MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 21)


<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt=MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 21)">

MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 21)

WAITING FOR GAMA 


Badhalaaa ... ternyata isinya ... kartu nama! Ora lucu tenan! Masak kartu nama (name cad) diamplopi! Wong Solo nyat kreatif tenan, Ndesss!!!

Tapi setidaknya keroncong telah membawa berkah: membuat Gondeser Tegalkuniran tidak keroncongan. Meski hanya untuk sementara waktu.

Maka setiap malam Jumat, saat yang lain menjadi jamaah yasinan Masjid Al Hikmah Kentingan, Saya justru ngembul di Majelis Kusumasahiddiyah.

Jujur, Saya merasa iri dengan kawan-kawan yang bisa aktif berbadah. Tapi para Gondes selalu membesarkan hati Saya tentang hal ini.

"Tenang, Ndes. Nanti saya pamitkan Pak Kyai bahwa dirimu juga sedang "jihad" mencarikan makan bagi kami-kami. Saya yakin Allah Ta'ala maha faham, betapa jerih payahmu telah membuat kami terhindar dari bahaya malnutrisi."

Wallahu a'lam. Yang pasti setiap Khamis pukul 23.00, wajah cerah para Gondes pasti sudah menyambut saya di portiran rumah-kos.

Sambutan yang penuh penghargaan tulus, polos, tidak dibuat-buat. Meski hanya dipicu kehadiran sebungkus kue.

"Bukan seberapa banyak dan seberapa baik yang kita berikan, tapi seberapa ikhlas kita memberikannya. Bukankah begitu, jamaah?" kata Ustadz Meyek Al Bojonaghori yang baru sembuh total dari napza jenis CJK.

Kerana kata itu sering diucapkan berulang-ulang, maka biasanya kami jawab bareng-bareng, "Bukaaaaaaann!"

Hahaha ... Tapi benar belaka bahwa makanan adalah sumber konflik utama sejak zaman Adam Hawa. Ada saja ganjalan yang muncul di luar intensitas ibadah: jengkelnya Maido. Ya, tukang hik yang pernah saya ingatkan agar tidak selalu marah itu suatu malam mengajukan komplain.

"Gara-gara kamu, setiap Khamis teman-temanmu absen wedangan. Daganganku dadi ora payu! Mbok cekoki apa ta sakjane?!" protesnya.

Saya cuma diam. Bukan kerana tak mahu jawab, tapi kerana malas bertengkar dengan orang yang lebih tua. Bagaimanapun, Mbah Maido punya kontribusi optimal terhadap tumbuh kembang saya.

"Kalau mahu bikin bangkrut orang, jangan begitu caranya. Terus terang saja bilang ke saya biar kita selesaikan secara jantan!" tantangnya.

Saya tatap mata Mbah Maido, lalu dengan perlahan saya tanggapi omelannya,

"Maaf, Mbah. Saya betina!" Mendengar jawaban saya, tiba-tiba tawa Mbah Maido meledak keras. Ia ngakak berkepanjangan sampai terjongkok-jongkok, hampir pipis di tempat.

Bajinduulll!! Guendheeeng!! Edaaan!!! Lucu tenan kowe! Anak'e sapa kowe, Leee!!??"
teriaknya sambil menyalami saya erat-erat.

Baca juga; MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 20)


 KETIBAN AWU ANGET

Cik Yin menggedor-gedor pintu kamar saya dengan keras. Saat Saya buka, tampak Istri Om Taruno itu berkacak pinggang di depan pintu, didampingi Bu' Sri.

Wajahnya sangar. Bulu ketiaknya berkibar-kibar dari balik baju lekton (keleke katon = keteknya-ketiak kelihatan) yang dia pakai.

Tapi, sumpah, bukan bulurah (bulu warna merah) itu yang bikin galfok. Melainkan wajahnya yang tampak murka level 9. Galfok lagi, Mengapa kemarahan itu ditumpahkan ke saya? Apa urusannya?

"Hei, Mas! Kalau jual barang yang bener! Gara-gara akik yang Mas jual ke Suami saya, dia sekarang bawaannya malas melulu. Kerjaan menumpuk tidak tergarap. Pokoknya sampeyan harus bertanggung jawab!" cerocosnya seperti sen@p4ng mesin.

Wuiik ... rupanya si Putih bintik merah sudah makan korban lagi. Tapi kalau saya dituduh jadi biang keroknya, ya salah alamat. Apalagi tiba-tiba bicara soal jual-beli? Wah, ketiban(ditimpa) awu (abu) anget(panas) ini namanyaTidak ikut perkaranya, tapi dapat masalahnya ...

"Maaf, Cik, memangnya berapa wang yang Om bayarkan ke saya? Kok saya lupa, ya!"
jawab saya sekenanya. Kura-kura dalam perahu.

"Kan Rp100 ribu. Itu banyak sekali! Sudah gitu, barangnya bawa sial!"

"Oh, baik. Tolong kembalikan akiknya ke saya. Soal duit, gampang deh nanti. Saya bayar nanti, plus ganti ruginya."

Cik Yin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Wuaah...ternyata barang sialan itu sudah ia bawa sekalian meski tanpa cincinnya! Sip inih ...

Tanpa buang waktu, Saya ajak Cik Yin ke bengkel Om Taruno, eh... yang notabene adalah rumah dia sendiri. Tak lupa kawan-kawan saya ajak sebagai saksi.

Om Taruno pucat pasi melihat saya datang bawa pasukan lengkap sak bergada. Tapi... sesungguhnya saya tahu setahu-tahunya, bahwa ia jiper kaliber super pada Emak baju lekton yang ada di samping saya. Hihihi ...

"Nih, Pah.. Papah omong sendiri dengan yang punya akik!" bentak Cik Yin.
"Eh, e ... anu... itu akik owe kembalikan ke lu olang. Maaf, Mah, itu batu owe ambil, bukan beli.. Hayya ... owe kilaf... Maaf juga Mas Gun ...," ujar si Om terbata-bata sambil memegang dada, hormat ala Shaolin.

"Hah, jadi tak beli, ya!? Lalu wang Rp100 ribu kemarin Papah kasih ke siapa?! Jangan bohong, ya!!" teriak Cik Yin sambil menarik kuping Suaminya.

Si Om cuma mengaduh-aduh minta ampun. Waduuhh... kalau tidak dicegah, bakal ada perang Manchu Jilid III ini.

Maka sebelum korban berjatuhan, Saya putuskan untuk menengahi.
"Sudah, gini saja. Saya tak akan tuntut Om Taruno, masalah kita anggap selesai. Tapi tolong, Om harus bantu saya memusnahkan batu keparat ini."

"Hayyaa...setuju. Tapi owe takut lhaa,...Kalau penunggunya yang baju putih ngamuk, bagaimana?"


Wah, makin trawaca sekarang. Kalimat "baju putih" yang diucapkan Om Taruno sudah menjelaskan segalanya. Rupanya si Lelembut itu sudah menampakkan diri di depan tuan barunya.

"Ya kalau ngamuk, itu risiko Om, lah. Salah sendiri ngambil punya orang tanpa permisi! Tapi kalau Om tak mau, ya terpaksa akan saya pidanakan dengan pasal pencurian!"
gertak saya.

Om Taruno memegang jidat(kening) sambil menoleh ke Istrinya. Cik Yin mengangguk, isyarat agar eksekusi dilanjutkan.

"Sudah, sekarang ambil las-welding karbit, tang(playa) tempa, sama palu besar!" titah saya.

Tanpa banyak tanya, Om Taruno menyiapkan peralatan yang saya minta. Dengan segera, akik saya jepit dengan tang tempa. "Bakar dengan las karbit!"

Si Om menutul ujung las dengan korek, lalu menyentrongkannya ke batu putih bercak merah itu. Semenit kemudian, batu itu mulai menghitam, disusul bau sangit meruap ke angkasa. Bukan bau batu, bukan bau logam, tapi sangit(hangit) wering seperti bau daging terbakar!

Setelah lima menit, Saya kasih isyarat agar si Om melaksanakan prosesi terakhir. Ia mengambil palu besar. Mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu menghantamkannya ke akik itu dengan kekuatan penuh.

Bersamaan dengan bunyi praak!! dan batu hancur berkeping-keping, tiba-tiba terdengar suara jerit panjang yang dalam bergema ke seluruh ruangan bengkel.

Berbareng(bersamaan) dengan itu, tubuh Om Taruno terhempas ke lantai. Badannya mengejang. Pupil matanya berbalik memutih.

Waduuh ... dia kesurupan! Melihat kejadian itu, Cik Yin bukannya menolong, tapi malah lari lintang-pukang masuk rumah diikuti nggendringnya para Gondeser ke arah rumah-kos.

Sungguh tak ACI namanya meninggalkan sohib seiring yang sedang kerepotan! Langsung saja saya ingat peristiwa waktu Bu' In semaput di Ruang Administrasi dulu. Mungkin perlu aksi yang sama.

Kebetulan kantung kemih saya perlu dikosongkan, nih ... Untungnya, sebelum saya ambil tindakan, Om Taruno sudah kriyip-kriyip bangun dan tersadar. Ia duduk sambil memeluk lutut, lalu menghela nafas panjang.

"Om barusan pingsan.." kata saya mengingatkan.
"Iya...owe takut...takut sekali"
"Memang lelembut begitu, suka bikin masalah ..." "Hayya... owe bukan takut ke lelembut laa ..."
"Laaah ... lalu takut ke siapa?"
"Istli owe ..."


Jinduull! Saya tepok jidat keras-keras. Tak fikir si Om kesurupan si baju putih ki mau. Tibake-rupanya kesambet si baju lekton!!

Tapi harus saya akui, sejak peristiwa destruksi itu perasaan saya jadi lebih tenang. Kekhawatiran diganggu makhluk dari dimensi lain seperti yang diwanti-wanti Mbah Sholeh mulai sirna.

Namun bukan berarti urusan saya dengan dunia halus di Tegalkuniran selesai.

Adalah Eyange, Ibunya Ibu kos, yang baru datang dari Kalibening, yang mendadak waktu Maghrib itu bikin geger seantero rumah-kos. Ia keluar dari pintu dapur sambil menenteng sesuatu yang menggiriskan: bangkai kucing hitam di tangan kiri dan arit besar di tangan kanan, yang keduanya bersimbah d@rah segar!

"Mas Gun... tulung bangkai kucing ini dirukti-(rukyah).Dimandikan, dibungkus kafan, dan dikubur seperti layaknya mengubur jasad manusia," pesannya.

Aku mengangguk, meski tak bisa lepas dari rasa bergidik. Penasaran, tapi tak berani menanyakan ke Eyang lebih dalam, apa yang sesungguhnya telah terjadi.

Saya tahu itu kucing candramawa yang menubruk saya saat awal masuk kos dulu. Tapi mengapa ia sampai dibunuh?

Mengherankan lagi, Apa iya di usia Eyang yang sudah mendekati 90 tahun masih mampu mengayunkan arit (p4rang sabit) sampai membuat kepala kucing itu terbelah?

Benarkah beliau yang melakukan? Kemungkinan besarnya, kecil!
Terpaksalah malam itu saya beli mori, memandikan, mengkafani, dan menguburkan si kucing nahas itu.

Sempat bingung juga mahu dikubur di mana, tapi Eyange bilang,
"Di mana saja boleh. Wong dulu, sini ini kuburan semua kok!" katanya.

Woalah, layak... Kedatangan Eyange yang menurut rencana mahu tinggal di Tegalkuniran hingga sak sedane, ternyata membuat gundah para Gondes.

"Eyange sering omong sendiri, seperti menghardik sesuatu suruh pergi!"
lapor Mitro.

"Kadang menyabeti sudut-sudut ruangan dengan sapu penebah, sambil musuh-misuh!"
sambung Meyek.

"Kemarin, waktu mahu wudhu' juga berteriak-teriak, minggat(pergi)! minggat! gitu," tambah Jes.

"Saat itu ada siapa di situ?" tanya saya.
"Cuma aku."
"Naah.. jadi jelas kan siapa yang disuruh minggat!"
"Hajindul kowe, Ndess!!"


Kami pun tertawa. Meski dalam batin tetap penuh syak-wasangka, pasti ada yang tidak beres di rumah ini!
Oke Ndessss, besok kita teruskan sambungan di nombor 22.[hsz] 
To be Continued...

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya, Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara  

Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Rep, Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

No comments