Melayari Bahtera Cinta Prahara, Dibayangi Dendam Mistik [2]



<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="Melayari Bahtera Cinta Prahara, Dibayangi Dendam Mistik[2]">

Melayari Bahtera Cinta Prahara, Dibayangi Dendam Mistik [2]

Part-2

"Pokoknya Emak tak akan setuju kalau kamu nikah sama Suminah. Asal usulnya tidak jelas, bahkan sampai sekarang kita tidak tahu siapa bapaknya."

Terngiang-ngiang di ingatan Wagiman kata-kata Emak saat dia menyampaikan keinginannya mempersunting Suminah, lima belas tahun yang lalu.

Walau lebih dari satu dasawarsa, dan sudah dikaruniai 2 orang anak, namun Emak belum menerima kenyataan bahwa Anak-bungsunya harus menikahi Suminah. Gadis cantik, bunga Desa anak Wak Hindun.

"Emak punya firasat, batin kamu akan menderita jika menikahinya, Wagiman."


Kembali, kalimat Emak terngiang di fikirannya. 
Memang bukan tanpa sebab Emak menunjukkan ketidaksukaannya pada Suminah. Selain dikenal sebagai kembang-bunga cantik Desa, dia juga sering gonta-ganti pacar.

Dan tak jarang, para lelaki yang mengencaninya mengajaknya keluar dan pulang saat tengah malam. 
Suatu hal yang sangat 'taboo' untuk kehidupan di Dusun kecil. Jika seorang anak gadis sering keluar malam dengan lelaki yang berbeda-beda.

"Mas... gimana sih, disuruh goreng tahu kok malah dibiarkan gosong-hangus begini!"


Sebuah suara mengagetkan Wagiman yang tengah berdiri didepan dapur. 
Pemilik suara, yang tak lain adalah Suminah, Istrinya, dengan make-up tebal memandang kearah Wagiman dengan penuh selidik.

"Kamu mikir apa sih, Mas, kok sampai begitu? Sebentar lagi anak-anak pulang sekolah lho. Cepat dikit masaknya," perintah Suminah sambil berlalu.


Sementara, Wagiman hanya bisa menghela nafas dalam. 
Setiap kali dia berhadapan dengan Istrinya, selalu saja dirinya menjadi pecundang.
Kalaupun dia berhasil mengeluarkan uneg-uneg yang ada didalam hatinya, itupun selalu tak pernah didengar oleh Istrinya.
"Dek, bisa tak, kamu mengurangi kegiatan kamu diluar? Anak-anak kan sudah makin besar. Jangan sering kamu tinggal," ucap Wagiman.

"Tidak bisa Mas. Aku perlu hiburan. Aku tak bisa kalau harus berdiam diri dirumah terus. Kamu kan tahu, sebelum kita menikah, teman-temanku banyak," jawab Suminah.


"Itu kan dulu, Dek. Sekarang kamu sudah menikah, dan punya 2 orang anak. Sekali-kali, kamu temani mereka belajar atau bermain."


"Alah,...kan kamu bisa urus mereka sendiri selama ini Mas. Kenapa mendadak memintaku mengurus anak-anak? Kamu pasti habis dari rumah Emak ya? Terus Emak mempengaruhi kamu dengan semua ini!"


Sambil memukul meja triplek, Suminah berlalu meninggalkan Wagiman yang masih terpekur sediri disana. 
Sementara cangkir kopi yang baru setengah diseduhnya, tumpah akibat meja yang terguncang.

Bukan kali pertama Suminah menunjukkan kemarahannya. Dan bukan kali pertama pula Wagiman harus kehilangan nyali tiap berhadapan dengan Istrinya.


Ingin sekali Wagiman membela Emak, saat Suminah menuduhnya mempengaruhi dirinya. 
Namun lagi-lagi, dirinya tak kuasa mengeluarkan apa yang ada didalam hatinya.

***

"Mas Wagiman, dapat pesan dari Budhe, suruh mampir kerumah nanti kalau pulang dari jualan," ucap Mbak Surti.

"Iya Mbak, InsyaAllah nanti Saya mampir. Terimakasih lho ya...." jawab Wagiman. 
Surti adalah tetangga Emak, rumahnya berada persis disebelah kiri rumah Emak.

Jika di ingat-ingat, sudah cukup lama memang dirinya tidak mengunjungi Emak. 
Bukan dia tidak mahu, namun Suminah tidak senang jika dirinya terlalu sering kerumah orang tuanya.
Dirinya hanya sesekali mampir kerumah Emak saat pulang dari berjualan di pasar, itupun tidak lama. Kerana Suminah akan selalu mengecek keberadaan Wagiman, memastikan bahwa Suaminya akan langsung pulang tanpa singgah kemana-mana seusai berjualan.
***
Hanya perlu sekitar 10 menit dari pasar untuk sampai dirumah Emak.
Dari jauh, terlihat wanita yang telah melahirkannya itu sedang mengambil daun pisang yang ada di samping rumah.

"Mak...." panggil Wagiman sesaat setelah kakinya memasuki halaman rumah.


"Ayo masuk, Le. Ada yang mau Emak kasih tahu ke kamu," titah Emak setelah melihat sang anak sudah berada di depannya. 
"Kamu sehat-sehat saja kan Le, anak-anak mu gimana, sehat semua kan?"

"Alhamdulillah Mak, anak-anak juga sehat. Ada apa toh Mak, tidak biasanya nyuruh Aku kesini?" tanya MWagiman penasaran.


"Begini...," ucap Emak ragu. Sebelum malanjutkan kalimatnya, tampak Emak menarik nafas dalam, sambil menatap wajah Wagiman tepat. 
Wanita yang telah melahirkannya tiga puluh delapan tahun yang lalu itu, memandangnya tajam. Seolah ingin memastikan sesuatu darinya.

"Kemarin Emak habis dari rumah Wak Haji...."


"Kenapa dengan Wak Haji, Mak?" 


"Uwak tidak apa-apa, tapi kamu yang ada apa-apanya," ucap Emak melanjutkan. 
Dan itu membuat Wagiman semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Emaknya.

"Maksudnya apa, Mak....?" tanya Wagiman.


"Uwak cuma titip pesan sama kamu, untuk mencari sesuatu yang ditanam. Katanya, ada di belakang rumah."


"Sesuatu apa Mak?"


"Emak juga tidak tau apa, tapi yang pasti, kata Uwak kalau sudah ketemu, kamu harus membakarnya."


"Di bakar? Barang apa sebenarnya itu Mak?"


"Sudah, kamu coba turuti pesan Uwakmu." 
Ucap Emak akhirnya.
***
Tak sabar ingin mengetahui apa maksud dari pesan Uwaknya, Wagiman melajukan motornya menuju kerumah. Berbagai pertanyaan muncul dalam kepalanya, namun selalu berujung pada kebingungan.

Sesampai dirumah, bergegas Wagiman melangkahkan kakinya kehalaman belakang. 
Matanya menyapu seluruh pekarangan rumah yang ditumbuhi pohon pisang itu.

Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah pohon jeruk. Tampak, pohon itu belum lama ditanam disana. Hal itu terlihat dari daunnya yang agak gundul, jatuh berguguran.

Perlahan, didekatinya pohon itu.. 
Dengan sedikit mengeluarkan tenaga, Wagiman berhasil mencabut pohon jeruk tersebut. Saat hendak memindahkan batang pohonnya, matanya tertuju pada sesuatu yang ada di bawah akarnya.

Sedikit demi sedikit, benda yang ada di dalam ditariknya keluar. 
Kini ditangannya, tampak sesuatu yang terbungkus dengan kain putih. Gemetar tangannya saat membuka bungkusan tersebut. Tampak didalamnya, sebuah celana dalam abu-abu dan segumpal rambut yang terikat rapi.. Juga beberapa bunga yang sudah tampak mengering.

Tanpa terasa, airmata mengalir dari kedua netra Wagiman. 
Sebuah perasaan yang tak bisa dia lukiskan dengan kata-kata seolah membuncah keluar seiring dengan airmatanya.[hsz] To be Continued..
Courtesy and Adaptation by Yani Santoso
Editor ; 
Romy Mantovani,

Kredit Ilustrasi image ; Doc, fortunanetworks.com

No comments