Hikayat Syekh Bahloul [1]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="Hikayat Syekh Bahloul [1] ">

Hikayat Syekh Bahloul [1]

Pengantar Redaksi: Umat Muslimin di berbagai negara tak asing dengan nama ‘Si Bahlul’. Siapa yang tidak kenal dengan istilah “Bahlul”? Istilah yang di-adaptasi dari bahasa Arab "Bahloul" yang sangat popular di Masyarakat Muslim, Gugusan Kepulauan Nusantara ini dan seringkali diselipkan saat bergurau-senda atau bercanda, mengejek atau mentertawakan orang lain. "Ente bahlul, bahlul parah ente!", yang artinya "ente bodoh".
Tapi hanya sedikit yang mengenal cerita sebenar pribadi tersebut, yang kerap jadi inspirasi dalam soal kecerdasan dan kejenakaan. Hari ini, redaksi kembali menurunkan kisahnya, yang merujuk pada buku “Silsilatul Hikayati Bahlul” karya Amal Thinanah.

Madrasah Syekh Bahloul (Bahlul)

Seseorang berjalan di salah satu jalan di sebuah negeri bernama Baghdad (Ibukota Iraq sekarang). Ia mengenakan pakaian lusuh. Tangannya menggelayuti sebuah tongkat sebagai penopang jalannya.

Rasa sakit menghiris hatinya, kesedihan menyelimuti kemarahannya, ia terekam di pelupuk matanya yang dibasahi air mata. Pertanyaan besar menggelayuti fikirannya, “Apa yang mungkin ia lakukan untuk menyelamatkan Kaum Muslimin dari penindasan dan kezaliman sang Khalifah yang merupakan kerabatnya sendiri, Khalifah Harun Al-Rasyid beserta pendukungnya?”
Dia memahami alasan gurunya, Syekh Musa Al-Kazhim, yang menasihatinya agar berlaku seperti orang gila. Tujuannya adalah menjaga dirinya dari kejahatan Khalifah Harun Al-Rasyid beserta pendukungnya. Dia seorang yang senantiasa mendengarkan dan mematuhi nasihat gurunya. Dia tetap berusaha menyembunyikan cita-cita murni di dalam lubuk hatinya untuk menjadi martir-pejuang di jalan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan menegakkan panji-panji Islam.
Namun demikian dia kembali tersenyum riang saat mengingat ajaran Keluarga Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Di antaranya ialah mengatakan kebenaran di hadapan seorang pemimpin yang zalim di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala bernilai sama dengan berjuang mengangkat senjata.
Suatu kali Si Bahlul dengan hairan memperhatikan sejumlah pemuda dari berbagai penjuru menuju ke sebuah tempat yang sama. Dia menyadari bahwa di salah satu daerah di Baghdad, tinggal seorang guru besar yang sangat terkenal. Rumahnya menjadi salah satu madrasah bagi para pecinta ilmu di kota Baghdad kala itu.
Si Bahlul sendiri tidak pernah berguru kepadanya. Hanya saja terlintas dalam benak Si Bahlul untuk menghadiri majelis ilmunya. Dia minat untuk mendengar dan memperhatikan pelajaran dalam majelis itu. Dia menyadari bahwa murid-murid sang guru semakin bertambah kerana mengetahuinya sebagai seorang Ulama yang paling mendalam ilmunya di Baghdad saat ini. Jadi, inilah kesempatan emas bagi Bahlul untuk belajar kepadanya.
Perlahan Si Bahlul melangkah bersama para murid-murid lainnya ke tengah-tengah majelis sang guru yang berwibawa lagi bijaksana. Melihat Si Bahlul hadir, murid-murid lainnya memberikan ruang untuknya, namun dia memilih untuk duduk di pintu keluar majelis. Murid-murid tertegun memperhatikan sang guru dengan seksama dan sungguh-sungguh.
Sang guru tidak menyadari kehadiran Si Bahlul seraya berkata, “Ketahuilah, kebanyakan kaum Muslimin meyakini bahwa Iblis akan disiksa dengan api Neraka pada hari kiamat, namun aku menolaknya.”
Sang guru membaca kebingungan para muridnya yang tergambar pada wajah mereka. Salah satu murid yang cerdas segera bertanya kepada sang guru sambil berdiri, “Mengapa demikian wahai Tuan Guru?”  Sang guru terdiam sejenak dengan pertanyaan yang di luar dugaannya.
Namun dia segera menjawabnya untuk menyingkirkan kegundahan mereka, “Bukankah kalian tahu bahwa Iblis tercipta dari api? Kalian yakin bahwa neraka hanyalah berupa api yang membara. Jadi, bagaimana boleh api membakar sejenisnya?”   Kemudian sang guru kembali menatap wajah muridnya satu persatu sambil menerawang emosi mereka. Si Bahlul pun di antara mereka. Dia tidak bergeming tanpa menampakkan raut keraguan sedikit pun.
Sang guru menjadi tenang hatinya kerana tidak ada yang berbicara sepatah kata. Dia pun melanjutkan pelajarannya seperti sedia kala. Dia berkata, “Persoalan lain yang aku tidak setuju adalah keyakinan sebagian besar kaum Muslimin bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak mungkin dilihat secara kasat mata. Bagaimana mungkin sesuatu yang berwujud namun tidak dapat dilihat?”   Sang guru kembali menatap wajah muridnya satu persatu dan semuanya yakin bahwa hal itu adalah persoalan yang aneh dan di luar kemampuan mereka dan mereka terpesona dengan kepandaian sang guru.
Tiba saatnya sang guru menyampaikan pendapatnya kembali seraya berkata, “Wahai manusia, mereka berkata bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala pencipta segala sesuatu, namun mereka meyakini bahwa manusia adalah pelaku yang memiliki ikhtiar dalam perbuatannya. Hal ini berarti adanya keterpaksaan sekaligus ikhtiar dan tentu saja mustahil dalam logika.”
Para murid semakin tercenung atas hal yang disampaikan oleh sang guru.
Semua terdiam selain satu di antaranya seraya bertanya, “Bagaimana pula pendapat Anda, wahai Tuan Guru?”
Sang guru pun memperbaiki sorbannya seraya berkata, “Pendapatku bertentangan dengan hal itu. Semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan manusia tidak memiliki ikhtiar atas perbuatannya.”
Tidak lama kemudian, tanpa diduga siapa pun, terjadilah sesuatu. Batu! Ya. Sebuah batu melayang dari arah hadirin dan menimpa kepala sang Tuan Guru. Batu itu tepat mengenai di sorban sang Tuan Guru dan mengucurkan darah segar dari kepalanya. Majelis pun gaduh dengan pencarian sumber batu itu. ternyata Si Bahlul!

Baca juga; Hikayat Syekh Bahloul yang Berani Menasihati Khalifah Harun Ar-Rasyid

Mengapa Si Bahlul melakukan hal itu terhadap seorang terpandang di kota Baghdad? Murid-murid riuh dan menunjuk marah ke arah Si Bahlul. Dia pun tenang menghadapi mereka, sadar mereka tidak akan membalasnya kerana dia salah satu Kerabat Khalifah Harun Al-Rasyid.
Sang Tuan Guru menekan kepalanya dengan tangannya untuk menghentikan pendarahan, gusar dan membentak Si Bahlul, “Aku akan mengadukanmu kepada Khalifah!”   Si Bahlul menjawab dengan tenang, “Aku ikut denganmu!”
Sang guru menatap tajam kepada Si Bahlul sambil berkata,
 “Bersaksilah atas peristiwa ini di hadapan Khalifah wahai murid-muridku!”
Dua orang ini pun berjalan menuju Khalifah. Sang Tuan Guru berjalan tergesa-gesa sambil memegang kepalanya dan murid-muridnya di sekelilingnya. Sementara Si Bahlul berjalan dengan tenang dan wibawa seolah tidak menghiraukan peristiwa yang telah terjadi.
Tentu saja sang Tuan Guru lebih dahulu tiba di hadapan Khalifah sehingga lebih leluasa menceritakan peristiwa yang terjadi kepadanya. Sang Khalifah pun tertegun mendengarkannya seolah tak percaya atas peristiwa itu mengingat kedudukan sang Tuan Guru yang terpandang di kota Baghdad dan menjadi panutan-contoh ikutan banyak orang di sana.  Sang Khalifah pun berang atas perlakuan kerabatnya itu. Dia memerintahkan Prajurit Istana untuk menghadirkan Si Bahlul ke hadapannya.
Para Prajurit  berlari seirama mencari Si Bahlul. Mereka pun menemuinya sedang berjalan sendiri menuju Istana sang Khalifah.   Si Bahlul masuk ke dalam majelis sang Khalifah tanpa mengiraukan olok-olok hadirin. Khalifah Harun Al-Rasyid menghardiknya, “Wahai Bahlul, benarkah engkau yang telah melontar kepala Tuan Guru ini dengan batu?”
Si Bahlul merapikan jubahnya sebagaimana yang biasa dilakukan oleh pejabat seraya berkata, “Tidak.. Aku tidak melakukannya!”  

Melihat jawaban si Bahlul, Sang Tuan Guru lepas kendali dan berteriak,
 “Apa?? Apa yang engkau katakan?” Sungguh engkau telah menzalimi diriku! Engkau tahu para hadirin menyaksikannya dengan mata kepala mereka!”
Si Bahlul dengan penuh ketenangan menjawabnya,
“Engkau menuduhku telah berbuat zalim wahai guru? Kerana itu, mohon katakan kepadaku kezaliman apakah yang Aku lakukan atasmu?”
Sang Guru menjawab,
“Engkau telah melontar kepalaku dengan batu! Rasa sakit yang aku alami tidak tertahankan.”
Tidak cukup sampai di situ. Sang Tuan Guru menoleh ke hadapan murid-muridnya seraya bertanya,
“Bukankah kalian menyaksikannya? Tidakkah kalian melihat Si Bahlul melontar kepalaku dengan batu?”

Si Bahlul menatap Sang Tuan Guru dan bertanya,
“Engkau merasakan sakit? Dimanakah sakit itu? Mohon perlihatkan kepadaku!”
Sang Tuan Guru membentaknya,
“Apakah rasa sakit dapat dilihat supaya Aku dapat memperlihatkannya kepadamu?”
Si Bahlul tersenyum dan merasa rencananya berhasil. Dia berkata,
“Hahaha… Rasa sakit tidak berwujud kalau begitu. Engkau telah berdusta atas apa yang engkau katakan. Sesungguhnya engkau berkata dalam majelismu bahwa sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh sesuatu berarti tidak berwujud.”
Si Bahlul menoleh ke arah murid-murid sang Tuan Guru,
 “ Wahai tuan-tuan, sesungguhnya batu tidak mungkin menimpa kepala Tuan Guru kalian! Manusia berasal dari tanah, dan batu pun berasal dari tanah. Demi Allah, mana mungkin tanah menyakiti tanah?”
Sang Guru tersadar dengan pernyataan Si Bahlul tersebut.
Si Bahlul yang dituduh gila telah membungkam diskusi tentang persoalan Aqidah.
Sambil menyingkirkan debu dari jubahnya Si Bahlul berkata kepada sang Khalifah, “Sang Tuan Guru meyakini bahwa manusia tidaklah memiliki pilihan atas perbuatannya. Jadi, tidak seorang pun dapat menyalahkanku atas perbuatanku terhadapnya kerana menurut pendapatnya Aku tidak memiliki ikhtiar atas tindakanku.”
Khalifah Harun Al-Rasyid pun terperanjat dan seolah membuat darah Sang Tuan Guru membeku. Sementara para muridnya berkumpul di satu titik sambil memandangi Tuan Guru mereka dengan penuh keraguan dan tidak lagi mempercayainya.
Si Bahlul keluar dari majelis tersebut meninggalkan Sang Tuan Guru yang penuh rasa sesal dan bersalah di hadapan Khalifah Harun Al-Rasyid. Dia tidak mengetahui bahwa dia telah menuliskan kisahnya dalam lembaran sejarah dengan tinta darahnya.[] Bersambung…
Courtesy to Source
Editor ; 
HSZ/FortunaNetworks.Com 
Kredit Ilustrasi image ; islamindonesia.id

No comments