My Ghost Stories [11]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="My Ghost Stories[11]">


My Ghost Stories [11]

[Chapter I Part 11]

Pukul sebelas siang, Aku turun lagi ke tingkat pertama dan langsung menuju bagian resepsionis untuk menanyakan keberadaan manajer. 

"Pak Andi baru akan kembali siang ini."

"Ini sudah siang." Aku menunjuk jam di atas meja resepsionis.

"Oh, mungkin sebentar lagi. Pak Andi tidak memberitahukan jamnya."

Aku diam sejenak. Menimbang apakah lebih baik menunggu di dalam apartmentku. Kulirik sofa di lobby lalu beralih ke arah pintu masuk gedung apartment, sebelum kembali menatap wanita yang sedang menunggu tanggapanku.

"Saya akan menunggu di sana saja." Akhirnya Aku membuat keputusan seraya menunjuk sofa di salah satu sudut ruangan.

"Tapi saya benar-benar tidak bisa memastikan jamnya. Bisa saja sebentar lagi, atau bahkan tiga jam lagi. Itu masih termasuk siang, kan?" Wanita itu tampak tidak tega membiarkanku duduk menunggu tanpa kepastian.

"Tidak apa-apa. Sebenarnya Aaya juga mencari orang lain. Saya akan menunggu sekitar satu jam." Yang kumaksud adalah lelaki yang mirip si hantu. Sayang sekali Aku tidak tahu siapa orang itu. Jika ada petunjuk sedikit saja, tentu Aku bisa langsung bertanya pada wanita di depanku. 

Sepuluh menit pertama sejak Aku duduk di sofa lobby, Aku tak bisa melepaskan pandangan dari pintu masuk. Berharap lelaki yang kulihat beberapa jam lalu melewati pintu itu. Namun harapanku tak terkabul.

Menghela nafas, kualihkan perhatian pada handphone. Memeriksa semua sosial media lalu membalas pesan-pesan masuk. Tiba-tiba terlintas dalam benakku seandainya si hantu juga memiliki handphone. Mungkin kami bisa chatting sekarang. Fikiran itu membuatku tersenyum geli. Tapi senyumku tak bertahan lama. Fakta bahwa hubungan kami tidak akan pernah bisa berlanjut dan akhirnya harus berpisah, terus melekat dalam benakku bagai akar kuat yang melilit.

Sakit!...Refleks tanganku terangkat lalu menyentuh dada yang terasa berdenyut perih.

Meski sudah biasa membuat kisah cinta dan bagaimana rasanya jatuh cinta, tapi ini pertama kalinya kurasakan sendiri. Bukan kerana tidak ada teman lelaki yang pernah menyatakan cinta padaku. Meski tidak banyak, ada beberapa orang sepanjang Aku sekolah pernah menyatakan perasaan cinta.

Tapi Aku tipe wanita yang terlalu pemilih dengan standart setinggi langit. Mungkin kerana jiwa pengarang dalam diriku. Hingga tidak pernah ada lelaki yang berhasil membuatku melepas status jomblo. 

Lalu jatuh cinta? Apalagi. Tidak, tidak pernah. Hingga kini...Eh, tunggu dulu! Apa yang kufikirkan tadi? Aku jatuh cinta? Pada hantu penunggu apartmentku? Apa sekarang Aku berani menyebut perasaan aneh ini dengan kata "cinta"?

Tiba-tiba mataku terasa panas dan tenggorokanku tercekat. Rasanya Aku ingin menangisi sekaligus menertawakan kebodohanku kerana jatuh dalam perasaan cinta padanya. Sosok yang tak akan pernah kumiliki. Ini sungguh konyol. Bahkan waktuku di apartment itu kurang dari enam minggu lagi. Sanggupkah Aku pergi darinya kelak? 

Aku berdiri, berniat kembali ke aparementku. Desakan untuk memeluknya terasa sangat kuat. Mungkin kerana kesadaran bahwa waktuku bersamanya hanya sebentar. Namun sebelum Aku melangkah, seseorang yang kutemui tadi pagi tampak melewati pintu gedung apartemen.

"Pak Andi,!" panggilku seraya bergegas menghampiri...Pak Andi berhenti lalu senyumnya merekah melihatku. "Oh, Nona Fia."

Kubalas senyumnya begitu jarak kami terpisah sekitar dua meter. "Maaf, mengganggu waktu Anda. Tapi saya ingin membicarakan tawaran Anda tadi pagi. Sepertinya saya tidak bisa pindah."

Kening Andi berkerut bingung. Tampak jelas dia merasa hairan mengapa Aku menolak tawarannya yang sangat menggiurkan. 

"Sebaiknya kita bicara di ruangan saya," putusnya akhirnya...Aku mengangguk menyetujui lalu berjalan di sisinya menuju ruang kantornya. 

Tidak sampai lima menit kemudian, kami sudah berada di ruangan yang sama seperti tadi pagi. Bahkan posisi duduk kami pun sama. Namun bedanya, kening Andi terus berkerut tampak tak mengerti sekaligus penasaran alasanku menolak tawarannya.

"Bisa jelaskan mengapa Anda memutuskan menolak? Saya fikir tadi pagi kita sudah sepakat." Andi memulai pembicaraan.

Aku menghela nafas sejenak sebelum mengungkapkan penjelasan yang sudah kurancang sejak memutuskan untuk menemuinya. "Ya, awalnya saya fikir itu kesempatan langka yang seharusnya tidak saya lewatkan. Tapi begitu sampai di apartment, saya menyadari bahwa hati saya nyaman di sana. Hati saya menolak untuk pindah."

"Tapi Anda tidak akan tahu lebih nyaman di mana jika belum mencoba. Saya berani jamin Anda tidak akan kecewa di apartemen yang saya tawarkan."

"Dan Anda berfikir begitu kerana apartment yang Anda tawarkan lebih mewah daripada yang saya tempati sekarang, kan?" Aku tersenyum. "Tapi ini bukan hanya tentang kenyamanan kerana dikelilingi kemewahan. Ini tentang inspirasi penulis. Kerana itulah pekerjaan saya. Saya tidak bisa berada di tempat yang tidak diinginkan hati saya. Itu akan membuat idea-idea dalam kepala saya sulit untuk dituangkan dalam tulisan."

Wow, baru kusadari Aku memiliki bakat lain selain menulis. Ternyata Aku juga memiliki bakat berbohong. Dan mungkin berakting juga. Sekarang Andi tampak memikirkan ucapanku dengan serius. 

"Ini bukan keinginan saya untuk meminta Anda pindah. Ini perintah pemilik gedung. Jadi saya harus berbicara dulu dengan beliau." 

"Oh, saya mengerti. Pastikan saja Anda mengatakan apa yang tadi saya katakan kepada Anda. Toh, masa sewa saya kurang dari enam minggu lagi."

Kalimat terakhirku membangkitkan denyut perih di dada. Aku tidak suka harus mengingat waktuku tinggal selama itu. Dan itu sama sekali tidak lama.

Andi mengangguk. "Tentu. Saya akan menghubungi Anda lagi jika sudah berbicara dengan pemilik gedung." 

Aku berterima kasih padanya saat kami berjabat tangan lalu beranjak dari sana dan kembali ke apartemenku.

Aku bergegas membuka pintu aparttment lalu menutupnya lagi begitu di dalam. Ada sesuatu yang ingin kulakukan. Dan itu membuatku agak bersemangat.

"Hai, kau sudah kembali? Bagaimana dengan manajer?" Meski dia berulang kali berkata tidak apa-apa Aku pindah, tapi tampaknya dia juga waswas menunggu keputusan akhir mengenai kepindahanku.

Aku tak menanggapi pertanyaannya. Memilih mengeluarkan handphone dari saku lalu kuarahkan kamera padanya.

Klik.,!...
Aku menggigit bibirku kesal kerana tak menemukan sosoknya di foto yang baru kuambil. Hanya sofa di sana. Kosong seolah tak ditempati. Padahal sebelum tombol untuk mengambil gambar kutekan, dia masih tampak di layar handphone. 

"Kau mencoba memotretku? Padahal Aku bahkan tak bisa melihat wajahku sendiri di cermin."

Sejenak Aku menghembuskan nafas kesal lalu menunjuk padanya dengan sikap memerintah. "Diam di situ!"

Buru-buru Aku ke kamar lalu mengambil pulpen dan salah satu buku tulis dari laci nakas(nightstand). Setelah keluar kamar, Aku menata dua benda itu di atas meja depan si hantu yang menatapku penasaran. 

"Apa kau berniat menggambar wajahku?"..."Ya," sahutku seraya membalik-balik lembaran kertas dalam buku, mencari yang masih belum digunakan. 

"Untuk apa?"...
Aku berhenti lalu mendongak menatapnya. Dia masih duduk di atas sofa sementara Aku duduk di lantai. Meja rendah menjadi pembatas di antara kami.

"Aku yakin kau tahu untuk apa."

"Katakan. Aku ingin mendengar dari bibirmu langsung." Mata hitamnya menatapku tajam...Aku menghela napas sebelum berucap, "Aku berniat mencari lelaki itu." Aku yakin dia mengerti siapa yang kumaksud. "Tapi pasti sangat sulit menemukannya tanpa petunjuk apapun. Jadi Aku berniat menunjukkan wajahmu pada bagian resepsionis."

"Lalu apa?"...
"Hah?"
"Setelah kau bertemu dengan lelaki itu, lalu apa?" Dia memperjelas pertanyaannya.

"Tentu saja Aku akan memberitahukan mengenai keberadaanmu."

"Lalu?"...
Kali ini satu kata itu berhasil memancing amarahku. Aku mengerti apa yang dia maksud namun menolak memikirkannya.

"Fia, itu tidak akan menyelesaikan apapun," katanya lembut. Lagi-lagi seperti menasihati anak kecil.

BRAK!,... Aku menggebrak meja dengan marah lalu berseru, "Setidaknya Aku berusaha melakukan sesuatu! Tidak seperti kau yang hanya duduk diam di situ!" 

Lalu hening...,Aku tertunduk seraya menggigit bibir. Kembali air mataku menggenang namun kali ini Aku menahannya. Sudah cukup aku menangis seharian ini.

Astaghfirullah, kenapa semuanya jadi seperti ini? Padahal kemarin kami masih baik-baik saja. Sebelum tawaran pindah ke apartment mewah itu datang, kami menikmati kebersamaan kami tanpa harus dipusingkan dengan masa depan.

"Maafkan Aku."...
Aku mengangkat kepala kembali menatapnya. Dia tampak sedih. "Kenapa minta maaf?"

"Kerana membiarkanmu melakukan semuanya sendiri."..
Sekarang aku menyesal. "Aku tidak bermaksud mengatakan itu. Kita sama-sama tahu kau memang tidak bisa melakukan apapun walau ingin. Kata-kataku tadi hanya pelampiasan rasa marah dan frustasiku."

"Tapi aku serius meminta maaf."

Aku mengibaskan tangan, tak ingin memperpanjang pembicaraan tak berujung ini. "Tidak perlu mengatakan apapun lagi. Jangan bergerak di situ. Aku akan mulai melukis."

Dia mengangguk lalu diam tanpa perdebatan lagi. Benar-benar tak bergerak bagai patung. Bahkan tak ada gerakan naik-turun di dadanya yang menunjukkan bahwa dia bernafas. Ah, apa sebenarnya selama ini dia memang tidak bernafas? 

Sejenak aku menarik nafas panjang untuk meredakan gemuruh di dada akibat perdebatan kami tadi. Setelah merasa lebih tenang, Aku mulai mengambil pulpen untuk melukis garis luar wajahnya.

Jemariku bergerak lincah menggores tiap detail wajahnya. Raut wajahku pasti tampak serius dengan sesekali mengerutkan kening saat mengamatinya lalu kembali menunduk melanjutkan goresan. 

Sepuluh menit kemudian Aku selesai. Kuletakkan pulpen di atas meja dengan ekspresi puas lalu berdiri sambil menyembunyikan hasil lukisanku di belakang tubuh.

"Sudah?" tanyanya saat melihatku menghampirinya lalu berdiri di sampingnya.

Aku mengangguk dengan senyum merekah lalu mengulurkan kertas di tanganku ke hadapannya.

Selama beberapa saat keadaan hening. Dia terus menunduk menatap hasil lukisanku tanpa mengatakan apapun. 

"Tidak perlu memuji. Aku memang berbakat," kataku dengan nada penuh percaya diri.

Perlahan dia mengalihkan perhatian dari lukisanku lalu mendongak menatapku. "Rasa percaya dirimu sungguh mengerikan. Bahkan aku tidak bisa membayangkan hasilnya seperti ini saat membaca rasa puas dalam kepalamu."

"Kenapa? Di luar dugaan, kan?"

"Benar-benar di luar dugaan. Bahkan anak Tadika pun tidak akan bisa menggambar sejelek ini." 

Aku berdecak lalu menunjuk ke atas kertas. "Kau sama sekali tidak punya mata seorang seniman. Coba perhatikan detail yang kubuat. Bibir tipis, hidung mancung, mata menyorot tajam."

"Bahkan matanya besar sebelah."

"Matamu memang seperti itu."


"Wajahku tidak mungkin bentuknya seperti ini."


"Memang. Coba saja bercermin."...,
Dia kembali menatapku dan kali ini pasti bisa melihat bibirku yang berkedut menahan tawa geli. Bahkan otakku sudah tertawa berguling-guling sekarang.

"Oh, mungkin rambutnya agak beda. Seharusnya Aku buat lebih panjang," lanjutku dengan serius. "Arrrgghh!" 

Aku memekik kaget saat tiba-tiba dia menarik pinggangku lalu membuatku terduduk di atas pangkuannya. Kertas hasil jerih payahku melukis teronggok di lantai dekat kakinya.

"Melukis? Itu bahkan tidak pantas disebut gambar." 

Aku mengerucutkan bibir seraya melingkarkan lenganku di belakang lehernya. Posisi duduk kami membuatku beberapa inchi lebih tinggi darinya. "Kau sama sekali tidak menghargai jerih payahku."

"Kau yang tidak menghargai jerih payahku. Aku duduk diam cukup lama dan hasilnya seperti itu." Dia juga mengerucutkan bibir.

Akhirnya tawaku pecah. Kutempelkan keningku di keningnya. Selama beberapa saat kami hanya diam dalam posisi itu. Saling bertatapan menikmati kedekatan tubuh kami. Lalu tanganku terangkat menyentuh rahangnya.

"Seharusnya Aku tidak punya perasaan semacam ini padamu. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Ini indah sekaligus menyakitkan." Suaraku perlahan dan serak.

Dia merangkul pinggangku lebih erat, membuat tubuh kami semakin menempel rapat. "Jujur, itu juga yang kurasakan. Tapi di sisi lain, aku sadar betul bahwa dalam hubungan ini, kau lah yang paling dirugikan. Aku tidak akan kehilangan apapun jika kita terus menjalin hubungan. Tapi sebaliknya, kau akan kehilangan segalanya. Terutama orang-orang yang sangat menyayangimu dan mengharapkanmu pulang."

Kita bisa tetap seperti ini. Memangnya kenapa kalau hubungan kita hanya di dalam sini? Aku bisa tetap melanjutkan hidupku yang biasa. Beraktiviti seperti biasa. Dan tetap menjalin hubungan denganmu. Tidak akan ada yang dirugikan.

Kalimat itu sudah berada di ujung lidahku. Tapi kutelan kembali kerana faktanya, itu semua hanya penyangkalanku akan kenyataan. Memangnya berapa lama Aku bisa bertahan tanpa desakan segera menikah dari Ibu-Bapaku? Jika saat itu tiba, apa yang harus kukatakan? Bahwa Aku sudah menjalin hubungan dengan hantu penghuni apartment?

"Aku mencintaimu." Tiba-tiba dua kata itu yang meluncur dari bibirku. Dan sebelum otakku menyadari apa yang hendak kulakukan, lenganku yang masih melingkari belakang lehernya menarik kepalanya mendekat. Lalu kepalaku menunduk dan tanpa malu bibirku meraup bibirnya dalam ciuman amatir yang begitu mendesak.

Ini pertama kalinya Aku menciumnya. Dan sepertinya Aku berhasil membuatnya terkejut atas keberanianku kerana tubuhnya menegang.

"Aku mencintaimu," ulangku lagi tanpa melepas tautan bibir kami. 

Saat itulah dia seperti tersadar. Senyumnya merekah. Kedua tangannya yang semula merangkul pinggangku, salah satunya naik menahan belakang kepalaku untuk memperdalam ciuman kami.[hsz]   To be Continued...
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; pinterest.com

No comments