MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 41]
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 3 Part 41]
Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para SahabatWAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
[Chapter 3 Part 41]
SELEGENJE, Jandesquad yang mbois
FORTUNA MEDIA - Hampir semua orang bisa bicara bilingual: 'bahasa Ibunda dan bahasa nasional/kebangsaan'.Tapi khusus memasuki republik j*ncukers, (maksudnya gelaran komuniti/publik Kota Surabaya/Jatim) selain harus faham vocab/vocabolary misuh (antagonistic) alakadarnya, juga harus tahu bahasa khas Daerah Jawa Timur (Jatim) yang sering bikin "selegenje" alias gagal faham.
Saya sudah menguasai tiga level bahasa Jawa: ngoko, krama dan krama inggil. Namun itu saja tidak cukup untuk bekal menjadi rakyat arek Surabaya (Jatim) secara kaffah.
"Koen gak isa misuh dan gak paham bahasa Etanan, ya gak bisa dilantik jadi arek Surabaya!" kata Fadil.
"Enek ujiane tah?" (Ada ujiannya kah?)
"Saben dina, ndhik Sar Turi. Coba-en omonga sik buanter ndhik kana. Lek jik dipisuhi wong sak pasar, artinya awakmu belum lulus!"
He he.. tentu Fadil guyon. Ia hanya ingin menekankan bahwa bagi warga Surabaya, misuh dan penguasaan grammar lokal/tempatan adalah mandatori, bukan opsional.
"Soal misuh, konon secara etimologis berasal dari kata miss you. Lidah kita saja yang ketebalan, sehingga melafazkannya menjadi miss youuuh! Dari situ luluh menjadi misyuh, dan akhirnya misuh," terang Fadil.
"I misyuh, Dil, Markodil! Bwa ha ha.. Etimologi cap apa itu!" kataku geli.
#VideoViral, TERKINI PEN4NGKAPAN WARGA WADAS PURWOREJO JAWA TENGAH #WadasMelawan,
Kalau bahasa Etanan, sampai saat ini pun saya masih suka selegenje dengan beberapa kosa kata yang pengucapannya sama tapi artinya berbeda. Menurut ilmu bahasa, itu namanya 'false cognates'.
Kata 'nggawe' misalnya, menurut gondeser artinya 'membuat', tapi menurut j*ncuker artinya 'memakai'. Kisruh kan?
"Awakmu nggawe klambi tah kaos?" kata Silikon suatu hari.
"Aku.. gak nggawe. Nganggo sing wis ana ae (pakai yang sudah ada saja)," jawabku.
"Lhaah.. gak nggawe, wuda lak-an (kan telanjang)?" kejarnya.
"Ya gak lah.. tetep klamben (pakai baju)!"
"Lha iya, nggawe klambi!" eyelnya.
"Gaak! Nganggo!"
"Sakarepmu, rek! Cik uangele omong ambek pemain Kethoprak (suka-suka kau lah. Sulit amat bicara sama pemain Kethoprak)!"
Ha ha ha.. padahal setali tiga uang, 'nggawe' sama dengan 'nganggo', yang artinya 'memakai'!
Demikian pula 'mari', di Daerah Jawa tengah (Jateng) artinya 'sembuh', tapi di Jatim artinya 'sudah'.
"Wis mari tah?" tanya Pak Bas saat saya habis ngetik naskah.
"Saya sehat wal afiat kok, pak!"
"Maksud'e.. iku naskah'e wis mari?"
Saya terdiam. Memangnya naskah bisa sakit?
Untunglah Pak Bas segera menjelaskan bahwa 'mari' itu artinya 'sudah clear'.
Anehnya, wong Etanan kalau menyebut sembuh dari sakit itu 'waras'. Padahal kalau di Jateng, 'waras" itu 'sembuh dari gila'.😁
Makanya saya cemberut berat, waktu hari kedua habis masuk angin kawan-kawan PS menyambut dengan pertanyaan, "Wis waras tah?"
Huuft! Padhakna gendheng wae?
Tapi yang paling epik adalah 'iwak'. Di daerah gondes artinya 'ikan' atau 'daging'. Sementara di daerah j*ncuker, kata itu punya arti yang sama sekali berbeda.
"Iwake entek, onok-e iwak kecap!" kata Bu Salam saat saya pesan sarapan.
"Ya, wis gak papa, Bu. Lapar nih. Iwak kecap juga masuk," ujarku.
Tak lama sarapan pun terhidang. Tapi kok cuma nasi dioser-oseri kecap di atasnya?
"Iwake endi?" tanyaku.
"Lha iku.. iwak kecap!"
"Aku ngerti iki kecap, tapi iwake endi?"
"Ade, kak.. ya comak kecap nekah (gak ada, mas.. ya cuma kecap itu)!"
Setelah mikir lama, saya baru faham, ternyata iwak artinya sama dengan lauk! Jadi jangan heran jika di Surabaya ada iwak bandeng, iwak ayam, iwak daging, iwak tahu, iwak tempe, iwak sayur, iwak krupuk, dan itu tadi.. iwak kecap!
Meski anggota redaksi dan karyawan berasal dari berbagai suku, ras dan agama, dan sering selegenje satu sama lain, tapi semua bekerja kompak.
Para reporter pagi-pagi sudah ngacir memburu berita. Pulang jam 13.00 lanjut ngetik dengan mestik(mesin type) manual. Hasil ketikan diberikan ke redaktur untuk diperiksa.
Selain ngedit tulisan reporter, redaktur juga memilih naskah kiriman pembaca yang akan dimasukkan ke rubrik yang menjadi tanggungjawabnya.
Saya sendiri menangani rubrik Sastra-Budaya, yang di dalamnya ada: Cerita Cekak, Alaming Lelembut, Cerita Rakyat, Cerita Sambung, Geguritan, Padhalangan, dan Apa Tumon.
"Naskahmu ada di gudang. Di sana ada 10 karung, tinggal dipilih saja!" kata Pak Mochtar.
Karung? Gak salah dengar nih?
Tapi setelah saya cek di gudang, saya ndomblong. Memang 10 karung beneran, gak campur tepung kanji! Cerkak dan Alaming Lelembut masing-masing dua karung. Sementara naskah untuk rubrik yang lain ada enam karung!
Waduuhh! Akehe (banyaknya) sak waladzolin ngene, bagaimana cara menyeleksinya? Masak dibaca satu-satu, kan ya rembes matanya!
"Itu sudah di-ranking oleh Prof Suripan Sadihutomo, tinggal ambil yang paling atas!" kata Pak Bas saat melihat saya kebingungan.
Alhamdulillaaahh.. jadi tugas saya tinggal mengoreksi tata tulis dan susunan kalimat agar lebih mak-nyus.. Slameet.. slameet!
Setelah diperiksa ulang dan di-ACC oleh "red-pel" (redaksi-pelaksana/editor-eksekutif),naskah kemudian dimasukkan ke nampan dan didorong ke meja setting untuk diketik. Itulah menu PS yang sudah diracik oleh Pak Bas. Tinggal masaknya!
Masaknya ya dengan diketik. Jangan fikir ngetiknya pakai komputer gambar jendela atau apel krowak. Belum ada ndess! Ngetiknya pakai IBM Setter, mesin ketik elektrik. Googling wae dengan kata kunci "mesin IBM setter". Dijamin generasi nunduk akan ngowoh ngelihatnya. Antique dan unique!
Output mesin ini adalah tulisan yang di-print di atas 'kertas kalkir' (tracing paper/kertas tekap) dalam bentuk kolom-kolom selebar 6,9 cm. Satu cerkak alias cerita cekak yang notabene pendek saja, panjang kolomnya bisa mencapai 1,8 meter. Jadinya ya... cerwer alias cerita nglawer juga!
Jika satu halaman, rata-rata panjang naskahnya 80 cm saja, maka panjang kalkir yang diperlukan untuk satu edisi PS adalah 4.160 cm atau 41,6 meter! Cukup untuk mbungkus mummi kiye, ndes!😄
Nah, kolom-kolom itulah yang kemudian ditata-letak secara terbalik di atas plastik mika. Menempelkannya dengan potongan plaster bening, dipadukan (dimontase) dengan foto atau ilustrasi yang dicuci-cetak di atas film seluloid, menjadi halaman majalah utuh. Satu plastik mika, memuat empat halaman.
Jika mahu ngedit, gampang, tinggal potong saja ekor artikelnya pakai gunting. Makanya, pada zaman itu, infornasi penting selalu diletakkan di muka. Yang remeh-temeh di belakang. Itu maksudnya agar jika dipotong, artikelnya tidak kehilangan makna.
Oya, untuk bikin judul, biasanya memakai huruf gosok merk Rugos atau Letran. Ini tugasnya Silikon. Digosok satu per satu, huruf demi huruf, pakai potelot bujel. Sambil mengikuti irama dang-dut. Syahdu tenan, ndess!
Mika yang sudah siap kemudian ditempel di plat cetak dan disinari dengan lampu ultraviolet. Setelah itu dicuci dengan bahan kimia menjadi plat negatif. Baru kemudian plat itu ditempel di blanket mesin cetak dan dirotasikan. Hasil cetakannya adalah isi majalah yang sepenuhnya black and white.
Selesai? Hehe, belum ndes! Isi itu masih kudu (mesti) disatukan dengan sampul yang dicetak tersendiri dengan mesin cetak sheet. Dijahit dengan kawat/dawai, baru kemudian dipotong tiga sisinya, jadilah majalah siap edar.
Duuhh.. begitu susahnya membuat majalah saat itu!
Ada kisah lucu. Suatu hari Khamis, pas deadline, Sugeng si tukang lay-out mendadak sakit anyang-anyangen. Pak Ali kemudian memanggil Cak Kus Sunaryono (Pakne Novie), ilustrator PS.
"Kus, bisa lay-out? Kalau bisa, gantiin Sugeng!" perintah Pak Ali.
"Siaap. Bisa, pak!" jawab Pakne Novie mantap.
Dasar orangnya kemlinthi (?), dia main tempel saja tanpa tanya kiri-kanan. Tak tahunya setelah PS selesai dicetak, baru ketahuan kalau halamannya terbolak-balik tak karuan!
"Gimana sih, Kus? Kok bisa berantakan begini?" sungut Pak Ali dengan wajah memerah.
"Maaf, tadi saya lay-out-nya nomor halamannya saya urut. Gak tahunya kalau lipat 52 bolak-balik itu ada aturannya sendiri," jawabnya sambil garuk-garuk kepala.
Namanya sudah telanjur dicetak 15.000 ekseplar, PS yang bubrah itu tetap diedarkan. Walhasil, seminggu kemudian kantor redaksi ramai dihujani surat dan kartu pos protes dari empat penjuru angin! Anehnya, habis kejadian itu, oplah/tiras PS justru naik!
"Itu semua karena saya!" ujar Pakne Novie dengan gaya glewas-glewesnya.
Pak Ali tertawa, kemudian memanggil Pakne Novie dan mengulurkan dua lembar Rp50 ribuan gambar WR Soepratman.
"Ini bonus untuk kamu, Kus!"
Setelah mengucapkan terimakasih, Pakne Novie meletakkan lembaran wang itu di atas kepalanya, lalu berjalan pelan-pelan memutari ruang redaksi. Tak pelak, semua terbahak-bahak melihat tingkahnya.
Cak Bambang gregeten, maka ketika Pakne Novie lewat di depan mejanya, duit yang ada di kepala itu disambarnya. Si empunya duit oleng, buru-buru mengamankan Rupiah itu ke kantongnya.
"Enak aja! Iki bonusku, reek! Lah apa awakmu melok-melok umyek. Iri tah?!" semprot Pakne Novie.
Cak Bambang cuma menjep.
Siang harinya, semua terkejut ketika Cak Sarkawi datang mengirim 40 porsi mie godhog ke ruang redaksi. Semua karyawan di gedung Utara dan Selatan dapat bagian, termasuk Pak Ali.
"Heh, sapa iki sing pesen, kamu Kus?" tanya Pak Ali.
Cak Kus Sunaryono menggeleng,
"Pak Mocktar, Aryo, Donny, Gun?"
Semua menggeleng.
Berhubung tidak ada yang mau mengaku, ya diganyang saja. Tak sampai 15 menit, bakmi yang mongah-mongah pun amblas masuk perut.
Saat semua sudah ndrodos keringatnya karena kekenyangan, Cak Bambang tiba-tiba muncul. Dengan tergesa ia melahap mie jatahnya sampai habis. Rupanya ia telat gabung ke pesta perjamuan itu...
Setelah selesai makan, Cak Bambang mendekati Pakne Novie sambil melemparkan selembar sepuluh ribuan gambar Kartini.
"Dhuwik apa iki?" tanya Pakne Novie heran.
"Susuk," kata Cak Bambang sambil buru-buru pergi.
Pakne Novie kaget. Meraba sakunya. Mengeluarkan c v isinya. Begitu tahu lima puluh ribuannya tinggal satu, ia berteriak sekeras-kerasnya.
"Selegenjeee!! Tibake duitku sing gawe mbadh*g ki maeng!!" [hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara
Courtesy and Adaptation of Novels by, Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani VIDEO:
No comments
Post a Comment