Era Trump-Kim, Korea Selatan Khawatir Tersingkirkan

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="Era Trump-Kim, Korea Selatan Khawatir Tersingkirkan">
     Donald Trump (kiri) dan Kim Jong-un 'bromance' pada 2019 / Foto: AFP/Getty Images/B.Smialowsk                                             

Era Trump-Kim, Korea Selatan Khawatir Tersingkirkan

"Korea Selatan tengah mengamati kemungkinan kembalinya "bromance" antara Presiden AS Donald Trump dengan Kim Jong Un, diktator Korea Utara. Dengan itu kebijakan tidak akan mempedulikan kepentingan Seoul lagi."

   FORTUNA MEDIA --  Ada kekhawatiran yang berkembang di Korea Selatan bahwa Presiden Amerika Syarikat (AS) Donald Trump akan cenderung untuk mengabaikan Seoul dan mendekat ke pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, seperti yang ia lakukan selama pemerintahan pertamanya.

Contohnya pada June 2018, setelah bertukar 27 "surat cinta", Trump dan Kim secara tak terduga mengumumkan penangguhan penuh latihan militer gabungan AS-Korea Selatan selama pertemuan puncak di Singapura.

"Ia menulis surat-surat yang indah untuk saya, dan itu surat-surat yang hebat," kata Trump pada September 2018. "Kami saling jatuh cinta."

Tak lama setelah dilantik untuk masa jabatan kedua, Trump mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Fox News pada 23 Januari 2025 bahwa ia bersedia menghubungi Kim, dengan mengatakan, mereka berdua "akrab," sambil menyebut diktator Korea Utara itu sebagai "orang pintar."

Baca juga: AI China DeepSeek Menantang Dominasi Nvidia

   Setelah wawancara Trump di Fox News, Lee Jae-Myung, Ketua parti oposisi Partai Demokrat, mengatakan, pembicaraan bilateral AS-Korea Utara tanpa masukan dari Seoul dapat membahayakan Korea Selatan.

"Jika dialog AS-Korea Utara dilanjutkan, ada kemungkinan besar Republik Korea Selatan akan dikesampingkan dan ini merupakan masalah yang signifikan," kata Lee Jae-Myung dalam konferensi pers di Seoul.

"Kita tidak dapat membuat asumsi tergesa-gesa tentang bagaimana pemerintahan baru AS akan menangani masalah nuklir Korea Utara," tambahnya.

      Korea Utara protes disebut negara 'nakal'

   Hubungan AS-Korea Utara tetap tegang setelah Trump mengakhiri jabatan pertamanya, dengan Pyongyang memperluas pengembangan misilnya, termasuk klaim uji coba hipersonik. Selain itu, Korea Utara juga mendekati Presiden Rusia Vladimir Putin dengan menyediakan senjata dan tenaga kerja untuk membantu mengobarkan perang Moskow di Ukraine.

Setelah Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyebut Korea Utara sebagai negara "nakal" dalam sebuah wawancara televisi baru-baru ini, Kementerian Luar Negeri Korea Utara menanggapi dengan mengatakan bahwa "pernyataan kasar dan tidak masuk akal itu menunjukkan secara langsung pandangan yang salah dari pemerintahan baru AS" terhadap Korea Utara. Menlu Korea juga menambahkan bahwa pernyataan ini tidak akan membantu memajukan kepentingan AS.

Pada bulan Disember, Kim mengatakan Pyongyang akan menerapkan kebijakan anti-AS "terberat" sebelum Trump menjabat.

Korea Selatan mengatakan selalu menyambut baik upaya diplomatik. Namun negara itu juga bersikeras untuk diikutsertakan dalam perundingan yang menyangkut kepentingannya. 

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="Era Trump-Kim, Korea Selatan Khawatir Tersingkirkan">
Kim dan Trump disebut-sebut telah bertukar lebih dari 20 surat selama masa jabatan pertama Trump / Foto: KNS/AP/dpa/picture alliance

   "Saya tidak berfikir ada yang menentang dialog konstruktif atau upaya diplomatik ke Korea Utara dan negara-negara lain," kata Lim Eun-jung, profesor madya studi internasional di University Nasional Kongju di Korea Selatan.

"Pada dasarnya, ketakutannya adalah Trump akan melakukan sesuatu, membuat janji kepada Kim tanpa memberi tahu sekutunya di kawasan itu," katanya kepada media DW.

Dia menambahkan, mantan Presiden AS Joe Biden bekerja sangat keras untuk meningkatkan pencegahan dan membangun kemitraan keamanan tiga arah di kawasan itu dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol dan mantan Perdana Menteri Japan Fumio Kishida.

"Kami khawatir Trump bersikap transaksional (transactional) dan semua kerja keras itu akan sia-sia," kata Lim Eun-jung.

Lim  Eun-jung menyebutkan, para analis khawatir dapat membuat kesepakatan dengan Korea Utara yang mencakupi penghapusan rudal (p3luru berpandu) jarak jauh Korea Utara, tapi tetap mempertahankan senjata jarak pendek yang dapat mengancam Korea Selatan.

Masalah di Korea Selatan semakin parah kerana kekosongan politik yang terjadi di Seoul sejak Presiden Yoon ditangkap setelah mengumumkan darurat militer yang berlaku sementara pada Disember 2024.

    Kebijakan luar negeri transaksional Trump

   Dan Pinkston, profesor hubungan internasional di UniversityTroy, Seoul, mengatakan Trump belum menyatakan tindakan yang jelas terhadap Korea Selatan. Namun, ia menambahkan, jelas Trump frustrasi selama masa jabatan pertamanya, kerana tidak punya waktu untuk memaksa Seoul membayar lebih untuk pasukan AS yang ditempatkan di Korea Selatan.

"Namun, memaksa sekutu untuk membayar lebih, tampaknya lebih penting daripada memastikan keamanan regional," kata Pinkston kepada DW. 

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="Era Trump-Kim, Korea Selatan Khawatir Tersingkirkan">
PBB jatuhkan sanksi terhadap Korea Utara sebagai hukuman program senjata nuklirnya. Dewan Keamanan PBB bahkan akan memperberat sanksi.

   "Kemitraan (Partnership/Perkongsian)  dan aliansinya bersifat transaksional dan jika dia bersedia menentang Kanada dan Meksiko dalam perdagangan, bagaimana dia bisa dipercaya untuk membantu Korea Selatan jika mereka memerlukannya di masa mendatang?" tanya Pinkston.

"Sikapnya adalah, sekutu Amerika sedang menipu dan dia harus menghentikannya."

Pinkston menambahkan, saat Trump memulai masa jabatan keduanya, Korea Selatan berusaha untuk menjauh dari sorotan.

"Mereka tampaknya berharap Trump terlalu fokus pada perang dagang dengan Kanada, Meksiko, dan China," katanya. "Korea Selatan berharap diabaikan selama mungkin, meskipun mereka tahu giliran mereka akan tiba."

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggeris dengan tambahan materi dari AP

Source; www.dw.com/id/korea-selatan
Editor;  
romymantovani

Follow me at;
twitter.com/romymantovani
facebook.com/helmyzainuddin
pinterest.com/hsyamz


No comments