MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 35]

<img src="https://fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 35]">

MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 35]

Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para Sahabat

WAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN


PROKLAMATON

                                            
FORTUNA MEDIA -  Sedang rutin membakar pentol pagi itu terusik oleh kedatangan Kadus Sempor. Lelaki bregas itu ujug-ujug gabung ke KPG--Komunitas Pentol Gosong yang dipimpin Pak Polo.

"Kangen (rindu)mbak-mbak KKN yang manis, he he..," ujarnya.

"Woo.. bukannya kangen saya, pak?" celetuk Widi.

"Taak! Sampean pahit!" jawabnya ketus, disambut tawa ngekek para gondes.

Ternyata Pak Kadus membawa titipan surat dari Kecamatan. Surat dinas bersampul coklat, dengan notifikasi "Amat Segera".

Segera Polo menyobek sampul surat itu. Sesaat setelah membaca isinya, Polo berseru, "Wah, ter-la-lu!"

"Ada apa pak, kok nge-Rhoma Irama?" tanya Retno heran.

"Ini lho, undangan mendadak ikut lomba bulan Agustusan di Wonogiri. Desa kita kebagian Proklamaton, lari 17 km."

"Apa susahnya, kan tinggal kirim peserta ke sana," cetus Ranti.

"Pelari sih ada. Masalahnya, sekarang dia sudah ganti profesi."

"Lho, memangnya siapa dia?


Polo menunjuk dadanya sendiri.


"Wooh.. njenengan atletnya?"

"Juara proklamaton Kecamatan Jatiroto, nih! Tapi mosok Polo berangkat sendiri, kan wagu. Nanti dikira pengin jadi Mas Ngabehi, semua diayahi sendiri!"


"Waduuh.. lalu siapa yang bisa menggantikan?" kejar Retno.

"Mas Widi barangkali.." usul Polo.

"Siaap! Tapi saya bisanya lari dari masalah dan lari dari kenyataan..."

"Ha ha ha..! Mas Gun bisa?"


"Saya bisanya lari dari marabahaya. Terakhir kan bareng sampean, waktu menghindari Kyaine sampai petromax-nya ambrol...," elakku.

"Heh heh heh...! Kalau Mas Setyo dan Mas Juni, saya gak berani nyuruh. Takut kakinya sudah finish, tubuhnya masih tertinggal di garis start!" ledek Polo.

Ha ha ha! Kami pun ngekek😂 bersama.

"Gini saja, besok saya survei di empat Dusun. Mosok cari satu pelari saja gak ada," usulku.

"Telat, Mas! Acaranya besok jam sembilan pagi, di Waduk Gajahmungkur. Makanya saya bilang ter-la-lu.. terlalu mepet waktunya maksudnya," potong Polo.

Wealaah..

READ MORE;
Misteri Nusantara
Novel Collection
Novel @Horror, Mystery, Ghost, Fantasy & Romance



Saat sedang bingung mencari atlet, tiba-tiba Sarman, pemburu luwak warga Dusun Tretes, melintas. Di pundaknya tersampir seekor luwak (tupai-mongoose), hasil berburu pagi itu.

Melihat Sarman, tiba-tiba wajah Polo berubah sumringah seperti habis nemu pentol sak karung.

"Man, rene-a dhiluk! (ke sini sebentar)," ujarnya.

Sarman mendekat dengan wajah heran level 7. Gak biasanya Polo bermuka manis padanya.


"Ini ada surat dari Pak Camat. Tulisannya begini: "Mohon menugaskan Sarman untuk ikut lomba lari proklamaton di Wonogiri!" kata Polo sambil menuding-nuding huruf dengan wajah meyakinkan.

Sarman yang e bengkok saja gak tahu kerana gak hobi makan sekolahan, njuwowos dengan wajah kaget. "Mosok Pak Camat kenal aku, Lho?" ujarnya tak yakin.

"Lho.. kamu itu sudah kondang se Jatiroto sebagai pemburu luwak tercepat. Itulah sebabnya Pak Camat menyurati kamu untuk ikut lomba Proklamaton, lari 17 kilo."

"Woohh..."


"Saya yakin kamu akan menang, Man! Wong kalau buru luwak saja kadang lari-mu ngeciput sampai belasan kilo," bujuk Polo.

"Tapi..," kata Sarman ragu-ragu.

"Tak pakai tapi.tapi, Ini prentahnya Camat, Man. Besok jam enam pas kita ketemuan di prapatan Cangkring. Ke Wonogirinya naik mobil sama saya. Yang ngantar Mas Setyo sama Mas Gun!"

"Tapi aku diingoni karo disangoni (dikasih makan dan uang saku) ya..," cetus Sarman polos.

"Beres kalau itu. Diantar, dikasih makan, wang saku ada, kalau menang hadiahnya untuk kamu semua," bujuk Polo.

"Ya wis aku mau. Tapi udute aja lali ya! (rokoknya jangan lupa)"


"Hayaahh, beres wis! Ok, setuju ya?"


Sarman manggut. Polo manthuk-manthuk. 

Tentu dia yang paling gembira, kerana terbebas dari predikat mengabaikan perintah Pak Camat (Penghulu Daerah).

Esok paginya, jam 05.00 pas, saya bertiga sudah marathon duluan dari Dawungan menuju Cangkring. Ternyata Sarman sudah standby di perempatan. Mobil dan sopir juga sudah siap. Cuma ada yang aneh dari penampilan Sarman.

"Kok gak pakai sepatu?" tanya Polo sambil tepok jidat.

"Gak punya," jawab Sarman pendek.

"Waduuhh.. coba ini, pakai punyaku!" kata Polo sambil mengangsurkan sepatunya.

Saat dicoba, ternyata kekecilan. Sepatu saya dan Setyo juga kekecilan. Kaki Sarman 41 plus, plus njeber, sementara kaki kami semua ukuran 39.

"Ya sudah.. nanti beli di Jatisrono. Sekarang berangkat saja, keburu terlambatt!" perintah Polo.

Mobil baru meluncur setengah kilometer, Sarman sudah mengeluh pusing. Dapat sekilo pertama, lelaki perkasa itu sudah muntah dua kali. Duuh.. kacau ini!😅

"Ora tau numpak montor (gak pernah naik mobil), je..," keluh Sarman sambil memegang perut. "Tak udut sik ya, ben ora mabuk (mau merokok dulu, biar tidak mabuk)," ujarnya sambil menyalakan sigaretnya.

Saya dan Setyo yang gak merokok cuma bisa bekah-bekuh sambil batuk-batuk, disembur fogging tjap Sarman. W4gindul ik... Tapi ya wis sak bahagiamu, Man! Yang penting nanti bisa ikut lomba!

Sehabis mampir beli sepatu olah raga di pasar Jatisrono, tiba-tiba Sarman berbisik ke Polo,
"Lho, nganu.. aku seumur hidup belum pernah pakai sepatu..."

"Hah, kenapa gak bilang dari tadi! Njuk piye iki, sudah telanjur dibeli... Dicoba saja dulu, enak kok!" rayu Polo.

Tapi Sarman berkeras menggeleng. "Emoh, Lho... Kalau pakai sepatu malah gak bisa lari nanti!" alasan Sarman sambil terus nyedot kret3knya.

Terang saja Polo ngomel gak karuan. Sudah belinya pakai dana pribadi, gak dipakai pula! 

"Lagian, mosok lomba lari tingkat Kabupaten nyeker, kan gak lucu, Man!" semprotnya.(nyeker-kaki ayam)

"Yang mau lari kan saya, Lho. Ya terserah saya dong! Pokoknya kalau dipaksa pakai sepatu, saya mending mundur!" ancam Sarman.

Polo terdiam. Saya dan Setyo bungkam. Wah, kalah set nih kita orang! Terpaksa, mau tak mau, semua ikut kemauan Den Baguse Sarman tanpa bisa komplain lagi...

Tepat jam 09.00, Sarman sudah berdiri di barisan. Saat Pak Kapolres (Ketua Balai Polis) siap melepas peserta, tiba-tiba Sarman berteriak dengan wajah cemas. "Lho, ini nanti lombanya gaimana?" 

"Dah, pokoknya kalau pistol sudah meletus, kamu lari secepat-cepatnya 8,5 kilo, lalu balik lagi ke sini!" ujar Polo balas berteriak.

Sarman manggut.

Di luar dugaan, kehadiran lelaki highlander itu ternyata mampu mencuri perhatian publik. Semua orang menatap Sarman dengan pandangan takjub. Apa lagi yang dipelototi kalau bukan kakinya yang nir-alas.

"Lari di aspal panas, tanpa sepatu, apa kaki anda tidak mlethek (retak)?" tanya seorang reporter radio lokal.

Sarman tak menjawab, hanya tersenyum sambil dadah-dadah. Walah, pede banget dia! Saya dan team official hanya bisa garuk-garuk kepala sambil menahan tawa.

Begitu pistol start diletuskan pak Kapolres, wuuss... Sarman langsung melesat seperti peluru. Tak sampai satu menit bayangannya sudah menghilang di pengkolan jalan! 

Tentu saja peserta lain heran tak alang-kepalang. Lari jarak menengah kok sprint? Tapi penonton justru tepuk tangan bergemuruh.

"Edan tenan! Lomba lari dipadhakke ngoyak luwak!" seru Polo sambil menutup muka.

"Lha, sampean gak ngajari gimana cara lari jarak jauh yang benar, sih," timpalku.

Pak Polo cuma nyengir.😃

Kami semua berfikir, melihat cara larinya yang ngeciput, dapat lima kilometer pertama Sarman pasti akan ambruk kehabisan tenaga. Dus harapan untuk menang ya sangat tipis.

Tapi dugaan kami keliru, ketika 1,5 jam berikutnya Sarman muncul di pengkolan dengan kecepatan lari yang masih sipat kuping. Tak pelak penonton pun bersorak-sorai menyambut kehadirannya!

Mungkin saking niatnya memacu tenaga, begitu melintasi garis finish Sarman langsung tumbang. Matanya terpejam. Nafasnya terengah-engah. Keringatnya deras membanjir.

Segera team kesehatan menyambar tubuh Sarman dan melarikannya ke posko. Baru saja mau diperiksa, eh.. Sarman sudah bangkit, lalu njawil Polo sambil bisik-bisik. "Lho, aku ngeleh, mau isuk durung sarapan (aku lapar, tadi pagi belum sarapan)."

Kontan saja Polo nyekakak
. "Bajindul ik.. ternyata kamu tewas kerana lapar! Ya wis, ayo ke warung!" ujar Polo sambil menggelandang Sarman yang cengar-cengir ke depot makan terdekat.

Saat sedang asyik mengganyang nasi pecel dan ngopi, panitia mengumumkan bahwa juara dua dan tiga baru saja masuk finish.

"Wuuaah.. sudah ditinggal semaput dan makan-makan, juara dua dan tiganya baru tiba. Hebat tenan kamu, Man!" ujar Polo sambil menepuk-nepuk bahu Sarman.

Yang dipuji gak nggagas. Asyik mbrakoti paha ayam dengan tumakninah. Sepertinya untuk saat ini, makan lebih penting dari urusan apapun!

Jam 12.00 para juara diumumkan. Juara tiga dari Pracimantoro. Juara dua dari Wuryantoro. Dan juara pertama ya Sarman, sang Pemburu Luwak tak bersepatu dari Jatiroto!

Masing-masing pemenang mendapatkan wang pembinaan dan hadiah yang dibungkus kardus. Tentu bagian Sarman yang paling besar, plus wang pembinaan terbanyak, Rp5000.

Berbeda dengan berangkatnya, pulangnya di mobil Sarman tampak ceria. Tak ada tanda-tanda mabuk sedikitpun di wajahnya. Berkali-kali ia mengelus-elus amplop dan kerdus besar berisi hadiah dengan bangga.

"Mbok dibuka hadiahnya, Man!. Kita kan juga pengin tahu," ujar Polo.

Sarman menyobek kertas payung yang membungkus karton. Ups.. ternyata di dalam karton masih ada lagi karton yang lebih kecil. Saat karton kecil dibuka, Sarman njuwowos. Ternyata isinya.. Sepatu!

Sesuai namanya, sepatu emang bikin kagol. Sepatu: Tlesepke, njepat, ra isa metu! 
[hsz] 

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya;
  Misteri Nusantara  

Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

VIDEO :

#TrueStory! RITUAL PESUGIHAN NENEK MOI & PERJANJIAN IBLIS MESTI KORB4NKAN ANAK SENDIRI || PART-2

No comments