My Ghost Stories [10]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories [10]">

My Ghost Stories [10]

[Chapter I Part 10]

Aku berhenti sejenak di depan pintu apartmentku untuk membersihkan jejak air mata di wajah. Beruntung Aku bukan tipe orang yang matanya langsung bengkak sehabis menangis. Jadi Aku hanya perlu memastikan air mataku tak lagi mengalir dan wajahku kering. Maka tidak akan ada yang tahu bahwa Aku sempat menangis. Kecuali kalau Aku menangis cukup lama. Itu sulit ditutupi. 

Menghela napas, Aku segera menegakkan tubuh lalu bergegas menuju lift. Perjalanan beberapa menit terasa sangat lama bagiku hingga akhirnya Aku tiba di tingkat pertama.

Begitu pintu lift terbuka, langkahku langsung menuju area kantor manajemen gedung. Tapi mendadak Aku membeku saat merasakan hawa dingin aneh yang melingkupiku. Hawa dingin yang membuat merinding ini sama seperti yang kurasakan di toko buku. Dan sumbernya berasal dari orang yang baru saja melewatiku. 

Aku menoleh, menatap penasaran pada dua lelaki yang tadi melewatiku. Satu berjalan di depan dan satu lagi sedikit di belakang, menunjukkan perbedaan status mereka. Keduanya mengenakan setelan jas-suit hitam rapi. Tampak begitu gagah saat melangkah tegap menuju pintu gedung apartment. Bahkan bagian resepsionis menyapa hormat pada keduanya.

Aku mengerutkan kening, tidak mendapati hal aneh pada mereka selain hawa dingin tak nyaman yang entah berasal dari lelaki yang mana. Aku sudah berniat berbalik saat tiba-tiba lelaki yang berjalan di depan menoleh pada lelaki di belakangnya, membuat sebagian wajahnya terlihat.

DEG.,!...Rasanya ada bom yang baru saja meledak dalam dadaku. Aku ternganga, dengan jantung yang menghentak menyakitkan dan napas terengah seolah baru saja berlari maraton. Bahkan kepalaku pening seketika, membuatku sulit berfikir mencerna situasi. 

Dalam keadaan demikian, beruntung refleksku bekerja lebih baik daripada otakku. Kakiku melangkah tanpa diperintah, berlari ke arah dua orang yang sudah melewati ambang pintu gedung apartment.

Kuabaikan tatapan bingung dan penasaran orang-orang di lobby yang mengarah padaku. Langkahku semakin cepat hingga keluar gedung apartment. Namun Aku terlambat. Saat tiba di luar, kedua lelaki itu sudah masuk ke dalam mobil hitam mengkilat lalu melaju pergi.

Aku terengah. Nafasku memburu. Kali ini kerana benar-benar baru saja berlari....Jujur, aku sulit memercayai pandanganku tadi. Apalagi jarak kami lumayan jauh. Tapi—Aku yakin tidak salah mengenali. Wajah itu begitu familiar kerana menemani hari-hariku nyaris selama dua puluh empat jam sejak tiga minggu yang lalu. Itu memang dia. Si hantu penunggu apartmentku. Tapi bagaimana bisa? Dan tadi jelas-jelas semua orang bisa melihatnya, bahkan menyapa dengan hormat. 

Apa yang sebenarnya terjadi?!...Kuurungkan niatku menemui manajer dan memilih kembali ke apartmentku. Aku tidak bisa membiarkan semua pertanyaan dalam kepalaku menumpuk tanpa jawaban. Aku harus bertanya padanya, sebelum kepalaku pecah.

Dalam perjalanan kembali ke apartemen Aku terus berfikir, berusaha mencari kesamaan antara lelaki tadi dengan lelaki di toko buku...Wajahnya persis kerana kedua wajah itu milik si hantu. Keduanya juga menebarkan hawa dingin bagai teror mengerikan. Ini yang membedakan mereka dengan si hantu. Apakah lelaki yang di toko buku sebenarnya adalah lelaki yang baru saja kulihat? ..Kalau benar begitu, dia manusia, kan?

Otakku tumpul sekarang. Tak bisa menemukan petunjuk bagaimana bisa seseorang begitu mirip dengan sosok hantu dalam apartmentku. Padahal biasanya Aku sangat ahli mengkhayal, merangkai sekeping puzzle menjadi jalinan kisah. Namun kini tidak ada apapun yang melintas di otakku selain banyak pertanyaan. 

Begitu tiba di tingkat apartmentku, Aku bergegas keluar dari lift dan tergesa menuju pintu apartment. Tiba di dalam, Aku terhenti dengan nafas terengah, sedikit bingung kerana tak menemukan hantu itu di sofa tempatnya biasa berbaring nyaman.


"Hei, kau di mana?" tanyaku seraya menuju sofa kesayangannya...Aku mulai panik. Apa dia pergi? Apa ini berhubungan dengan lelaki yang kulihat tadi?

"Ada apa? Kenapa kau terengah begitu?"...Aku tersentak kaget lalu berbalik, mendapatinya berdiri di belakangku dengan raut penuh tanya. Bahkan keningnya berkerut bingung.

"Ada banyak hal yang kau fikirkan, membuat isi kepalamu seperti gambaran kabur yang terus berubah sangat cepat. Ada apa? Apa kau berhasil bertemu manajer?"


Bukannya menjawab pertanyaannya, Aku hanya berdiri di sana dengan nafas terengah. Lalu mendadak sebuah pertanyaan terlontar dari sela bibirku, sesuatu yang tidak berhubungan dengan situasi ini tapi mendesak mengharapkan jawaban.

"Bagaimana kau mati?" ini pertanyaan yang sangat lucu tapi Aku benar-benar ingin tahu...Sejenak dia tampak kebingungan dengan pertanyaanku tapi kemudian menggeleng seraya berkata, "Aku tidak tahu." 

"Tidak tahu?"...Dia mengangguk.

"Lalu bagaimana kau bisa berakhir di sini?"


"Aku tidak ingat apapun. Saat Aku sadar, Aku sudah ada di sini dan sama sekali tidak bisa keluar." 

"Berapa lama?"


"Apanya?


"Sudah berapa lama kau terjebak di sini?"


"Aku tidak pernah menghitung waktu." Dia mengangkat bahu. "Awalnya Aku bingung, panik, tertekan sampai akhirnya hatiku dipenuhi kemarahan. Lalu semuanya lebih mudah setelah Aku menerima kondisiku. Saat itulah Aku menganggap apartment ini rumahku dan tidak boleh ada yang mengusikku.

"Selama itu kau tidak ingat apa-apa dan tidak pernah menghitung waktu?" Aku memastikan...Dia mengangguk.

"Itukah sebabnya kau tidak pernah mengatakan siapa namamu? Kerana kau tidak ingat?" ...Lagi-lagi dia mengangguk.

Aku memejamkan mata seraya mengusap keningku. Ini semakin membingungkan. Kalau dia tidak ingat apapun, bagaimana Aku tahu siapa lelaki itu? 

"Apa Aku memiliki kembaran?"... Seketika mataku terbuka dan langsung beradu dengan mata hitamnya. Sepertinya dia sudah berhasil membaca fikiranku dan mengetahui apa yang menggangguku.

"Kembaran?" 

"Ya. Dua,kembar-an manusia yang masih hidup."...
Aku ternganga, baru menyadari hal itu. Ya, kenapa sama sekali tak terfikirkan olehku? Memang itu yang paling memungkinkan. Si hantu memiliki saudara kembar.

"Kalau begitu Aku harus menemukannya," putusku kemudian lalu menggumam, "Aku harus kembali ke bawah."

Mendadak dia mencekal lenganku membuat gerakanku terhenti. "Untuk apa mencarinya? Itu tidak akan menyelesaikan masalah utama kita. Sebaiknya segera berkemas agar besok pagi—"

Aku menyentak lenganku dari pegangannya dengan tiba-tiba. Mataku berkilat marah saat menatapnya. "Kau ingin sekali Aku pergi, ya?" 

"Kau tahu bukan seperti itu maksudku."


"Kau hanya sudah muak dengan keberadaanku?"


"Fia—"...
"Berhenti terus memanggil namaku dengan nada seperti itu! Seolah kau menasihati anak kecil!" bentakku marah.

Seolah ada air mendidih di dadaku sekarang. Panas, dan bergolak. Aku benci dia bersikap seperti ini. Aku benci sikap pasrahnya pada kondisi ini. Padahal kufikir dia menyukaiku seperti Aku menyukainya. Tapi kenapa dia tidak berusaha mempertahankanku? Oh, apakah sebenarnya dia memang tidak pernah menyukaiku sebesar Aku menyukainya? 

Brengsek!,...Buru-buru Aku berbalik untuk menyembunyikan air mataku yang kini sudah menggenang di pelupuk mata. Kenapa Aku jadi cengeng seperti ini?

"Seharusnya Aku tidak pernah membiarkanmu tinggal." Suaranya terdengar perlahan di belakangku. "Seharusnya Aku membuatmu pergi seperti yang kulakukan pada manusia-manusia sebelumnya. Tapi waktu itu jiwa egoisku muncul. Gambaran dalam kepalamu membuatku bertanya-tanya akan seperti apa rasanya jika itu menjadi kenyataan." Dia diam sejenak sebelum kalimat bernada menyesalnya menyusul. "Maafkan Aku."

Aku menghapus air mata yang berhasil jatuh lalu buru-buru berbalik, dan tanpa kata langsung memeluknya erat. Rasanya sesak sekali. Kehangatan ini bukannya nyaman, malah menyesakkan. Mungkin kerana dalam otakku tengah berperang antara impian dan kenyataan. 

Aku bermimpi bisa terus seperti ini, bersamanya. Tapi kenyataan terus berusaha menancapkan taringnya, menginginkanku merasakan sakitnya. Bahwa kami berada di dua dunia yang berbeda. Bahwa tidak pernah ada harapan bagi kami untuk bersama. Bahwa—Aku terisak—usahaku untuk bertemu manajer dan mencari siapa orang yang memiliki wajah sama dengannya, tidak akan menyelesaikan masalah utama di antara kami, seperti yang dia katakan. 

Chupp.,!.... Kurasakan kecupan hangat di keningku dan itu malah membuatku semakin terisak dan memeluknya erat. Lalu tiba-tiba tubuhku terangkat dalam gendongannya. Dia membopongku ke sofa lalu duduk bersandar, membuatku terduduk di atas pangkuannya.

Aku bergeser, meringkuk di pangkuannya dengan wajahku menempel di sisi lehernya, membuat baju dan kulitnya basah oleh air mataku. Kulitnya tak lagi bercahaya. Dia benar-benar tampak seperti manusia. Manusia yang tampan.

"Terima kasih."...Ada nada geli dalam suaranya saat mengatakan itu, membuatku tak bisa menahan senyum kecilku di antara derai air mata.

"Kau juga cantik," lanjutnya....Aku menyeka air mata lalu mendongak menatapnya dengan kepala masih bersandar di bahunya. Dia menunduk menatapku, membuat mata hitam kami beradu.

"Aku memang cantik. Tanpa kau mengatakannya pun aku tahu."


Dia berdecak mendengar ucapan sombongku. "Kesombonganmu bisa diterima, Nona Sofia Hani. Kerana itu memang fakta. Oh, ngomong-ngomong, matamu bukan hitam. Ini cokelat gelap," katanya sambil ibu jarinya membelai lembut bawah mataku.

"Benarkah? Padahal menurutku hitam."


"Akan terlihat jelas di bawah cahaya matahari."

"Bagaimana kau tahu? Kau tidak pernah mengizinkan cahaya matahari masuk."


"Mataku sangat jeli."...

"Hmm, begitu." Aku teringat sesuatu. "Kenapa kau tidak menyukai cahaya terang? Apa itu bisa membuatmu terbakar?"

"Aku bukan vampire," katanya dengan nada geli. "Aku lebih nyaman dengan keadaan remang seperti ini. Cahaya terang membuatku sadar betapa sendirian dan mengenaskannya keadaanku. Lama-kelamaan aku terbiasa." Lalu dia menatapku serius. "Apa kau lebih suka cahaya terang?"

"Saat beraktiviti, ya. Keadaan ini kadang—ah, sebenarnya sering—membuatku sesak. Ya, tapi tidak terlalu terang juga."

SREEEETTT!,...Tiba-tiba semua tirai jendela yang biasanya hanya dibuka saat malam tiba, kini terbuka lebar. Membuat cahaya matahari berhasil menerobos masuk.

Refleks Aku menegakkan tubuh lalu menatap sekeliling, tersenyum lebar melihat keadaan sekitar yang berubah terang sebagaimana siang hari. Astaghfirullah, rasanya seperti baru saja menahan nafas cukup lama lalu diperbolehkan menghembuskannya. 

Aku menoleh menatapnya membuat pandangan kami beradu. Senyumku kian merekah. "Terima kasih." 

"Mulai sekarang, keinginanmu adalah perintah bagiku, Lady," katanya seraya menundukkan wajah lalu menyatukan bibir kami, mengulum bibirku lama dan dalam hingga nafasku terengah.[hsz]    To be Continued...
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; pinterest.com

No comments