembut yang lagi menyamar...

SOSOK  PUTIH

Malam itu Teguh mengetuk pintu kamar saya. Wajahnya seperti penuh tanda tanya, titik, koma, dan tanda seru.

"Ndes... sebenarnya orang tua yang selalu nginthil-ngikut dirimu itu siapa?" tanyanya serius.

"Hhaah... orang tua yang mana? Anggur cap orang tua?" saya balik bertanya hairan.

"Orang tua yang ke mana-mana ikut kamu, Ndes. Saya fikir bapakmu." 

Saya garuk-garuk kepala. "Baik sekali bapakku gelem-mau nganterke aku kuliah, Ndes. Aku ini sejak SD sudah dilepas seperti embek-kambing. Ke mana-mana sendiri."   


Tapi, Teguh bersikeras bahwa sosok yang dilihatnya memang lelaki menjelang sepuh-tua. Ia lalu menjelaskan detiel orang tua yang dia lihat: Pakai peci putih, baju putih, sarung putih, rambutnya pun putih... 


"Sik... sik...  kamu serius tak, Ndes?" kejar saya. 
Teguh ngangguk pasti. Cah Rembang (Anak Kota Rembang) yang punya indra keenam, ketujuh, kedelapan, dst, ini memang layak dipercaya. Ia kalau bicara sangat serius seperti Newton. Dengan catatan: kalau lagi tak kumat -kambuh, datang mencleknya...  

Mak tratab...tiba-tiba saya ingat suara bisik-bisik di Kuncen dan di rumah Pakdhe Wonosobo. ...
Masya Allah... benarkah simbah-kakek penjaga sumur itu mengikuti saya sampai ke Solo? 

"Kowe-kamu kok bangeten ndablege toh, Ndes. Masak didhereki-dikuti kok tak mudheng-tahu?" gerutu Teguh.
 

"Sumpah, aku ndak tahu, je, Teguh."
  

"Hati-hati saja. Bangsa halus itu tidak konsisten lho"

Tapi kata-kata Teguh terpaksa saya abaikan. Kerana yang saya rasakan, justru si Embah ini kesannya melindungi saya. 
Yang masih jelas terbayang ya, kejadian semalam, saat saya ditubruk kucing candramawa yang ketempelan makhluk embuh-entah. 

Sejatinya yang menutup pintu itu bukan saya, tapi sosok putih yang tiba-tiba berkelibat menarik daun pintu hingga terkatup.
 Ah, saya jadi ingat saat beliau melecut semangat saya yang nyaris patah arang menghadapi Sipenmaru dengan bisikan "Lulus". Dan nyatanya saya lulus beneran, meski bukan di tempat yang saya favouritkan.  

Tentu Allah Ta'ala yang meluluskan saya.Tapi mantra "Lulus" yang ia ucapkan mampu membuat saya pede-yakin habis saat melahap soal-soal Sipenmaru.   


Jujur, saya berhutang budi pada sosok putih itu. Tapi saya sendiri tidak bisa melihat dan atau  bertanya siapa sejatinya beliau, dan mengapa bersusah-payah mengikuti saya sampai Solo.  


Tidak mungkinlah kalau cuma mau cari saya, hik, ya, kan? Rasa penasaran membuat saya mencoba berkomunikasi dengan mata-batin untuk mencari tahu siapa sejatinya yang menginthili saya itu.


Jam 01.00 dinihari, saat yang lain berangkat me-Maidokan diri, saya justru mulai kontemplasi. Saya awali dengan wudhu', Sholat Sunat dua rakaat, lalu disambung zikir panjang. 


Lampu kamar sengaja saya matikan. Awalnya agak mudah memusatkan fikiran. Tapi lama lama ada saja gangguan datang menyerang.   


Gangguan pertama adalah suara Jeff, Mahasiswa jurusan "Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia" asal Perancis, yang sedang latihan "suluk" di kos sebelah. Sumpah, olah vokalnya super berantakan, ditambah logatnya yang cadel bin pelo, membuat saya tak kuasa menahan tawa.  


Duhh... latihan ndalang kok jam segini... Baru semenit suara Jeff berhenti, terdengar suara cowok dan cewek sedang mendiskusikan sesuatu dekat jendela.   


Jindul ik...  tibake sopir truk gudang Pedaringan sedang nyang-nyangan rego apem! Tentu yang ini membuat saya misuh-misuh entek-amek kurang golek, meski cuma dalam batin.


Syukurlah, habis itu suasana kembali kondusif. Mata kembali saya pejamkan. "Madhep suku tunggal nutupi babahan hawa sanga" (menghadap yang satu menutup seluruh indra yang sembilan).  


Tak terasa saya berada di alam "layap-layaping ngaluyup" (antara sadar dan tak sadar)...
Sekonyong-konyong saya melihat sesosok lelaki persis seperti yang digambarkan Teguh sedang duduk di kursi kamar.

Wajahnya sederhana namun berwibawa, Ke-bapakan. 
"Nuwun sewu, panjenengan sinten? (maaf, Anda siapa?)"
Sapa saya takzim. Ia tak menjawab sepatah kata pun. Hanya tersenyum sekilas, kemudian menghilang... kerana terusik suara jegigisan Gondes-gondes yang baru pulang dari Maido. 


Wah, rusak sudah, permenungan saya...

"Ndess... tangi, Ndess!!" teriak Hari, sambil nggedor-nggedor pintu kamar saya.

"Ada apa?" tanya saya bersungut-sungut.
  

"Kabar baik. Hik Maido ada diskaun, all item. Bakule ulang tahun!" cericitnya.

"Memange berapa diskaunnya?"
  

"Harga tetap. Cuma tak pakai omelan dan pisuhan(rungutan-marah dgn sumpah-serapah)."

Whoo... lha, malah ora payu no. Wong sing, digoleki cah-cah itu pisuhannya kok!


PMS. 
Sekaya-kayanya saya, tetap saja dilanda PMS (Post Midmonth Syndrome). Artinya, lewat tanggal 15hb, hati pasti galau seperti mbak-mbak yang lagi "dapat". Bedanya, galau mbak-mbak diikuti rasa ingin ngremas kursi, sedangkan galau saya disertai mikir bijimana caranya menjembreng duit agar bisa sampai akhir bulan.   

Bagaimana tidak? Kiriman saya sebulan cuma Rp25.000. Itu pun Tempo : tempo-tempo datang, tempo-tempo tidak..
Untuk bayar kos-sewa rumah Rp7.500. Dus tinggal sisa Rp17.500. Dibagi rata 30 hari, jatah untuk survival per-hari cuma Rp583,3, atau Rp194,4 per madhang-makan! Padahal nasi kucing di Mbah Maido saja sudah Rp100 per -eksemplar...eh, per-bungkus. (Catatan; Ini kisah tahun 80an, So, nilai Rp25.000 tsb sama dengan nilai terkini, sekitar RM150,)

Maaf salfok, habis bungkusnya dgn koran (paper-akhbar), sih!  Ehh... iku durung nganggo lawuh lho,(belum pakai lauknya) Ndess! Juga belum pakai minuman.  


Ya, masak setiap makan, cuma nasi  bungkus polosan, dengan ceguken berkelanjutan? Geng, ya tak lucu toh, Ndess! 


Celakanya bagi Cah-nggunung, "mangan sego siji"(makan nasi satu) jelas kurang, sementara "arep mangan loro"(harap makan dua), alarm anggaran pasti berbunyi nyaring. Ini sungguh dilema yang menggiriskan bagi "seorang badoger" (geng kuat makan) seperti saya.   

Seperti Pepatah, “Ibarat makan buah simalakama: dimakan Ibu mati, tidak dimakan Ayah meninggal,” pun tak ada apa-apanya dibanding kebimbangan terkait per-segoan(nasi/makanan) ini.   

Di pepatah, masih pasti makannya, walau cuma buah. Lha, ini nasinya tersedia, tapi tidak berani makan...  


Yungalaah... Duit Rp25.000 itu kalau saya ibaratkan, “Seperti kain sarung kekecilan yang dipaksa untuk kemulan-selimut. Ditarik ke atas, kaki kelihatan. Ditarik ke bawah, kepala kedinginan.”


Ya wis, pilihannya yang  paling rasional ya tak usah tidur, atau tidak usah sarungan sekalian.


Hehehe... Tapi pada saat kritis seperti itu, The Power of Kepepet biasanya Auto On. Ada saja akal supaya bisa lolos dari jerat lapar.

Adalah Jayus yang punya ide brilian ini.

"Ndes... setiap ada kremasi di Kuil Tiong Ting kan selalu ada pesta penghormatan," ujarnya di suatu tanggal-hari "uwanen" (kami menyebut tanggal 15hb ke atas sebagai tanggal uwanen, yang artinya tanggal beruban alias tanggal-haribulan tua).   


"Betul. Lalu?" kejar Maryono.

"Wah, tak cerdas blas! Kita pura-pura jadi kerabat si Mati."
  

"Lalu?" saya yang penasaran ikut nimbrung.
   

"Ya... kita kan bisa ikut makan-makan gretongan!"

Waah, kok ya lantip betul otak si Jayus ini. Kok tidak dari dulu ngomongnya! ...
"Ya udah, ayo dandan. Tadi kulihat ada yang mau dikremasi. Kayaknya tauke kaya. Panganane mesthi numer uno. Ayo gek budhaal! (Ayo segera berangkat)."   

Kami pun semburat ke kamar masing-masing. Pakai, pakaian terbagus (bukan jacket almamater, lho ya!). Pakai sepatu thok (resmi) yang kemarin untuk seragam penataran P4. Tak lupa rambut diciprat air, lalu disisir mlipis.   


Tidak seperti cewek yang dandannya lebih lama dari kencannya, dalam waktu lima menit kami berlima sudah kumpul di lobby. Eh...  emperan kos. Bayangan akan makan besar membuat kami bisa priper-pripare dengan manajemen proklamasi: 
“Dengan cara seksama dan dalam tempoh yang sesingkat singkatnya.”  

Yups, kami berlima benar-benar menjelma menjadi Jacky Chan, Liu Tek Hua, Sammo Hung, Yuen Biao, dan Jet Li. Pendekar film Kung Fu yang siap menyerbu... hidangan!


Jayus memimpin barisan dengan langkah tegap. Sampai depan Kuil Tiong Ting, 20 meter dari pos penjagaan, tiba-tiba Jayus berbalik arah.   


"Heh, kenapa, Ndess?!" kami  serentak bertanya.
   

"Wah, kacau ini. Yang hadir semua berkulit putih-cerah bersih, bermata sipit!" ujarnya dengan wajah khawatir.

Tunggu besuk di nombor 10, apa jadi tidak, mereka makan besar di krematorium? To be Continued...

Courtesy and Adaptation of articles by
 Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; 
pinterest.com

No comments