MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 6]

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 6]">

MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 6]

Cerita Bersambung Horor, Humor, Komedi, untuk Hiburan Para Sahabat,

"JIN  MAKMUM"

Sore itu kami berkumpul di ruang mengaji dengan perasaan plong. Beban yang berbulan-bulan menghimpit kepala terasa hilang sudah.

Semua ketawa-ketiwi, menceritakan kekonyolan saat mengerjakan Sipenmaru tadi. 


"Tadi aku juga bingung , Nda," ujar Aris.

"Lah...Kok bisa?" tanya saya.
"Iya. Kebanyak-an mikir." 
"Ya mesthi wae. Namanya saja tes!" 

"Bukan itu yang saya fikir."

"Laah.. trus apa?" 
"Mikir kok dhuwit patungan yang beli nasi gudeg kemaren belum dibayar ya."

"Sadubintul!" potong saya sambil garuk-garuk kepala.
"Besok bila panen petai saya bayar. Betul, serius. Dua kali  lipat!" 
"Tak mau, Nda. Riba itu." 
"Lha, maumu apa?" 
"Balekkan Rp500 wae, bonus petai 5 lingget (ikat)." 
"Wah, ndlodor itu dia! Petai sak lingget wae Rp600 je," kata saya mecucu. Aris meringis. 

"Aku ya juga bingung tadi," ujar Tarso nimbrung-mencelah. 

"Mahu nagih hutang juga? Ngaku wae!" 
"Betul ini, Ndes. bingung betul." 
"Memangnya kena apa?" 

"Pas mengerjakan Matematika Dasar. Waktu kurang lima menit, aku kerjakan lagi tekan nombor 30. Saking gugupnya saya jawab ngawur. Pokoknya saya hitamkan semua lembar jawaban sehingga habis."

"Sing penting kan, rampung!" serobot Unang.

"Masalahnya bukan gitu, Nang. Soalannya kan 50..." 

"Ho-oh. Lalu?" 
"Aku njawabnya sehingga nombor 75, je!" 

Bwahahaha! Tarso...Tarso..! Bagus betul ini. Soalan 50 dijawab 75! Sibuk nantik panitianya Sipenmaru!


"Salahnya sendiri menyediakan lembar jawaban 75!" gerutu Tarso dengan wajah tak bersalah. Tak pelak kami pun ngakak sampai sakit perut. Moga-moga besok komputernya bingung untuk mencocokkan, error, lalu Tarso dicathet lulus gitu aja...


Saya lalu menceritakan mimpi basah tadi malam. Aris tersenyum girang mendengar dalam mimpi ia bisa menyeberang sungai dengan meloncati batu-batu.


"Terima kasih telah dimimpikan yang firasatnya baik," ujar Aris.


"Semoga saya lulus betul," sambungnya. Saat Aris sedang girang-girang ketawa, mak jedhul. Unang muncul membawa buku "Tafsir Seribu Mimpi". Kitab rujukan para penggemar Porkas (jenis judi "resmi" sebelum muncul SDSB-Undian berhadiah).


Entah dia dapat dari mana buku ajib-hebat itu, kerana, sumpah, kami bukanlah Porkaser. "Sik sik sik..tapi menurut buku ini, batu itu lambang angkanya 0. Nol di sini artinya: Tidak ada. Nihil. Das. Suwung. Zonder. Bisa juga berarti Wurung. Wukan. Rusak. Gagal." 


Mendengar paparan Unang, kontan muka Aris njuwowos-berkerut. Senyumnya terbang entah ke mana.


"Jadi belum jelas ya, tafsirnya. Lha kalau kalian bertiga kecemplung kali-sungai sampai basah kuyup, artinya apa?" kejar Aris. 

"Itu artinya perjuangan dan kerja keras!" ujar Unang sambil pura-pura baca dan mengedipkan mata ke arah saya. Saya angkat dua jempol  sambil manggut-manggut kayak burung terkukur. 

Kontan saja Aris beringsut pergi sambil ngedumel-mengomel,
"Loncat di batu-batu juga perjuangan, Ndes!" Saya tergelak.
Lalu mengadu telapak tangan dengan Unang..Tosss! 


  READ MORE

MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 5]
MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter I Part 4]


Senja itu saya kebagian jadi imam Sholat Maghrib. Kami memang biasa giliran jadi imam kerana menyadari tajwid dan makhraj bacaan kami sama-sana amburadul. Jelek semua, jadi ya, giliran biar dosanya rata.

Tapi mungkin imam sholat kali inilah yang paling tidak khusuk sepanjang hidup saya. Saat bacaan Al-Fatihah selesai dan makmum mengucap "Aamiin!" kok kuping-telinga saya menangkap ada suara lain yang bukan suara Aris dan Unang. Suara yang berat dan dalam. Suara siapa? Usai baca Surah At-Tin, dilanjut ruku', ujung mata saya melihat makmum saya ada empat!  


Heh, siapa yang dua? Padahal tadi tak ada tamu di rumah ini. Apa Mas Ari? Tapi biasanya ia sholat Maghrib di Masjid? Lagian  tumben-tumbenan ada bau parfum kasturi yang menyengat hidung.


Biasanya sih bau ketiak, tapi ini kok wangi memabukkan. Saya husnuzzon saja, barangkali Aris atau Unang barusan dapat warisan parfum dari eyangnya. Kan, mereka baru pulang kampung. Rasa penasaran saya berlanjut pada saat ruku' dan sujud raka'at berikutnya. Jelas saya lihat makmum saya ada empat.


Yang dua jelas sohib saya, tapi dua lagi di sisi kiri posturnya tinggi besar di atas rata-rata. Berpakaian serba putih.


Saat salam ke kanan saya masih melihat makmum ada empat. Tapi saat salam ke kiri..dua orang yang di sisi kiri mendadak lenyap  seperti ditelan bumi! 


"Yang di sebelahmu, siapa tadi?" tanya saya pada Unang, segera setelah salam. "Maksudmu?" 


"Tadi di sebelahmu ada dua orang lagi ikut makmum. Berbaju putih, baunya wangi." 


Tanpa menjawab, tiba-tiba Unang dan Aris menggulung sajadah dan langsung nggendring lari ke kamar.


"Hoiii..tunggu aku! Aku ya takut, Ndess!" teriak saya sambil menyambar sajadah dan menyusul lari.


Setakut-takutnya saya, saya tetap merasa tenang. Setidaknya makhluk ghaib itu ikut sholat, artinya tidak jahat. Kata simbah saya memang ada Jin Muslim yang suka ikut makmum orang yang lagi sholat.  Okelah. Tapi biarlah aja nampak...


PERPISAHAN

Perpisahan selalu menyedihkan, tak terkecuali perpisahan dengan rumah Kuncen. Meski ada rasa dongkol, gemes, marah, juga sebel-bosan dan takut, tapi kebersamaan yang kami jalani dengan para Gondes di sana benar-benar ingat di hati. 

Seperti pagi itu, air mata tumpah saat kami pamitan. Bagaimana tak nangis, jika anak-anak yang biasa ngaji dengan kami pada memeluk kaki sambil histeris.  


"Mas jangan pergi..Mas di sini saja dengan kami... Huuuu..." Yungalah... benar-benar melow level dewa. Sumpah, saat tiga induk-an kambing saya dijual untuk sangu-(kos-tunjangan-elaun) ke Jogja, menyisakan anak-anak kambing yang mengembik-embik memelas di kandang, saya cuma mbrabak. Tapi pagi itu di hadapan kurcaci-kurcaci cilik yang semua sendu unyu-unyu, pertahanan catanacio eluh saya runtuh.


Unang dan Aris yang biasanya anti gores juga terisak-isak di pojokan, kayak bayi kehilangan susu emaknya. 


Tak kuasa berkata-kata. Mas Ari yang punya rumah malah  tersedu-sedu. Bahkan Tarso yang besar tinggi seperti Bima, pagi itu berubah bak Arjuna hilang gapite. Lemas tak berdaya dengan mata menyungai Gangga.


"Jindul... aku nangis betul, Ndes. Tangis pertamaku sejak aku dibaptis," ujar Tarso sambil menyeka mata.
 

"Sama. Aku juga sudah luamaa tak nangis. Seingatku, aku terakhir nangis ya saat disunat," cluluk saya. 

Tarso langsung njewer telinga saya dan mendekatkan ke mulutnya.  "Ini adeganya lagi sedih, Ndess!! Mbok aja ngomong sunaaat!" 


Saya pun terpaksa mesem-senyum tertahan. Meski masih dengan berurai air mata... 


Kompleks betul perasaan saat itu. Nano-nano campur Mr. Sarmento rasa Sarsaparilla. 


Saya yakin, di alam ghaib rumah Kuncen juga banyak yang lagi nangis. Ada yang nangis sedih kerana kehilangan teman ngangsu-(rintihan), ada kehilangan imam sholat. Tapi prediksi saya, banyak pula yang gulung-koming kerana kehilangan objek usilan-gangguan.


Lho, memangnya mudah apa, nyari ganti orang yang tahan diusili seperti kami? Sekarang saya tinggal, kapok-jera tak, kalian!


Sebelum ke terminal, kami mampir nggudeg (makan nasi gudeg) dulu ke Bu Sri. Sarapan sekalian mohon pamit. Kalau yang ini kayaknya tak pakai nangis, deh. Masih ingat aja soal gudeg basi dulu. Meski saya yaqin gologoqin sibasiqin and ainul yaqin wal kejepret thengel-thengel..itu bukan salah Bu Sri. 


"Lhoo... kok bawaan barangnya banyak, mau pulang ke Wonosobo toh, Nak?" sapa Bu Sri ramah.

"Nggih, Bu...  " jawab kami bareng-bersamaan campur takjub.

"Kok ngerti awaknya sendiri bocah Sobo, ya?” bisik Aris.

"Kan, kelihatan."

"Apanya?" 
"Irenge-hitamnya." Aris cuma angkat bahu sambil melet.

"Alhamdulillah, Nak. Berkat sampeyan semua, anak saya sekarang sudah pintar ngaji dan rajin sholat."


"Loh..putra njenengan ngaji dengan Mas Ari, toh?" 

"Enggih..anak kulo-saya si Rizal." 
"Woalah. Yang bacaannya bagus itu, toh?" ujar Tarso.
Bu' Sri tersenyum bangga.  


Tak lama kemudian srat sret cekatan mengambilkan empat porsi nasi gudheg. Lalu ditimpa krecek, tahu, tempe, dan...dada ayam!


Kok dada? Siapa yang pesan?

"Pun, silahkan dimakan. Sekecakne!" kata Bu Sri masih dengan senyum manisnya.
 

"Blaik! gimana ini nantik membayarnya?" bisik saya ke Tarso. "
Hah, entah...kan sekarang giliranmu mbayar!" jawab Tarso sambil menggigit dada menthok yang menul-menul itu. 

Saya lihat gerombolan si Berat makannya sangat lahap. Sementara saya menyuap tertahan-tahan.


Membayangkan rupiah yang harus keluar, nasi tiba-tiba serasa sekam, daging ayam serasa potongan sandal.


Seret ditelan terdampak galau. Gimana tak galau. Kalau saya semua yang bayar, alamat saya tak bisa bayar ongkos sampai rumah!  

Masak mau patungan-share lagi? Tak mungkin. Mereka pasti nolak. 

Hampir setengah jam, gudeg saya baru habis.

Kawan-kawan sudah ribut takut ketinggal bas. Saya pun mengambil dompet sambil meringis. Apa boleh buat, saya terpaksa menghampiri Bu Sri yang masih juga tersenyum manis. 

Stop dulu ya, besok disambung di nombor 7, urusan mbayar gudeg duwitnya kurang difikir besuk saja..To be Continued..
Courtesy to (Karya; Nursodik Gunarjo)
Adaptasi dari judul asal 'KUNCEN Kisah Perjalanan Menembus Gadjah Mada'  

Editor; HSZ/FortunaNetworks.Com
Kredit Ilustrasi Image; 
pinterest.com/pin/
Follow me at;
 
twitter.com/helmysyamza

No comments