MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 23)



<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 23)">

MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading[Chapter 2 Part 23)

WAITING FOR GAMA

TANGISMU TAWAKU

Suara rintihan itu terdengar lagi. Kadang jelas, kadang menghilang.
 Seperti suara perempuan yang lagi nestapa dibalur duka.

Arahnya jelas dari sumur-perigi. Sesaat kemudian, pindah ke belakang dapur. Balik lagi ke sumur. Kayak setrika saja, mondar- mandir ...

Saya mendengar rintihan itu setahun lalu, saat masih berpredikat "New Gondeser". Awalnya saya fikir suara musang bulan, yang suka nangis kalau sedang kekenyangan.

Maklum, Tegalkuniran itu miniatur suaka margasatwa. Gremetan (binatang melata) apa saja masih ada. Tapi setelah saya cek-ricek, info selebriti dan kabar-kabari, jelas bukan. Yang ini lebih mengiris telinga.

Saat itu, setahu saya "dia" hanya keluar di malam Anggara Kasih (Selasa Kliwon) yang hujan gerimis. Di luar itu, jarang muncul. Bahkan di malam Anggara Kasih pun, kalau tidak hujan gerimis ya,  aman-aman saja.

Tapi ini, malam Minggu kok nangis juga? Masak di alam lelembut ada juga jomblowati yang mingseg-mingseg nangis darah gara-gara batal diapeli calon yayangnya?

Tapi suara rintihan itu tetap mengganggu. Aktiviti saya mendengarkan tangga lagu-lagu radio PTPN Rasitania jadi tak khusuk.

Masak lagu "Apanya Dong"-nya Euis Darliah yang groovy habis, disenggaki ,senggukan, "Hiiikks ... hiiiks ..." Kan ora wangun (gak pantas), Ndess!

Tak mau nge-jam session saya dengan Telesonic 2 Band kesayangan terganggu, saya memutuskan mencari suara itu.

Biasanya gampang kok, nyetopnya. Tinggal diteriaki, "Brisik!" gitu saja sudah cep-klakep, diam seketika, seperti Emak-emak ngobrol kedatangan penagih hutang!

Dengan mengendap-endap, saya menuju ke arah sumur. Suara itu datangnya seperti dari palang kerekan timba. Benar saja, ternyata ada sesosok perempuan berbaju putih duduk ongkang-ongkang di sana. Tak jelas wajahnya, tapi dua kakinya menjuntai ke lubang sumur.

Ini pasti sosok yang dilihat Meyek dulu. Sosok yang membuat pesawat Meyek terguyur PPO!

Hadeh, tapi kok bahaya betul posisinya. Nek (kalau) kecemplung piye jal, kan bisa mati? Eh, memang sudah mati, ding! Tak tahu lagi kalau dulu matinya her, sehingga ingin remidi dengan mati dua kali ...

Mungkin dia kura-kura dalam perahu, atau memang beneran tak melihat kedatangan saya. Terus saja ia merintih meratapi nasibnya yang entah kenapa.

Wah, kudu ditegur ini, biar tak keterusan sakit wuyungnya.
Baru saja mulut saya monyong siap melepas kata, tiba-tiba pundak saya terasa dicolek dari belakang.

Siiirrrrr! Seketika darah saya berdesir kencang. Tengkuk saya terasa menggelembung sebesar gardu. Bulu kuduk saya njegrak seperti duri kaktus!

Saat saya menoleh, hampir saja saya berteriak. Sesosok Nenek tua yang wajahnya berlipat-lipat seperti sprei tak disetrika, berdiri tepat di belakang saya.

Hadeuuhhhh ... ternyata Eyange! Ia memberi isyarat agar saya menyingkir.

Dengan cekatan-pantas Eyange menyebarkan semacam serbuk dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya mengobat- abitkan sapu gerang sambil bibirnya ndremimil.

"Dhemit, jin, setan, aja ngganggu putuku! Minggat! Minggat! Minggata sing adoh. Bali mring alam kalanggengan atas kersane Allah!"


Wehh, doa apa pula itu? Sungguh baru kali ini saya mendengar doa semacam itu.

Tapi khasiatnya sungguh nyata. Sosok tubuh putih itu langsung meloncat dari palang sumur sambil berteriak panjang. Setelah itu menghilang.

"Kasihan ...," ujar Eyange lirih.
"Kenapa kasihan, Yang?"
"Dia nangis terus kerana pasangannya hilang. Dia sedih, sehingga mau bunuh diri. Tapi jangan didekati. Kerana dia tidak sungkan-sungkan menyeret orang yang ada di dekatnya agar ikut mati."

"Walaahh ... segitunya?"
"Iya. Itulah sebabnya Mas Gun saya kejar kerana saya takut terjadi sesuatu."


Mendengar penjelasan Eyange, saya tiba-tiba jadi mengkirig sungguhan. Padahal seumur-umur saya tidak pernah takut berlebihan pada lelembut. Ternyata berani tanpa ilmu bisa fatal akibatnya!

"Ngomong-ngomong, apa betul itu tadi arwah penasaran, Eyang?"
"Bukan, lah. Itu bangsa halus. Kalau bukan jin, ya setan yang memba-memba (menyerupai sesuatu atau seseorang). Arwah mana bisa jahat seperti itu,"
jelas Eyange.

Lumayan lah, dapat kuliah satu semester tentang dunia perdhemitan, straight from the throat of the horse alias langsung dari gurunya.

"Tadi, gadis yang mau nyemplung sumur cakep nggak, Yang?"
"Woooh... cakep banget, kayak widodari (bidadari). Tapi babar pisan ora pas, yen mbok pek bojo! (tidak pas diperistri)"


"Memangnya, kenapa?"
"Ora isa meteng! (gak bisa hamil)"
Bwahahaha...Nasihat yang jitu tenan yen iki, Ndess!

"Tapi Mas Gun ke depan harus hati-hati. Gara-gara ruang semedi yang merupakan markas mereka sampeyan obrak-abrik dulu, sekarang penghuninya bubrah tersebar ke mana-mana."

Waduuh ... kok jadi sebegitu ya, dampaknya? Padahal saya hanya melaksanakan arahan Ibu kos?"


Menurut Eyange, satu di antaranya yang ganas adalah yang merasuki kucing candramawa yang mati kemarin. Ada kecenderungan kucing trance itu akan menyerang siapa saja, khususnya yang rajin beribadah.

"Sejak dulu kucing hitam itu sudah ditempeli makhluk, tapi makhluk biasa yang suka bermain-main. Sedangkan yang nempeli akhir-akhir ini bisa mengancam nyawa. Jadi, ya terpaksa Eyang musnahkan."


Woohh ... nguweri! Dan peringatan Eyange agar saya hati-hati itu benar adanya. Pagi itu ketika saya sedang membetulkan daun pintu kamar mandi, tiba-tiba martil (tukul/hammer) yang saya letakkan di lubang rooster sekonyong-konyong "terbang" dan nyaris menghantam kepala saya.

Secara fisika, jelas tidak mungkin martil jatuh mendatar kerana arah gaya gravitasi selalu ke bawah. Tapi secara metafisika, ya bisa-bisa saja terjadi.

Jangankan martil, becak saja bisa temangsang di cabang pohon beringin. Gek sapa sing nguncalake, coba? Dan dari hari ke hari ada saja kisah musykil yang menimpa para Gondes.

Tidak semua menyeramkan, sih. Ada juga yang membikin ngakak-ketawa  meskipun tetap bikin merinding. Salah satunya yang dialami si Jes.

"Sempakku (cel4na dalam) sing tak isis (diangin-anginkan) di jemuran kamar tiba-tiba bergerak ngalor-ngidul," lapor Jes.
"Waduh, trus?"
"Ya, tak (aku) biarin saja. Mbalah cepet kering!" jawab Jes sambil ngekek-ngekek mrinding.


"Kemarin sore saya mandi. Sudah sampo-an dan sabunan, rambut dan muka sudah penuh busa, lha kok gayungnya hilang. Saya gragapi tidak ketemu. Edan tenan!!"
cerita Meyek.

Mendengar ceritanya demumukan mencari gayung sambil mengucek-ucek mata yang kepedasan, tawa kami meledak tak tertahankan.

"Sik...sik...sik ... tertawamu kok mengandung algonol begitu!"
celetuk Meyek sambil memandang kami berempat. Kami hanya bisa tekekeh sampai lemes. Kerana ... yang sesungguhnya menggeser gayung pakai gantholan adalah ... Mitro....haaa haaa koncyol!!

Baca juga; MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 22)


SER ... DEG!

Tidak di kampus, gak di kos-kosan, mahasiswa kreatif selalu muncul. Ada yang kreatif sungguhan, ada pula yang kereaktif alias aktif kerana kekereannya.
Salah satunya adalah Jes. Ia sekonyong-konyong koder menemukan strategi bisnis yang tak terduga: 'mengetikkan skripsi orang'.

Tarifnya lumayan bikin ngiler, Rp50 per lembar. Tentu dengan mesin ketik manual merk Brother, Olivetti, Royal, atawa Olympia yang bunyinya tik tik tik...ser deg ser deg itu!

Sebenarnya saat itu sudah ada komputer generasi AT atau XT yang masih pakai disket 5,5 inch dua biji: disket program dan disket data. Perangkat lunaknya pakai nenek-buyutnya MS Word yang namanya Chi Writer dan Word Star.

Tapi, di Solo yang punya komputer semacam itu bisa dihitung dengan kuping, saking langkanya.
Awalnya, Jes bermain solo karier dengan menjadi "the one and only typist in SKK".

Saya tahu, biar duitnya semua masuk ke kantong dia. Belakangan, seiring naiknya permintaan, jenthik Jes bengkak-bengkak sebesar pisang mas, lantaran kebanyakan nunul-tekan tuts mestik (mesin ketik) yang ternyata tak selembut tuts piano.

"Kapokmu kapan! Makanya kalau ada rezeki bagi-bagi!"
sindir Meyek.
"Ya wis, mulai besok semua Gondeser bantu ngetik, ya!" sahut Jes sambil membalut ruas-ruas jarinya dengan Salonpas.

"Tapi mesin ketiknya kan, cuma satu. Mosok dikroyok lima? Kamu kebagian konsonan. Aku vokal. Gundul tanda baca. Meyek spasi. Tekek nyekeli (pegang)  kertase. Begitukah?" timpal Mitro.

Jes menepuk jidat sambil tertawa.
"Wah, iya ya ... Ya udah, besok aku carikan jalan keluarnya," janji Jes.
"Kalau gak ketemu, bagaimana?"
"Ya ... cari jalan masuknya!"
tukasnya cuek.

Ganti para Gondeser yang menepuk jidat! Jalan masuk? Jindul ik ...

Tapi, bukan Jes namanya, kalau gak nemu trik. Entah bagaimana ceritanya, siang itu ada orang datang mengusung empat buah mesin ketik besar-besar merk Olympia dan Brother ke kos-kosan.

"Weh, dapat 'jalan masuk' dari mana ini?"
tanya saya takjub.
"Kerjasama dengan servis mestik Warsito Pucangsawit. Sewa sehari Rp100," jawab Jes bangga. Tak pakai lama, suara tak-tik-tuk sudah memenuhi kos Tegalkuniran.

Semua sibuk menuntaskan order yang menumpuk. Dikuping dari jauh, suaranya kaya snoozing tembakan di film seri Battlestar Galactica yang lagi booming di TVRI.

Cuma, yang ini lebih berisik. Saking berisiknya, sampai-sampai Bu Sri menyempatkan diri menengok tiap kamar anak gondesnya.
Tapi setelah melihat kertas kwarto berlembar-lembar, karbon dan tip-exx berserak di lantai, ia cuma berkomentar dengan nada penuh dukungan.

"Wah, sudah pada mulai ngetik skripsi ya, Mas? Padahal baru semester empat. Hebat!" kata Bu Sri dengan wajah kagum level 7.

"Betul, Buuu!"
jawab kami kompak. Tak nipu, kan? Nyatanya kami memang sedang ngetik skripsi beneran. Ya untungnya si Ibu tak nanya, skripsinya siapa? Hihihi ...

Di saat Jes panen rupiah, Mitro ternyata punya idea  yang tak kalah cemerlang: membuka jasa konsultasi skripsi secara pribadi.

Kalau ada yang ambil ketikan, ia akan memberi usulan mana yang harus diperbaiki, ditambah, dan atau dikurangi. Weh, kalah dosen pembimbing, yen ngene iki!

Anehnya, banyak mahasiswa (sebuah PTS di Solo) yang mengikuti sarannya, meski setiap lembar ia mengutip beaya tambahan Rp10. Pinter bener dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan!

Tak mau kalah, saya pun memanfaatkan mesin ketik yang nganggur di dini hari itu untuk mengetik cerita pendek, puisi, opini, artikel, hingga novel. Hasilnya saya kirim ke pelbagai media massa. Alhamdulillah, ada saja yang dimuat.

Honornya sangat lumayan. Untuk cerpen, opini, dan artikel Rp25.00. Bahkan kalau novel/novelet bisa Rp100.000....
Wow! Sayang saya belum pernah nembus yang terakhir ini.

Berhenti lagi besok saya kirimkan nombor 24-nya ya Nda...Tunggu.
[hsz] 
To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya, Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara  

Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Rep, Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

No comments