MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 18)



<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 18)">

MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 18)

WAITING FOR GAMA  

OPERASI LANJUTAN

Saya masih penasaran, bagaimana ceritanya si Kakek bisa nempel di tubuh saya? Masak mak-bedunduk, tiba-tiba muncul tanpa sebab, kan tidak mungkin. Pasti ada lantaran-sebabnya.

Konon, biasanya makhluk seperti itu sih, khadam dari benda pusaka atau batu aji. Tapi saya kan tak pernah mengoleksi akik dan batu-batuan seperti punyanya Pak Tung atau Mbah Joyo.

Pusaka, saya juga tak punya, selain tombak senggol modot yang limited edition itu, hehehe ...
"Tak mungkin, Ndes! Pasti ada benda pusaka yang kamu miliki.
Tidak banyak-sedikit ,"
ujar Mitro meyakinkan saya dengan wajah serius ...

"Ndeehh ... sejak bila awakem (dirimu dialek Cepu) jadi paranormal, Tro. Kok main tuduh begitu?"

"Lha kan, baru saja dikukuhkan jadi pengurus IKPTK."
"Apa itu?" "Ikatan Keluarga Paranormal Tegal Kuniran! Tapi aku bagian keluarganya. Bagian paranormalnya dirimu!"
"Ra kacek (nggak beda), Ndess!" potong saya sambil mringis.

Tapi analisis Mitro kok ya,  masuk akal bagi saya. Akik, pusaka ... hmm, kok saya jadi kepo sendiri! Jangan-jangan memang ada barang-barang nyalawadi yang katut (terbawa) atau sengaja ngatut di properti saya?

Tak ada jalan lain untuk membuktikannya, kecuali harus membongkar ulang seluruh harta kekayaan, eh... harta kemiskinan ... yang saya miliki satu per satu. Saya ingin masalah ini tuntas tas-tas... kayak iklan M Kapsul.

Operasi lanjutan ini tak menyita waktu kok. Wong harta saya cuma celana panjang 4, t-shirt 3, baju 2, jaket almamater 1, celdam 3, yang dipakai side A dan side B, dan sepatu 2. Plus dompet yang selalu kosong dan... setumpuk diktat kuliah!

Lho, jangan salah. Justru di antara barang yang saya miliki, diktat inilah yang paling mahal harganya! Mbayare wae direwangi ra madhang barang owg! Kerana mahal pulalah, ada dosen-lecture yang jadi diktator, jual diktat untuk beli motor!

Gak sampai setengah jam saya bongkar, seluruh daftar inventaris sudah tercentang. Tapi sama sekali tak ada barang nyalawadi seperti yang dikhawatirkan Mitro. Yang saya temukan cuma beberapa kecoa-lipas  yang naik pitam kerana saya gusur paksa saat lagi kelonan.

Saat milang-miling apa yang belum saya cek, mata saya tertumbuk pada tas Alpina tua yang teronggok di dasar almari plastik. Dulu saya beli di sektor loak pasar Beringharjo, tapi pensiun dini lantaran gigi ritsluitingnya(zipnya) sudah tak mahu saling gigit.

Dengan ogah-ogahan, saya ambil tas-beg itu. Malas aja, kerana selain bulukan juga sudah jamuran-bercendawan, eh sama saja ya ... Dan baunya...Tidak patek wangi, Ndes!

Saya rogoh-seluk, seluruh anak tas kosong melompong. Ya kan, semua isinya sudah saya remove sejak pindah dari Kuncen dulu.

Tapi saat saku tas sebelah dalam saya cek ulang, Lhoooh...kok ada kantong kecil bertali terbuat dari kain mori, di situ!

Saat saya lihat isinya, ternyata batu akik berwarna putih bersih tembus pandang yang di dalamnya ada warna merah seperti bercak darah segar. Wah, bikin curigation ini! Siapa yang memasukkan akik beserta kantongnya itu ke dalam tas saya? Sejak bila?

"Naahh...gue kate juge ape... pasti itu biang keroknye!"
ujar Mitro saat saya tunjukkan batu seukuran ujung telunjuk itu.

Belum lagi saya ajak diskusi, Mitro sudah menyingkir dari pintu kamar sambil bilang,.."Tapi ... tapi ... itu urusanmu, ya. Aku tak ikut-ikutan lho, Ndes!!" lalu lari terbirit-birit entah ke mana. Wealaahh ...

Setelah batu akik dalam genggaman, ingatan tentang kerugian-kerugian yang saya alami mendadak muncul. Emosi saya kembali tersulut. 
 No mercy! Batu ini harus dimusnahkan!

Segera saya melangkah ke bengkel lasnya (welding) Babah Om Taruno Wagiyo yang berada persis di depan rumah-kos.

"Om, punya palu besar?"
tanya saya. "Oi...oi...ada. Mahu lu pake buat apa ha itu palu?"

"Mahu saya pakai untuk "ndheplok (menumbuk) ini,"
jawab saya sambil menunjukkan akik putih pembawa masalah itu.

"Haiiyaa ... itu balang bagus. Kasih owe saja la, nanti owe ganti duit ..."
Saya tidak pedulikan suara si Om.

Palu besar saya ambil. Akik saya letakkan di plat besi tebal yang biasa dipakai tatakan tempa.  Sekali ayun... prak!! Huaduuhh ... ternyata meleset! Cuma kena ujung, dan barang itu meluncur secepat peluru melewati ujung hidung Om Taruno. Untung ia sigap merunduk dengan gerakan kung fu.

"Haiiyaaaa... hampil ilang saya punya mata haa ..."
celetuk si Om marah sambil menyeka keringat.

Saya hanya bisa minta maaf berkali-kali. Walang wadung walang ataga. Barang wis kadhung, arep dikapakna? (Sudah telanjur mau bagaimana lagi).
Termasuk kecerobohan saya yang gagal menghancurkan akik sialan itu adalah keterlanjuran.

Saya dibantu Om Taruno dan geng Tegalkuniran mencoba menyisir akik itu hingga ke sudut-sudut bengkel. Tapi barang ajaib itu seperti lenyap ditelan bumi.

"Coba disilak pakai sapu, lha ... Mungkin itu balang kena tumpuk sampah sama tahi bubut (sayatan logam sisa mesin bubut)," usul Om Taruno.

Kami pun berbagi mengeroyok setiap jengkal bengkel dengan sapu lidi. Dalam waktu singkat, sisa dedaunan dan sayatan logam terkumpul. Kami sortir lagi sampah itu seteliti mungkin. Tetap saja batu putih itu nihil eksis.

Setelah lelah mencari, kami pun balik kanan ke kos dengan langkah gontai..."Dasar setan belang. Sudah kalah saja masih ngerjain!" gerutu saya gemes, segemes- gemesnya.

Saat melangkah, tiba-tiba Jes si Raja Medit berkotek, "Ndess ... kalian sadar tak, berkat kita semua bengkel si Om jadi bersih cemerlang tanpa noda!" Kami semua njuwowos ...

"Wah, iya. Kita dikerjain. Tak bener ini!"
celetuk saya sambil melangkah balik ke bengkel.

Sampai di tempat, si Om yang sedang merakit ranjang besi saya semprot.
"Om, yang bener aja! Om sengaja mengerjai kami untuk membersihkan bengkel secara gratis, kan!?"

"Haiiyaa... itu masih lingan, lhaa ... Coba kalau mata owe sampai bolong kena batu yang lu pukul, bisa milyalan lu orang bayal owe!" sergahnya.
Saya cuma nyengir. Jindul ik...Babahe dilawan!

READ MORE; MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 17]


KANGEN(RINDU) YANG TERTUNDA

Sejak ketemu Oki, hasrat untuk bertemu Yujiem (UGM) kambuh-muncul lagi. Pletik kangen (rindu) yang semula laten, kembali kobong membara api.

Menjelma menjadi tekad yang meledak-ledak dan sulit dikendali: Ingin Sipenmaru sekali lagi! Yo-i. Ingatannya cuma nyambi nyopir, semangat Oki masih bergelora ingin menjelajah Bulaksumur secara kaffah.

Masak saya yang sudah latihan kuliah setahun di UGM cabang Jebres kalah sama dia. No...no, Ferguso!

Mendekati bulan June 1988, hati saya makin dag-dig-dug. Bukan kerana ketar-ketir tak bisa garap soal Sipenmaru, tapi kerana... formulirnya belum juga terbeli! Padahal garis finish pembelian formulir (borang/form) sudah membayang di depan mata.

Harga formulirnya sih, cuma Rp25.000. Masalahnya, duit saya kurang, kurang dan cupet!!

Tunggu dulu ya guys, cari akal golek-cari duwit dulu untuk beli formulir Sipenmaru besok di nombor 19.
[hsz] To be Continued...

Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Rep, Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

No comments