MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 34]

<img src="https://fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 34]">

MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 34]

Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para Sahabat

WAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN


ASURANTOL
                                            
FORTUNA MEDIA - Waktu tinggal dua minggu, tapi Mushola masih jauh dari kata jadi. Dinding batu bata meringis minta elusan tangan tukang, tapi sak materialnya. Lantai keramik sudah siap dipoles, sayang baru ada lapnya doang, keramiknya belum. Atap sih sudah ada, hanya kurang beberapa (ratus) genting saja!

Selaku ketua Tim Pencari Dana, saya sungguh sangat malu. Maluku tak bisa dibeli dengan Banyumas atau Tanjungperak pokoknya. Sumpah, icin (malu) banget sak pakdhe Hery Prast-e..

Lha piye, setiap kali rapat panitia, saya harus baca laporan, "Saldo kas mushola hari ini, Nol" Ngono terus je, ndes. Malah kadang pakai minus barang owg! Wirang tenan!

Rasanya pengin bunuh diri, tapi diri siapa yang mau dibunuh? Mau nyemplung kali, kaline asat. Nyemplung sumur ya percuma, wong untuk mandi saja sulit kok dicemplungi!

Apa lagi yang mengendala kalau bukan masalah dana. Dompet anggota KKN sudah lelah dibanting-banting, tapi gak juga bunting, apalagi beranak. Iya saja, wong isinya cuma segitu-gitunya. Mau narik iuran dari warga ya mustahal. Wong untuk beli thiwul saja belum tentu ada, kok disuruh urunan (iyuran)...

"Kan sudah ngirim proposal ke PO (perusahaan otobus) SU dan SM toh, ndes. Bagaimana hasilnya?" tanya Kordes, seperempat eh, setengah menginterogasi.

"Betul. Bahkan saya dan pak Polo sudah ke garasi PO-nya di Jatisrono. Bukannya ngasih duit, mereka malah menunjukkan sekarung proposal permintaan dana. Ada 116 bundel, semua dari mahasiswa KKN se Wonogiri," jawabku.

"Waduuhh! Mereka bilang apa ke kita?" kejar Ranti.

"Jika dipenuhi semua secara urut nomor, maka giliran Desa Dawungan untuk mendapatkan dana adalah pada tahun 2012. Gitu kata mereka."


"Waaa, 2012... wis duwe putu no awake dhewe, (sudah punya cucu dong kita) ndes!" tempelak Retno sambil terkekeh.

Pinter juga ya cara ngelesnya PO itu. Bisa dicontoh nih..

Kerana menemui jalan buntu, terpaksa para gondes memutar otak lebih keras. Fokusnya bagaimana cara mendapatkan uang untuk beli semen, keramik, dan kawan-kawan sepertokoannya.

"Bagaimana kalau bikin Turnamen Ceki Terbuka Sarmin Cup? Hasil kemenangannya untuk bangun mushola!" usul Widi.

"Setuju. Tapi sebelumnya ada tugas besar buat dirimu, ndes!" cetus Juni.

"Apa itu?"

"Latihan mengeraskan badan dan kepala."

"Lha, kok gitu?"

"Sudah jelas menurut Bang Rhoma judi itu haram, dilarang oleh agama. Lha, kok hasil judi mau dipakai untuk membangun Masjid? Ya siap-siap saja kamu dipentungi orang banyak!"

"Wooo.. batalion saja kalau begitu!" ujar Widi gentar.

"Bagaimana kalau bikin bazar? Jual sembako. Yang di Jatiroto kemarin katanya dapat untung Rp100 ribu!" usul Ranti.

Cukup menarik sih. Tapi saat membayangkan betapa beratnya memikul barang-barang yang mau dijual dari Cangkring ke Dawungan, semua angkat tangan dan kaki sekaligus!

"Kita sedang KKN, ndes, bukan kursus fitness. Jangan sampai kita pulang, Dosen kita pangling dengan betis kita yang pating pethekol!" gerutu Setyo geli.

Jiahaha... baiklah!

READ MORE;
Misteri Nusantara
Novel Collection
Novel @Horror, Mystery, Ghost, Fantasy & Romance



Sedang puyeng memikirkan jalan keluar, cling.. tiba-tiba Juni tampil dengan idea cemerlangnya.

"Solusinya ada di pentol... Semua warga kan punya jambu mete. Suruh saja semua urunan pentol seikhlasnya. Setelah terkumpul, jual. Uangnya untuk beli material."

"Siip. Tumben cerdas kamu, Jun?" komentarku kagum.

"Kayaknya ini berkat minum anggur cap Tiga Putri Dewi.."

"Hah! Kata Ranti sudah dikasihkan sapi?"

"Hehe.. aku sempat save as, dikiiiiitt.. banget! Ranti yang ngasih.." 

"Jindul ik! Hooh ta, Ran? Wah, skandal mafia glegek itu namanya!"


Ranti hanya mesem sambil garuk-garuk kepala.

Jadilah pagi itu kami berlima, plus Mas Mugi, jadi penarik premi asurantol, asuransi iuran pentol. Promo kami, dengan sekali menghibahkan pentol untuk mushola sebagai premi, maka pahalanya akan terus mengalir hingga akhir zaman.

Wah, jiaaan.. ternyata promo kami disambut dengan gegap-gempita oleh warga. Entah kerana takut melihat bedilnya Mas Mugi yang nyrongat, atau memang hati warga sudah tergerak untuk nyumbang, semua menyisihkan pentolnya dengan sukarela. 

Ada yang nyumbang sak raup (satu tangkupan tangan), sak beruk (satu takaran dari batok kelapa), ada yang satu besek, bahkan ada yang satu bakul penuh! Para Kadus rata-rata satu kantung terigu (gandum). Pak Polo sendiri menyumbangkan seluruh hasil panen pentol kebunnya bulan itu! Hebat.

Saat ditimbang, total pentol yang kami dapat 167 kilogram basah dan 111 kilogram kering. Jika dijual di pasar Jatisrono, total bisa menghasilkan uang Rp150.050. Jumlah yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan mushola yang sempat telantar.

Alhamdulillah, Ya Allah... 

Saat sedang bersukacita merayakan keberhasikan asurantol dengan minum kopi bersama, Retno tiba-tiba muncul dari kamar sambil menggendong sesuatu.

"Kawan-kawan, dengan ini saya menghibahkan pentol sebanyak 10 kilo. Semoga bermanfaat..," ujarnya sambil menjatuhkan kantung terigu yang mbentoyot ke meja.

Kami semua terpana..

"Wah, kamu dapat pentol sebanyak itu dari mana, Nok?" tanya Widi.

"Ada deh..."

"Jangan bikin kami pingsan karena penasaran nih..," goda Setyo.

"He he.. dari Mas A***."


"Naaahh! Sudah takbedhek sakdurungnya! Putra Pak Kadus itu ngglibeeeet terus di Posko KKN, pasti ada yang ditaksir. Eh, tahu-tahu sudah ngasih tanda jadi ke Retno, hi hi hi...," ujar Widi.

"Tanda jadi.. enak aja! Memangnya nebas padi!" sungut Retno.

"Tapi romantis tenan, ndes. Cinta Berbalas Pentol. Suit.. suiitt... Bisa jadi judul film ini," ledekku.

Retno cuma tersipu.

"Ranti tidak nyumbang sekalian?" celetuk Pak Polo.

"Gak, pak. Lha yang mendekati saya ahli tenggeng semua. Mosok saya suruh nyumbang ciu?" 

"Bwa ha ha! Bejamu Ran!" tempelak Retno.

"Gini aja, deh.. Besok pas finishing mushola, saya masakkan menu yang istimewa!" ujar Ranti.

"Waah, josss!" seru kami beramai-ramai.

"Ini cewek-cewek sudah nyumbang semua. Ngomong-ngomong yang cowok mau nyumbang apa, nih!" cetus Pak Polo tiba-tiba.

Cep! Sekonyong-konyong ruangan jadi sunyi, seperti orong-orong keinjek. Kami para cowok, termasuk Mas Mugi, cuma berpandang-pandangan satu sama lain.

Wah, iya ya.. Mosok cuma urun tenaga, kan gak ACI namanya. Urun pentol, pentolnya siapa? Mau urun duit, ya gak gableg. Wong mendekati akhir KKN ini, ibarat hewan, kantong kami disembelih pun sudah gak keluar darahnya.

Merasa pertanyaanya keliru, Pak Polo segera mengambil alih situasi untuk memecah kecanggungan.

"Gini saja.. di kebun belakang kan pentol masih banyak. Bagaimana kalau besok sehari penuh, mas-mas memetik pentol saja. Hasilnya gabungkan, lalu sumbangkan semua untuk mushola."

"Setujuuu!" jawab kami aklamasi.

Plooong! Ya Allah.. slamet.. slamet... Sungguh mulia hatimu Dik Polo, telah menyelamatkan muka kami dari kebakaran.

Walhasil, esok paginya kami berebut cepat men-download pentol. Gak cuma memunguti yang jatuh, tapi juga berloncatan dari dahan ke dahan. Persis kawan kami yang di Gembiraloka, wis..

"Untung Charles Darwin sudah wafat ya..," kata Juni.

"Memang apa hubungan metik pentol dengan Bapak Evolusi itu?" tanya Widi penasaran.

"Kalau masih hidup dia pasti bingung melihat kita, kok ada monyet metik monyet!"

"Ah, sialan lu, Ndro!" potong Widi disambung ngakak together.

"Tapi saya masih penasaran, mengapa kok orang Dawungan menyebut biji jambu mete dengan pentol?" celetuk Setyo.

"Kerana... besar! Kalau kecil sebutannya lain!" serobot Widi.

"Apa itu?"

"Pen.. tul..."

"Pakai u?"

"Iya. Kamu tahu, jarum yang kecil namanya apa? Jarum pentul, kan!"


Bwa ha ha...! Terpaksa kami sudahi percakapan yang vivere-pericoloso alias nyerempet-nyerempet bahaya itu.

Anyway, jam 14.00 urusan perpentolan selesai. Setelah dikupas dan ditimbang, hasil kerja para "monyet" dapat 20 kilogram kacang mete basah senilai Rp8.000. Itu belum termasuk dua kilogram yang akan kami simpan buat camilan kerja bakti di mushola besok.

Ternyata program asurantol kami berjalan melebihi ekspektasi. Dana masih sisa banyak, cukup untuk menutup kekurangan biaya pembuatan Tugu Batas Desa dan anggaran perpisahan.

Bangga, haru, campur jadi satu. Tapi yang paling penting, setidaknya saya sudah tidak icin lagi kalau rapat. Biar icin ikut pakdhe Hery Prast. Saya cukup menggondes saja! Ha ha ha!

Siang itu para gondes sedang sibuk mengecat mushola, ketika seorang lelaki berseragam biru dengan logo PO SU mendatangi Setyo dengan wajah cerah.

"Mas Kordes, saya diminta menyampaikan amplop ini oleh manajemen, sekalian survei lokasi," kata lelaki yang name-tag-nya SS itu.

Woaaahh... sepertinya hilal sumbangan mulai nampak nih! Hebat juga kejutannya. Padahal kemarin bilang mau ngasih dana tahun 2012?

Dengan antusias Setyo mengantar pak SS mengelilingi mushola, sambil menjelaskan ukuran teknis bangunan. Pak SS manggut-manggut, lalu pamit terburu-buru.

Begitu si tamu pamit, dengan berdebar-debar kami merobek amplop tebal warna coklat itu. Ternyata isinya.. proposal kami sendiri! Ditambah selembar surat berisi ucapan terimakasih dan permohonan maaf kerana belum bisa membantu!

Jindul ik.. ngono thok wae lo nganggo survei!

Telooo.. telooo! 
[hsz] 

To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya;
  Misteri Nusantara  

Courtesy and Adaptation of Articles by, Nursodik Gunarjo
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

VIDEO:

TRUESTORY! PERJANJIAN IBLIS RITUAL PESUGIHAN NENEK MOI KORBANKAN ANAK & PERAWAT || #FinalPart,


No comments