MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 4 Part 54]
MISTERI KUNCEN. Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 4 Part 54]
(54) Cerbung Horor Humor Komedi Lucu Untuk Hiburan para Sahabat.WAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
WAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
[Chapter 4 Part 54]
MEMBANGUN DARI PUING
FORTUNA MEDIA - Saya kira, di Jakarta itu dhuwit kari menumpuk, sega-beras kari nyidhuk, iwak-ikan kari nyunduk, sayur kari njupuk, banyu kari nyawuk. Eh, jebul yang saya temukan justru berbanding terbalik dengan bayangan.Jakarta ternyata keras, ndess! Jurang perbezaan sangat kontras di sini. Yang top, ya, memang top tenan. Tapi yang memprihatinkan juga tidak umum nestapanya.
Situasinya paradoks. Konglomerat berhadapan dengan koklomelarat. Ningrat bersirobok-bertemu dengan ningratan. Yang gemerlap bersanding dengan yang gelap. Begitulah.
Bagiku, cari yang tengah-tengah agak sulit di Jakarta. Adanya tinggi banget, atau rendah banget. Grafik kehidupan naik-turun tajam seperti jalur roller coaster. Habis ndedel sak mencite langsung njojrog sak nyungsepe.
Contohnya, masuk jalan Thamrin-Soedirman Boulevard lebar giler-giler. Bangunan megah berdiri kekar, mobil pating sliri kayak disebar, lampu merkuri terang kencar-kencar, baliho iklan pating glebyar. Tapi geser dikit ke Tanah Abang I, Kampung Jahe Kober, kemegahan itu sirna seperti ditelan bumi.
Di kampung yang hanya 50 meter dari mulut gerbang kantor Walikota Jakarta Pusat, saluran mampet pating srumpel, kabel letrik dan telepon pating kruwel, rumah kumuh pating drusel, tikus dan kecoak pating jrintel, anak-anak dengan ingus meler pating kruntel, emak-emak berdaster ngepir pating sruwel.
"Selamat datang di Jakarta. Kota sejuta masalah. Abang harus tahu, Ibukota itu lebih kejam dari ibu tiri!" kata Mak Neneh, warga Jahe Kober yang asli Bekasi.
"Byuh.. masak sih? Kok sampean betah hidup bermasalah bersama Ibu yang kejam?" tanyaku.
"Ya, mahu bagaimana lagi, Ibu tiri gue dah marhum, bang."
Woalah! Jadi ceritanya, tinggal di Jakarta itu bukan pilihan. Tetapi kerana kepepet-terdesak. Pertanyaannya: Apakah saya termasuk orang-orang yang kepepet? He he.. kita bahas setelah pariwara berikut ini.
Aja gumunan, Aja kagetan. Itulah nasihat Pak Harto. Tapi melihat kondisi tempat kerjaku yang baru, mahu tak mahu saya terpaksa lupa nasihat itu, artinya kaget juga!
Saya fikir yang namanya kementerian itu ya, sip jempolan asoy, unggul di semua line, kayak squad Liverpool lah. Lha, ini kok dari kusam masih ke bawah lagi.
Bahkan saat saya masuk ke "calon" ruangan tempat saya berdinas, ya amploop.. saya ndlongop campur mlongo. Selain gelap, juga kotor dan kumuh. Dinding lapuk, plafon bocor, kotoran tikus di sana-sini, lantai lembab, letrik sebagian tidak menyala, meja-kursi tidak ada. Bahkan, ini yang aneh, banyak jendela yang hilang teralis dan kacanya!
"Partisi bangunan dan furnitur pada dibawa pulang staf," terang Sifon, security asli Batak yang sedang menunggu kejelasan status pekerjaannya.
"Kok bisa begitu?" tanyaku hairan.
"Mereka geram dan kesal, kerana kantornya bubar melulu. Akhirnya kekesalan itu ditumpahkan dengan mreteli properti kantor!"
Hadeuuh.. kok begini amat ya. Padahal Amat saja tak begini. Maka saya pun protes ke Pak Kaban yang "berani-beraninya" mengajak saya ke ibukota yang kejam ini.
"Pak, ngapunten, ini sesungguhnya kementerian atau dagelan, sih?" tanyaku hairan campur kecewa sambil menggigit bibir.
Pak Kaban cuma garuk-garuk kepala sambil tersenyum kecut. "Ini dampak dari empat kali pembubaran, Mas. Departmen Penerangan bubar, ganti menjadi BIKN, ganti lagi menjadi LIN, akhirnya menjadi BIP sekarang ini. Jadi yang tersisa ibaratnya ya tinggal puing," kata Pak Kaban merenung.
"Dan kita diminta membangun di atas puing-puing ini?" kejarku sangsi.
Pak Kaban mengangguk. "Makanya saya minta Mas bantu saya. Anggap saja ini tantangan sekaligus peluang," ujar Pak Kaban yaqin, pakai q.
Saya sih cuma mengangguk, yakin juga, tapi cuma pakai k. Ra patek mantep owg!
Yungalaah.. kok abot/berat men tugasnya. Membangun puing mejadi megah itu sesuatu, ndess! Sesuatu yang angel kelakone. Apalagi saat saya cek, ternyata seluruh staf saya masih belum aktif ngantor.
"Pada meliburkan diri, menunggu kejelasan struktur dan fungsi yang baru," ujar Bu' Ros, sesama eselon empat yang memang sejak diangkat bertugas di situ.
Saya ambil nafas panjang. Cincing-cincing klebus. Telanjur basah mata kaki, ya mending sekalian mandi. Maka tugas pertama yang harus dilakukan adalah memanggil staf.
Baru kali ini ada kasi menelponi anak buah satu per satu agar mulai bekerja. Toh begitu, banyak juga yang menolak, kerana tak yakin kantornya akan beroperasi kembali. Bahkan ada yang mengira guyon belaka!
"Saya telanjur kontrak mahu rekaman, loh pak!" kata Syahril, salah seorang staf.
"Tidak apa-apa. Mahu diterkam mahu menerkam boleh saja. Yang penting masuk dulu. Nanti sambil bawa gitar, latihan di kantor. Kebetulan saya gitaris juga," bujukku.
"Woaa.. asyik! Siap kalau begitu!" ujarnya.
Wis embuh. Nanti kalau ditanya aliran gitarannya apa, saya jawab saja: kontemporer! Bwa ha ha.. Yang penting staf harus bisa masuk dulu.
Alhamdulillah, dalam waktu dua minggu, stafku sudah komplit. Tentu dengan berbagai trik. Ada yang saya janjikan dapat insentif dari monitoring isu publik. Ada yang saya ajak nyanyi sambil gitaran. Ada yang saya ajak ngopi-ngopi.
Pokoknya disenang-senangkan dulu lah. Namanya juga trauma healing, ya, gimana caranya meyakinkan agar bayang-bayang pembubaran kantor sebanyak empat kali tidak menguasai fikiran mereka.
"Asyik juga kalau kerjanya begini, Pak. Kayak orang main aje!" komentar Syahril.
"Ya, sekarang memang main dulu. Tapi mulai besok kita mahu mengembangkan newsroom, monitoring room, divisi cetak, online, elektronik, dan database informasi publik," jelasku.
"Wooh... berat itu," komentar Syahril pendek.
Dan besoknya, plass... ia bersama lima staf lainnya menghilang tanpa berita. Ditelepon tidak diangkat. Dititipi pesan diabaikan. Wadooohh.. tentu saja saya pusing kepala.
Selidik punya selidik, ternyata mereka menuntut agar insentif mingguan dibayarkan segera. Duh, padahal anggaran operasional masih diajukan ke Kementerian Kewangan, belum turun. Tapi mereka telanjur patah arang.
Tapi the show must go on. Sembari-sambil mengeluarkan jurus rayuan gombal lainnya agar staf mahu masuk kembali, team infrastruktur terus bekerja memulihkan jaringan internet, memasang kabel dan setting komputer.
"Hampir clear, Pak. Tinggal install program dan Isnin besok bisa langsung dioperasionalkan," lapor Fery, vendor infrastruktur, kepada Pak Kaban.
Namun Isnin pagi itu, Fery menghadap Pak Kaban dengan wajah murung. Nyata benar raut kegundahan di wajahnya.
"Saya minta tambahan waktu lima hari lagi, Pak!" ujarnya.
"Lhaah, apa pasalnya?"
"Banyak kabel instalasi putus dimakan tikus, Pak. Celakanya kita tidak tahu yang putus yang mana, jadi harus diganti baru semua!" lapornya.
"Waduuh, kok ya ikut-ikutan bermain infrastruktur tikusnya," komentar Pak Kaban.
Lima hari berikutnya, semua program yang diusung dari Jawa timur sudah terpasang rapi. Tapi untuk mengoperasikannya terkendala SDM. Ternyata dari 50 orang PNS yang diprojeksikan akan menjalankan program, separuh lebih tidak faham komputer.
Terpaksalah mencari tenaga outsource untuk membimbing PNS yang ada. Mulai menghidupkan komputer, menjalankan program, hingga edit dan unggah berita.
Saya sendiri selain mengurus Divisi Cetak, juga terlibat penuh mengajari staf yang melakukan monitoring isu publik yang berlangsung selama 24 jam nonstop. Praktis saya jadi sering doktor, mondok di kantor.
Malam itu, tiga orang staf dari team tiga yang seharusnya piket mendadak absen. "Takut," begitu alasan mereka. Sehari sebelumnya, team dua juga absen. Alasannya sama, takut.
Mereka bilang ke saya, jika malam sering diganggu berbagai suara dan penampakan. Bahkan Pak Sujiran mengaku pernah memergoki sosok perempuan yang tertawa ngikik di tangga.
Waduuh.. sepertinya bakal ketemu lagi nih dengan urusan beginian.
Nasibmu, Gun! [HSZ]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara
Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani #indonesia, #kuncen, #misterinusantara, #misterikuncen,
RELATED POST KISAH SUFI, SANG KYAI The Story of The Prophet Muhammad SAW
No comments
Post a Comment