MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 19)

<img src="fazryan87.blogspot.com.jpg" alt="MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 19)">


MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 19)

WAITING FOR GAMA  

Iya kalau dulu, kawan-kawan Kuncen bisa diajak patungan-(share/kongsi). Mereka urun-unload duit, saya yang urun patungnya. Lha sekarang, Gondeser Tegalkuniran semua para ahli jual beli: jual celana, beli nasi...Diajak patungan, ya mungkin keluar patunge thok.

Sebenarnya, hasil pengetatan anggaran tiga bulan kemarin sudah terkumpul Rp9.800. Tapi hampir tiap hari ada saja yang nembung butuh (lagi ada keperluan). Si Meyek salah satunya, yang pagi itu sowan ke kamar saya dengan wajah sekusut kain jumputan.

"Kenapa dhapurmu bruwet begitu, Ndes? Semangat dong!"
sapa saya.
"Orang tidak akan termotivasi untuk memenuhi keperluan yang lebih tinggi seperti aktualisasi diri, jika keperluan dasarnya tidak terpenuhi. Begitu menurut teori Hierarki Kebutuhan Maslow," plodrahnya.

"Kebutuhan dasar itu apa?" tanya saya yang memang ketinggalan sepur (lokomotif-keretapi) di perkuliahan.
"Makan, misalnya ..."
"Oh ... lalu?"
 "Enek sewu, (Ada seribu) Ndes? Durung-belum sarapan, je!"
 Hancuriitt!! Mahu ngutang wae kok omongane muuteeeerr...kayak gasingan. Pakai bawa-bawa Maslow segala!

"Lha, kok sampai hutang? Kan kamu pengusaha undian "ndhog cecak terbesar se-Asia Tenggara?"
tanya saya heran.
"Tragedi itu terjadi gara-gara dua hal. Pertama, daganganku dirampas polisi kerana dianggap mengandungi muatan perjud*an.
Tuduhannya serius: memasyarakatkan jvdi dan menjvdikan masyarakat!"


"Hadeuuhh...lha yang kedua kerana apa?"
tanyaku
"Duitku habis untuk beli kupon CJK yang sampai sekarang dibiarkan beroperasi, meskipun jelas itu jvdi!"

Mendengar penjelasan Meyek, kok kepala saya jadi puyeng sendiri.
 Lha, terus sebenarnya siapa yang berjvdi kalau begitu?

Sudah,entahlah! Anak ini kalau lagi lapar ya gitu, ngomongnya seperti signal radio SW kemakan cuaca: kemrosok keras tapi sama sekali tak jelas!

"Ini ada duit nyaris Rp15.000, tapi mahu saya guna beli formulir Sipenmaru Rp25.000. Dus, masih kurang Rp10.200."

"Tapi sepengetahuanku, belum pernah ada laporan orang mati kerana tak beli formulir. Kalau orang mati kerana tak makan, banyak, Ndes,"
sambungnya dengan pasang wajah nyremimih.

Mantap benar pledoinya! Maka tak pakai lama, selembar wang gambar Sisingamangaraja terpaksa keluar dari dompet saya. Timbang ana yang mati kaliren, malah repot nanti!

Jindul ik...neraca debit-kredit cash scontro saya jadi njomplang lagi.
 Mahu cari pinjaman dari mana lagi untuk beli formulir?

Si Jes, pasca menang tiga nombor dulu itu, duitnya bisa dipastikan masih banyak. Tapi dari pada pinjam ke dia, saya mending putus cinta, deh. Kerana hasilnya sama saja: sama-sama sakit hati!

Si Mitro, jelas sedang krisis moneter, malah plus hiper inflasi dan devaluasi. Si Tekek, juga sedang tak baik ekonomi makronya pasca kredit macetnya ditagih Pak Wardi (kerana ditagih Bu Wardi tidak mempan). Hihihi ...

Harapan saya satu-satunya tinggal Ibu kos. Semoga beliau mahu memberi kredit ringan tanpa agunan-cagaran. Cuma belakangan ini raut muka si Ibu sedang keruh melulu. Harus pakai strategi, nih...

Maka siang itu ketika Bu Sri sedang menyapu halaman, saya samperin.
"Bu', biar saya saja yang menyapu," ujar saya sambil meminta sapu lidi yang ia pegang.
Bu' Sri memandang saya dengan tatapan setajam pis@au silet.
Lalu bicara dengan nada tinggi.
"Kalau mahu pinjam wang, bilang saja terus terang!"

"Hah! Kok Ibu tahu kalau saya mahu pinjam wang?"
seru saya kaget.

"Saya itu jadi Ibu kos sudah 19 tahun. Jadi sudah hafal betul, wajah dan kelakuan anak kos perlu wang itu seperti apa,"
celetuknya dingin.

"Seperti apa, Bu'?"
"Ya, seperti Mas'e tadi. Pura-pura bantu nyapu sambil pasang wajah manis. Jiaaann...Tak kreatif blass! Masak dari zaman saya bukak rumah-kos abad 19, sampai sekarang kok modusnya begitu terus!"

Saya cuma njuwowos mendengar omelan Bu' Sri.
Begitu, ya? Tapi saya belum menyerah.
"Jadi, saya tetap boleh mbantu menyapu kan, Bu'?"

"Menyapu boleh. Hutang tidak!"
jawabnya ketus. Sayur bayam, sayur lodeh. Wassalam deh ...

Sebenarnya, wang saya yang beredar di bursa efek, maksud saya efek kelaparan kawan-kawan Tegalkuniran lumayan banyak. Kalau saya hitung, lebih dari cukup untuk menambal kekurangan beli formulir. Kenapa tidak ini saja yang ditagih?

Sayangnya, saya seperti ais krim yang meleleh kerana kelamaan tidak dimakan, jika sudah berhadapan dengan para Gondes yang tak lain adalah" kawan sak kruntelan"(kawan se-penderitaan).

Jangankan menagih hutang, melihat mata mereka yang cowong-cowong kerana malnutrisi saja rasanya ingin nangis sendiri. Hikkss ...

Dan dua hari kemudian saya benar-benar larut dalam kepedihan, saat loket-kounter penjualan formulir Sipenmaru di Kopma tutup beneran. Sedih kerana saya tak pernah bisa membeli kertas idaman itu. Gagal sudah mimpi saya untuk mendampingi Oki merebut kursi UGM(University Gajah Mada).

Yang menyesakkan dada, wang saya sebenarnya kurang sedikit, kurang Rp8.000 saja. Tapi begitulah. Jangankan delapan ribu, kurang satu sen juga tetap kurang namanya.

"Tak jadi ndaftar UGM, kan?"
celetuk Ibu kos saat kebetulan nyuci bersebelahan di sumur.

"Tidak, Bu'. Kehabisan formulir," jawab saya. Dalam batin saya heran tak kepalang, kok update banget ya Ibu ini dengan info terbaru para kosternya?

"Alhamdulillah kalau tak jadi ikut Sipenmaru lagi!"
sambungnya.
"Lhoh... kenapa kok Ibu malah bersyukur?" kejar saya heran.
"Kan, sampeyan-kamu  jadi tetap kos di sini. Saya ayem-aman kalau Mas di sini, kerana rumah saya jadi tenang. Para jin-lelembut tak berani ganggu."

"Sik, toh Bu...jadi itu alasan Ibu tidak mahu ngasih hutangan ke saya, kerana tahu mahu saya pakai untuk beli formulir?"
Bu' Sri mengangguk lemah, memandang saya dengan pandangan bersalah, lalu menunduk sambil terus nguceki-membilas pakaian di ember-baldi  besar sampai busanya terbang ke mana-mana.

Sungguh saya tak tahu harus sedih atau bahagia saat itu. Sedih kerana tidak jadi menjajal remidi ujian masuk kampus idola. Bahagia kerana ternyata di sini keberadaan saya diperlukan orang lain.

"Ndes(bro)... Aku ada perlu. Ke sini sebentar!"
tiba-tiba suara Tekek memecah kecanggungan suasana.

"Enek (ada) apa?"
"Isih duwe-punya duwit, ora? Aku pinjam Rp15 ewu saja. 1 x 24 jam saya kembalikan. Emergency ini,"
ujarnya serius.
"Sik... arep-mahu nggo-untuk apa?"
 "Pokok'e pinjemi dulu. Ceritanya nanti!"

Seluruh wang yang ada di dompet saya serahkan ke Tekek. Dengan sigap ia merebut wang itu, lalu berlari ke arah jalan dengan wajah gugup.

READ MORE; MISTERI KUNCEN, Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 18)


TERCITA CAPE-CAPEMU

“Kejarlah asa sejauh mungkin, niscaya akan tercita cape-capemu.” Begitulah saya mengejar Gama, yang ternyata harus berakhir dengan lelah ha(ya)ti.

Tapi itu semua tak mampu menghapus hasrat di jiwa yang dari sononya sudah tertulis "UGM" dengan huruf kapital.
Seperti rotasi bumi yang tak kenal istirahat, hidup pun harus senantiasa berpolah: bergerak, berdinamika.

Malam akan berganti, cuaca berubah. Pun nasib akan cakra manggilingan. Tidak UGM sekarang, ya besok. Tidak bisa besok, ya suk emben. Ora isa suk emben, ya jarke wae. Nantik sampai tua, harapan sendiri... hahaha!

Sik, sik, sik(tunggu)... kok,  malah berpuisi koyo wong mabuk topi miring ki, piye?

Cerita tentang mbah baju putih mana kelanjutannya? Batu akik yang mencelat di bengkel Om Taruno akhirnya gimana?
Terus si Tekek yang bawa lari duit lima belas ribu gimana?


Duh Allah, paringana mbois. Ternyata sulit betul jadi pribadi bergelimang request. Tak terkecuali saya yang pontang-panting direquest-penggemar W4G (Waiting for GAMA)...

Baiklah... menunggu memang membosankan. Waktu 1 x 24 jam hanya sak liyepan. Tapi jadi panjaaang dan laamaaa... jika dipakai untuk menunggu duit balik ke celengan(tabungan).

Celakanya, yang ditunggu adalah Tekek, orang yang tak pernah faham arti kata komitmen, baik konotatif mahupun denotatif.

"Jindul ik...ini sudah 24 jam lewat 14 menit, tapi tak ada tanda-tanda si Tekek bakal menampakkan batang hidungnya," gerutu saya.

"Lha, kemarin pamitnya mahu ke mana?" tanya Jes sambil ikut khawatir. "Mena kutahu... bilangnya cuma emergency, kok," jawab saya.

Emergency itu luas, Ndes! Bisa nabrak orang, keluarga sakit, sumurnya luber, kucingnya beranak, ikan koinya batuk, itu juga termasuk emergency!" cerocosnya.

"Tul! Mendengarkan mulutmu yang bunyi terus kayak toa (speaker) orang sunatan, juga emergency!" tukas saya kesal.

Jes terbahak... Saat kesal itulah, tiba-tiba Tekek muncul.
Hhh...kebiasaan. Dasar pendekar tanpa bayangan! Lakon satu ini selalu muncul di injury time, dan selalu dengan wajah tanpa dosa.

Anehnya, kali ini ia membawa sebuah map-fail warna merah. "Untung orangnya bisa kukejar. Nyaris. Nih, ini untukmu, Ndul!" celetuknya tanpa harus kutanya.

Saat map saya buka, tiba-tiba mata saya terbelalak. Ternyata isinya formulir Sipenmaru tahun 1988 yang sangat saya dambakan!

"Sori, Ndes. Adanya tinggal IPA. IPC-nya sudah habis."
"Ini kamu beli di mana?" tanya saya masih tak percaya.
 "Di ... Solo!" jawabnya


"Iya, tahu! Kita kan memang tinggal di Solo, masak di kebun binatang!" cerewet Jes.

"Sudahlah...di mana dan bagaimana kubeli, tak penting. Yang penting kawan kita ini anaknya nanti tak ngeces, kerana ngidamnya ingin formulir Sipenmaru bisa kelakon!" khotbah Tekek sambil ketawa-ketiwi.

"Trus...wangnya kurang, dong?" kejar saya khawatir.
 "Tidak kok. Pas."
 "Kok bisa?"

"Aku kan masih punya hutang Rp11.500 padamu. Tak apa-apa kan kalau kubayar pakai formulir?"

Oh, my God! Dengan sukacita kupeluk si Gondes Tekek penuh rasa haru. Tapi yang bersangkutan malah menjauh sambil memekik,
"Jiaah! Memangnya aku hombreng, apa!?" Huahaha ... kok déjà vu, ya? Kayaknya dulu pernah dengar makian itu. Tapi, di mana? Tanpa buang waktu, formulir saya isi selengkap-lengkapnya.

Tunggu menèh yo, sesuk diterusaké nang nombor 20...sabar...bar!

Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya, Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara  
[hsz] To be Continued...

Courtesy and Adaptation of articles by Nursodik Gunarjo
Rep, Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.com

No comments