My Ghost Stories

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories">

My Ghost Stories [03]

[Chapter I Part 03]

Klek,.! 
Terdengar pintu kamar terbuka perlahan saat Aku selesai membereskan laptop, handphone, dan buku-buku catatanku. Aku duduk di tepi ranjang dan tersenyum manis melihat kabut hitam masuk dengan membawa nampan/dulang bekas makanan. 

Kalau Anda penasaran seperti apa wujudnya, Anda bisa melihat bayangan hitam tubuhmu di dinding atau lantai. Ya, seperti itulah dia. Keseluruhannya hitam dan hanya bentuknya yang menyerupai orang dan berwujud tiga dimensi.


"Makan, habiskan!" perintahnya sambil meletakkan dulang di atas ranjang lalu mundur dan bersandar di dinding. Kali ini benar-benar terlihat seperti bayangan. 


"Ya, tentu saja," sahutku antusias. Mataku berbinar mendapati roti tawar dan semangkuk sup krim. Buru-buru Aku menyendok sup krim lalu memakannya.


Hmm, lezat. Benar-benar lazat. 
"Dari mana kau belajar masak?" 

"Bukan urusanmu."..
Aku mengerucutkan bibir tapi lalu angkat bahu dan makan dengan lahap. Benar-benar masih tidak percaya bahwa hantu bisa masak dan makanan di hadapanku tidak berubah menjadi belatung-ulat serta daun kering seperti dalam film-film.

"Kau bilang bisa berwujud menyerupai apa yang difikirkan orang yang kau takut-takuti. Kenapa kau tidak berwujud menjadi lelaki tampan seperti yang kupikirkan?" tanyaku setelah menghabiskan selembar roti. Masih ada dua lembar lagi dan Aku tidak keberatan menghabiskannya.


Selama beberapa saat tidak ada tanggapan hingga kufikir si hantu tidak akan menjawab pertanyaanku. Tapi kemudian dia berkata dengan suaranya yang terdengar dalam dan—seksi?


Aku benar-benar sudah gila!


"Lagi-lagi kau melakukannya," hantu itu mendengus.


Kufikir dia akan menjawab pertanyaanku. "Apa?"


"Sekarang kau berfikir suaraku seksi." Nada kesalnya terdengar jelas. 


"Jangan salahkan aku. Salahkan dirimu sendiri yang mengintip isi kepalaku." Aku menyeringai. "Jadi, kenapa kau tidak berwujud seperti yang kufikirkan?"


"Kerana itu artinya Aku harus menampakkan wajah asliku di depanmu. Dan aku tidak mau melakukannya." 


Mataku berbinar. Kuletakkan kembali roti kedua yang sudah setengah kugigit lalu berdiri mendekatinya. Setelah cukup dekat, kuletakkan telunjuk di daguku sambil memperhatikannya seolah sedang berfikir.


"Apa itu artinya kau tampan? Kenapa Aku ragu?" Kau pasti sangat jelek hingga tidak berani menunjukkan wajahmu. 


Dia menggeram. "Kau benar-benar harus belajar menjaga mulut dan otakmu." 


Aku menaikkan dagu, menatap bagian yang kufikir adalah wajahnya dengan sikap menantang. "Kalau kau tidak setuju dengan apa yang kukatakan dan kufikirkan, sebaiknya tunjukkan wajahmu." 


"Aku benar-benar tidak suka manusia sepertimu. Kau terlalu berani, terlalu dekat, dan—"...
"Dan?"..."Terlalu cantik." 

DEG.,!...Aku tersentak kaget mendengar ucapannya. Kurasa dia juga. Dan yang membuatku semakin terperangah, perlahan sosoknya kian padat, hingga akhirnya membentuk tubuh utuh dengan raut wajah yang memang rupawan.

Hidung mancung, bibir tipis namun berlekuk seperti ombak, dagu lancip, mata hitam yang tampak menyorot tajam, serta alis tebal yang nyaris lurus. Semua itu tampak sangat pas di wajahnya yang kini tampak gusar. Apa kerana dia baru saja mengakui bahwa Aku cantik?


"Tidak, bukan seperti itu," ujarnya ketus dengan wajah yang lucunya—memerah.


"Hah?" Apa dia baru saja menjawab pertanyaan dalam benakku?


"Sudahlah, sana habiskan makananmu." Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, dia berbalik keluar kamar. 


Aku masih terdiam di tempatku berdiri dengan seringai bodoh di wajahku. Apa itu tadi? Apa dia benar-benar hantu dan bukannya vampire yang terkurung dalam apartemen ini? Yah, setidaknya menurutku vampire lebih manusiawi daripada hantu. 


Dan tanpa bisa menahan diri, Aku bertanya dengan suara keras ke arah pintu kamar yang terbuka. "Apa di sekitar sini ada Mall hantu? Pakaianmu cukup bagus." 


BRAKK.,!...
Aku meringis melihat pintu tiba-tiba tertutup dengan suara keras. Kurasa sudah cukup membuat hantu kesal hari ini.
*****
"Kau suka acara kartun, ya?" tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari layar TV. 

Dia tidak menyahut seperti biasa. Menganggap pertanyaanku hanya angin lalu.


Aku menoleh dan kali ini memperhatikan sosoknya dengan seksama. Sudah tiga hari dia terus menunjukkan sosok fisiknya yang sempurna. Hanya sesekali menghilang. Mungkin kerana kesal padaku. Dan selama itu, Aku tidak pernah melihatnya ganti pakaian. Hanya kaus-t.shirt polos pas badan dan jeans belel. Apa itu pakaiannya saat meninggal?


Dia berdecak kesal lalu memperbaiki posisi berbaringnya. Kini satu tangan di bawah kepala. Satu kaki mengapit guling dan kaki lainnya menekuk lutut. Dia tampak nyaman berbaring telentang di sofa yang tidak sepenuhnya menampung tubuhnya yang tinggi.


Aku menahan senyum geli. Sepertinya dia lagi-lagi membaca pikiranku. Dengan jahil, kubiarkan mataku jelalatan memperhatikan fisiknya yang membuat liur menetes.


Mata hitam si hantu menatap sendu si wanita yang tengah tertidur nyenyak. Ada kerinduan dalam sorot matanya pada sang kekasih yang tak bisa lagi ia gapai. Lalu wanita itu datang, dengan segala kemiripannya dengan sang kekasih.


Perlahan si hantu mendekat, lalu dengan hati-hati duduk di tepi ranjang. Sejenak dia hanya diam. Memperhatikan si wanita yang terlihat sangat tenang dan lelap dalam tidurnya. Hingga akhirnya dia tak sanggup lagi menahan diri untuk menyentuh si wanita, merasakan kelembutan dan kehangatan kulitnya— 


PLAK!,...
Bantal guling melayang tepat mengenai wajahku. Aku mengaduh seraya menyingkirkan guling itu lalu melotot ke arah si hantu yang juga balas menatapku dengan sorot kesal. 

"Apa?" tanyaku kesal. Dasar pengganggu imajinasi! 


"Aku tidak pernah punya kekasih dan kau tidak mirip siapapun dalam hidupku!" serunya kesal seraya duduk. "Dan satu lagi, aku tidak pernah menyentuhmu diam-diam!" 


Bibirku membentuk seringai geli dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya. "Tapi kau memang memperhatikanku saat tidur dan membayangkan ingin menciumku, kan?" 


Dia terbelalak. "Bagaimana kau tahu?" 


Aku pun terbelalak dan senyum jahilku lenyap. "Jadi benar,khan?" 


"Eh!" seketika wajahnya memerah. Resiko memiliki kulit putih bersih. "Dasar wanita menyebalkan. Kembali saja ke kamar! Aku bertekad ini terakhir kalinya aku berurusan dengan penulis novel romansa." 


Aku tertawa geli sambil memeluk guling yang tadi dia lempar padaku.


"Itu gulingku! Kembalikan!" mendadak dia berseru.


Aku semakin terbahak. "Tadi kau sudah memberikannya padaku." Kupeluk guling itu semakin erat. Kedua pahaku juga menjepitnya.


Mendadak dia menghilang lalu kurasakan tarikan yang sangat kuat pada guling yang kupeluk. Aku tidak berhenti tertawa sambil mempertahankan guling itu tetap dalam dekapanku.


"Kembalikan!" terdengar geraman seperti dihembuskan angin menyapu telingaku.


"Tidak mau!"...
Aku merasakan dorongan di sisi kepalaku hingga menempel di sandaran kursi. Bersamaan dengan itu, guling ditarik semakin kuat namun Akupun memeluknya sangat erat. Kini tawaku sudah pudar namun seringai geli masih bertahan di wajahku.

"Aku akan meremukkan kepalamu!" geramnya lagi. Kali ini lebih jelas kerana sosoknya kembali solid hingga utuh sepenuhnya.


Aku terkekeh. "Bagaimana kalau kita buat kesepakatan? Akan kukembalikan guling ini dan kau harus mengatakan siapa namamu."


Dia mendesis marah. "Kesabaranku sudah habis." 


Refleks Aku memejamkan mata merasakan tekanan di sisi kepalaku semakin kuat. Tapi yang kurasakan kemudian membuatku membeku.


Bibir yang empuk dan lembut terasa menekan bibirku. Awalnya hanya menempel rapat. Tapi kemudian bergerak, menghisap bibir atasku lalu beralih pada bibir bawahku. Lebih lama di sana. Perlahan lidahnya keluar. Menekan-nekan lembut di antara bibirku yang sedikit merekah, agar membuka lebih lebar. 


Aku mengerang. Menerima undangannya dengan senang hati. Bibirku terbuka semakin lebar, membiarkan lidahnya masuk dan menjelajah kehangatan mulutku. 


Tangannya yang semula menekan sisi wajahku pindah menyentuh sisi leherku. Ibu jarinya membelai lembut, menciptakan gelenyar panas yang terasa membakarku, dan membuatku bergetar nikmat.


Sentuhannya membuatku gatal ingin menyentuhnya juga. Tanganku bergerak hendak menyentuh pundaknya namun—


"Sial!" umpatku setelah berhasil melepaskan diri dari pagutannya. "Aku tidak bisa menyentuhmu," kesalku sambil mencoba menyentuh wajahnya namun tubuhnya berubah transparan dan tanganku menembusnya. 


Dia menyeringai. "Tapi aku bisa menyentuhmu," ucapnya lalu kembali menyatukan bibir kami. Semakin menekanku ke kursi dan menciumku lebih dalam.
[hsz]  To be continued..
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; pinterest.com

No comments