KISAH SUFI, SANG KYAI [54]
Illustrasi Image |
KISAH SUFI, SANG KYAI [54]
- “Lalu solusinya bagaimana Mas Kyai…?” tanya Furqon.”
- “Ya solusinya, taubat, lalu kembali hidup secara wajar, hidup secara jalan yang diredhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala, kalau mahu diijabah do’anya, ya, mendekatkan diri pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, jangan malah melanggar dan meninggalkan-Nya. Percayalah segala amalan yang tidak Islam itu merugikan diri kita sendiri.” jelasku
FORTUNA MEDIA -- “Saya ingin tanya Mas Kyai…” tanya Zamrozi, temannya Furqon.
“Tanya apa?”
“Tanya soal mengirim Al-Fatihah, dan orang sering tawasul, apa itu tidak sama dengan apa yang dilakukan Furqon, meminta pada Jin, cuma bedanya itu orang yang sudah mati?” tanya Zamrozi.
“Itu sama sekali jauh beda. Ku contohkan saja, kita ini mahu pergi ke Masjid, menjalankan sholat Juma’at, kita naik motor untuk sampai ke Masjid, memakai sandal, memakai peci, memakai pakaian, juga memakai pengetahuan atau ilmu bagaimana cara sholat yang benar. Tak bisa kan sandal lengkap, pakaian lengkap, peci ada, tapi pas mahu sholat kita yang menghadap ke timur sendiri. Sementara orang lain menghadap ke barat, kerana kita tak tahu kalau sholat itu menghadap ke barat, kerana ilmu cara sholat itu tak sampai ke kita, kerana tak adanya yang menyampaikan ke kita, ini bisa dibenarkan tidak, misal kita menghadap ke timur, jelas malah adu kepala dengan orang lain, ya, nggak?”
“Iya, tak benar. Lalu apa hubungannya dengan kirim bacaan Al-Fatihah,”
“Ya sebentar ku jelaskan pelan-pelan.” kataku.
“Kita pergi ke Masjid naik motor itu kira-kira motornya bayar tidak sama pabriknya, kita bayar tak sama dealernya? Tentu bayar kan, artinya kita tidak lantas minta motor lalu dikasih begitu saja….”
“Iya kita bayar..” jawab Zamrozi.
“Juga kita pakai pakaian, kita bayar kan sama pabrik pakaian atau penjual pakaian?” tanyaku.
“Iya kita bayar.”
“Juga kita pakai sarung kita membayar pada penjual sarung, juga pada pabriknya, juga kita memakai sandal, kita bayar pada penjual sandal dan pabriknya, membayar pabriknya itu langsung atau tidak langsung, itu kita bayar, apalagi ilmu yang kita peroleh. Ilmu cara jum’atan yang benar, yang sebenarnya adalah pokok dari tujuan orang pergi ke Masjid di hari juma’at, kenapa ku katakan pokok".
"Ya, coba aja di-tes, tanya orang yang pergi ke Masjid di hari juma’at itu mahu pergi kemana? Pasti semua akan menjawab mahu pergi sholat juma’at, bukan mahu memakai pakaian, atau sandal, atau sarung, berarti pergi ke sholat juma’at itu adalah pekerjaan pokok, sedang pakaian dan segala apa yang dipakai, cuma pendukung".
"Lha, yang jadi pendukung saja bayar, apalagi yang pokoknya, kita sholat juma’at juga tanpa ilmu yang kita tahu tentang sholat juma’at kan jadinya berabe (susah). Sholatnya bisa ada yang menghadap ke timur ada yang menghadap ke barat, utara, selatan".
"Nah, ilmu itu bisa sampai ke kita adalah melewati guru yang menyampaikan kebenaran dengan sebenar-benarnya, Islam sampai ke kita itu sampai dengan sebenar-benarnya sama dengan apa yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, itu kerana kejujuran dan ke-sadhiqan guru kita".
"Coba kalau gurunya pada pembohong, lalu ngawur menyampaikan ilmu. Apa di dalam Masjid akan ramai terjadi tawuran (bergaduh), kerana kiblatnya beda, dan shalatnya juga beda-beda. Jadinya shalat pakai cara masing-masing sesuai ilmu yang diterima. Apa tdak jadi ramai (ribut), kerana yang gurunya suka dangdutan, sholatnya isinya jadi jogetan melulu, dan kenyataannya, sholatnya, orang semasjid semua sama, menunjukkan kalau yang menyampaikan ilmu ke kita itu semua bertanggung jawab, dan ilmu sampai ke kita itu masih sama dengan ilmu yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, apa kita tidak berterimakasih? "Man lamyaskurinnasa, fahua lam uaskurillah", "Siapa tidak bersyukur pada manusia, maka berarti tidak bersyukur pada Allah", lha, kita itu kalau sama penjual pakaian, sepatu, sarung, peci, bayar pakai wang. Maka sama penyampai ilmu pada kita yang sudah meninggal kita syukurnya pakai apa? Mahu dikasih wang, mereka sudah meninggal, mahu dikasih roti, mereka sudah tak doyan roti, maka dikirimi bacaan surah Al-Fatihah, pahalanya kita kirim ke mereka, sebagai rasa terima kasih kepada mereka".
"Jadi kita bukan meminta pada mereka, agar kita bagaimana atau bagaimana. Kenyataannya kita terima atau tidak kita terima, ilmu kita itu lewat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan lewat para guru kita, kalau di Pulau Jawa ya, lewat para Ulama Wali Songo, kalau di tempat lain ya, lewat ulama’ lain, Itu kan kenyataan. Maka dinamakan wasilah, wasilah itu kan bahasa Arab. Namanya lantaran (kerana/because), sebab lantaran Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, ilmu, ayat Al-Qur’an itu sampai kepada kita".
"Makanya dikatakan kalau seseorang itu seandainya tak mahu mengakui Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan semua guru kita kalau ilmu itu sampai ke kita, kerana mereka. Jika seandainya orang itu berhak masuk Syurga sekalipun, maka dia tak akan tahu jalannya, atau sekalipun dia itu fasih dalam melafadzkan do’a, maka do’anya tak akan sampai ke Allah Ta'ala, artinya do’anya akan tertolak.” kataku.
“Ternyata seperti itu ya? Jadi bukan kita meminta pada mereka?” tanya Zamrozi.
“Tidak sama sekali, malah kita yang mendo’akan mereka, Ya, kayak baca sholawat, "Allahumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad", "Semoga rahmat selalu tercurah pada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam", kata semoga itu kan do’a, jadi jangan sampai dibolak balik makna dan maksudnya.”
“Ya…. Sekarang baru mengerti aku.”
“Lalu saya bagaimana Kyai?” tanya Furqon.
“Ya nanti ikut saja zikir aktif di thareqoh, sudah tak usah ikut aliran yang tak jelas, wong dalam thareqoh itu lengkap, mahu kaya, banyak harta, ya, minta saja sama Allah, lha, Allah, kan lebih kaya daripada Jin manapun.”
Kedua orang itupun pulang, dengan semangat baru. Esoknya Istriku cerita, “Abah, kemaren orang yang minta air, untuk kakek/atok yang sakit dan menjerit-jerit itu, kakeknya sekarang meninggal dunia.”
“Innalillahi wainna ilaihi rojiuun, semoga Allah Ta'ala mengampuni dosanya, dan menerima amal ibadahnya.”
“Kemarin katanya habis dikasih minum, langsung diam, diam saja, tak mengaduh-aduh lagi, baru kemudian malamnya meninggal.” jelas Husna.
______
Sore-sore Nanang sudah datang ke rumah, dengan wajah yang kelihatannya ada masalah. “Ada apa?” tanyaku.
“Saudaraku kena santet (santau), perutnya mengeras.” jawabnya.
“Ya, sudah bawa kesini saja, sekarang di mana?”
“Di rumah, ku bawa kesini ya…
“Ya bawa kesini.” jawabku. Lalu Nanang pulang, aku duduk di teras rumah menunggu Nanang mengambil saudaranya, kebetulan dua orang berboncengan sepeda motor datang dan berhenti tepat di depan rumahku.
“Maaf Mas, mahu mencari rumah Kyai Nur,…?” tanya yang bonceng padaku.
“Ya, kalau Nur, ya aku ini, tapi bukan Kyai…” jawabku.
“Tapi orang yang nyuruh kesini, bilangnya Kyai Nur…”
“Mungkin orang lain…” kataku.
“Soalnya aku bukan Kyai.” Pas ada orang belakang rumah lewat, seorang tukang kayu.
“Pak… numpang tanya, tahu rumahnya Kyai Nur tidak?” tanya yang boncengkan kepada orang yang lewat itu.
“Lha, yang sampean ajak bicara itu Kyai Nur…” jawab tukang kayu.
“Ooo terma kasih pak…” kata yang boncengin motor,
“Maaf Mas, kami agak ragu, soalnya Mas ini masih muda, lha, masak punya kepakaran yang macam-macam, menurut yang menyarankan kami kesini.” kata yang dibonceng motor yang lebih tua umurnya.
“Mari silahkan duduk di sini, ada keperluan apa sebenarnya?” tanyaku mempersilahkan mereka berdua duduk di teras rumah.
“Anu Mas, saudara kami kerasukan, dan tadi kami ada yang katakan, kami diminta ke sini untuk meminta air.” jelas yang lebih muda.
“Ooo gitu, ya kalau gitu tunggu sebentar.” kataku lalu masuk ke dalam, dan mengambil air mineral.
“Namanya siapa?” tanyaku.
“Romdona Mas…,”
“Bin siapa?”
“Bin Mujaid.” Air lalu ku tiup, lalu ku memberikan air mineral yang selesai ku tiup kepada mereka berdua,
“Nanti air ini diminumkan saja yang kerasukan, dan diusapkan ke wajahnya.” jelasku.
“Ya, kalau begitu terimakasih Mas, sekalian kami pamit dulu.”
“Monggo-mongo silahkan.” kataku. Pas Nanang datang membawa saudara perempuannya yang kena santet, kelihatannya sih, sehat-sehat saja, tak kelihatan sama sekali kalau ada penyakit di badannya.
“Ayo ke dalam saja.” kataku kerana tak enak dengan perempuan di depan teras rumah.
“Sakitnya bagaimana Mbak?” tanyaku kepada kakak perempuannya Nanang.
“Awalnya sakit biasa saja Mas, aku juga tidak mengira kalau aku akan disantet, ini di perutku, kayak ada lempengan besi, keras dan kayak papan, dan rasanya sakit sekali, sebenarnya sudah diobatkan kemana-mana. Malah pernah dikeluarkan ada beling (serpihan), silet dan jarum, tapi kok ya tidak sembuh.” jelas Khadijah, nama kakak perempuan Nanang,
“Walah, kalau aku ya, tidak bisa mengeluarkan yang kayak gitu Mbak… yang bisa mengeluarkan kayak gitu yang punya ilmu, la saya ini orang bodo, tidak punya kelebihan yang aneh-aneh, bisanya berdo’a.” kataku.
“Maaf coba ku do’akan ya… ini masih sakit perutnya?”
“Masih mas, sakit sekali…”
“Maaf…” ku arahkan tanganku ke perut Khadijah jarak 10 cm, lalu aku mulai berdo’a, setelah 3 menit berlalu, “Sekarang coba dipakai nafas pakai perut, masih sakit apa tidak..?” Khadijah pun bernafas pakai perutnya. “Masih sakit?” tanyaku.
Dia menggeleng, “Sudah tak ada rasa sakit Mas.”
“Coba diraba perutnya, masih kerasa ada lempengannya apa tidak?” Dia pun meraba perutnya, dan menekuk nekuk badannya. “Alhamdulillah sudah hilang Mas,” jawab Khadijah dengan wajah senang.
Aku lalu ke dalam, mengambil air putih dan ku bawa ke depan Khadijah, “Ini nanti air putih ini dipakai mandi di guyuran terakhir, orang disantet itu kalau diobati sembuh, Ya, kalau tidak dipagar pasti disantet lagi ya kena, makanya ini nanti dipakai mandi, InsyaAllah akan menjadi pagar.” jelasku.
“Iya Mas terima kasih…” jawab Khadijah.
Nanang mendekat, “Ada apa Nang…?” tanyaku.
“Kemarin di tempat sekolahku, ada kerasukan lagi, yang merasuk jin Islam, malah dibacakan surah Yasin, dan ayat kursi Jinnya tidak mahu keluar, aku pas keluar sekolah, sedang menjalankan tugas di luar sekolah, lalu dipanggil kembali ke kelas, dan akhirnya aku yang bisa mengeluarkan Jinnya..” jelas Nanang.
“Ya sudah, itu sudah baik.” kataku.
“Masalahnya bukan itu, masalahnya ada guru yang tak suka, dia sebelumnya sudah cerita ke orang-orang, kalau dia itu punya ilmu kesaktian macam-macam, Nah, pada saat aku tidak ada kan, dia ikut mencoba mengeluarkan Jinnya, sudah disembur pakai air, sudah dipencet jarinya yang kerasukan, dibanting, diapa-apakan tapi Jinnya tak keluar juga. Makanya dia malu, ya kerana malu itu, saat aku bisa mengeluarkan Jinnya, eeh, malah dia menuduhku bahwa yang merasuk itu Jin milikku. Makanya hanya aku yang bisa mengeluarkan, sebab sudah diseting seperti itu. Akhirnya aku kan, tidak terima dituduh seperti itu apalagi di depan orang banyak, kami jadi ramai (ribut), dia menantang-nantang, malah bilang siapa nanti yang lebih dulu masuk Syurga, lha, kok ya aneh, yang mati duluan juga belum tentu masuk syurga duluan… kok dia menantang-nantang kayak gitu kami sampai debat lama.”
“Kamu juga salah, tidak usah debat-debat segala, tidak usah banyak bicara yang tidak ada manfaatnya, segala sesuatu itu kan yang penting buktinya, kenyataannya, ya kalau bicara, anak SD juga bisa, harusnya kamu tinggal saja tidak usah dilayani.”
“Lha, wong saya kan panas, dituduh tanpa bukti, difitnah,”
“Ya kalau begitu kamu musti lebih giat lagi menata hatimu, kalau masih keseret pada hal-hal yang sia-sia, pada hal yang tak ada manfaatnya sama sekali, tong itu kalau kosong kan ya, keras bunyinya.”
“Ya, saya juga kan punya gengsi, martabat.”
“Gengsi (prestij/prestige) dan martabat yang bagaimana?”
“Begini lho Nang, manusia itu meyakinkan dirinya melalui dua cara, pertama dengan akal dan keduanya dengan hati. Bidang akal ialah ilmu dan liputan ilmu sangat luas, bermula dari pokok/pohon kepada dahan-dahan dan seterusnya kepada ranting-ranting. Setiap ranting ada ujungnya, yaitu penilaian, pemahaman, dan pengertian. Ilmu itu secara mendasar selalu sama pada perkara pokok, bertolak ansur pada cabangnya dan berselisih pada rantingnya atau penyelesaiannya".
"Jawaban kepada sesuatu masalah selalunya berubah-ubah menurut pendapat baru yang ditemui. Apa yang dianggap benar pada mulanya bisa jadi salah pada akhirnya. Oleh sebab sifat ilmu yang demikian orang awam yang berlarut-larut memperdebatkan pada sesuatu perkara bisa jadi mengalami kekeliruan kerana mengalami kekacauan fikiran dan keterbatasan pemahaman pada dirinya, di dunia ini kan banyak juga orang yang idiot, atau lemah akalnya".
"Salah satu perkara yang mudah mengganggu fikiran misal saja masalah takdir atau Qada' dan Qadar. Jika persoalan ini diperbahaskan hingga kepada yang halus-halus seseorang akan menemui kebuntuan kerana ilmu tidak mampu mengadakan jawaban yang konkrit. Qada' dan Qadar diimani dengan hati. Tugas ilmu ialah membuktikan kebenaran apa yang diimani. Jika ilmu bertindak menggoyangkan keimanan maka ilmu itu harus disekat dan hati dibawa kepada tunduk dengan iman akal fikiran ditutup dari membuat penilaian sendiri".
"Sehingga tercipta membimbing ke arah itu agar iman tidak dicampur dengan keraguan sebab tiada tercampuri oleh pendapat akal yang pada kenyataannya selalu terbatas. Makanya banyak orang yang mengatakan, ah, tak masuk akal, sekalipun tak masuk akal kan kenyataannya terjadi, seperti saudara perempuanmu ini yang kena santet sekalipun akal tak mahu menerima, kan kenyataannya sudah terjadi di depan mata, lalu aku mendo’akannya, juga kan tak masuk akal, jadi segala sesuatu itu tak harus masuk akal dulu baru terjadi".
"Dan selama manusia bersikukuh pada akalnya sendiri. Maka dia hanya berputar-putar pada hitung-hitungan yang kenyatannya sering meleset dari perkiraan. Mahu ke Jakarta, sudah disediakan wang sekian rupiah, eeeh, di jalan ternyata tak cukup, kerana ada kejadian-kejadian yang di luar perhitungan akal".
"Dan apapun yang tidak kita ketahui itu dinamakan ghaib. Juga hari esok yang belum kita ketahui itu dinamakan ghaib. Selama nafsu dan akal menjadi hijab, beriman kepada perkara ghaib dan menyerah diri secara menyeluruh tidak akan dicapai. Qada' dan Qadar termasuk dalam perkara ghaib. Perkara ghaib disaksikan dengan mata hati atau basirah. Mata hati tidak dapat memandang jika hati dibungkus oleh hijab nafsu. Nafsu adalah kegelapan, bukan kegelapan yang zahir tetapi kegelapan dalam keghaiban. Kegelapan nafsu itu menghijab dan menutupi sedangkan mata hati memerlukan cahaya ghaib untuk melihat perkara ghaib. Cahaya ghaib yang menerangi alam ghaib adalah cahaya roh kerana roh adalah urusan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Cahaya atau Nur hanya bersinar, apabila sesuatu itu ada perkaitan dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala".
“Jadi egomu, rasamu merasa disakiti dan merasa difitnah, itu hanya akan menutupi batinmu dari keterbukaan, bathinmu jadi tak terbuka, dan tidak mahu menerima, kalau segala sesuatu itu sebenarnya telah dalam perancangan Allah Ta'ala, Nur Allah yang melintasi hatimu tak akan meninggalkan jejak pemahaman jika hatimu masih diliputi rasa benci dendam, dan sibuk dengan hitung-hitungan".
"Coba kau angan-angan, jika kamu dituduh ini-itu, yang tidak kamu lakukan, kamu kemudian terseret oleh tuduhan itu, bukankah itu akan merugikan dirimu, seperti orang yang punya tanah, lalu dilempari kotoran orang lain, lalu balas melempar kotoran itu kembali pada orang yang melempar, ada yang bayar sekalipun menurutku itu bukan sesuatu yang pantas dilakukan, kerana hanya akan membuang waktumu sia-sia".
"Juga kerugian terbesar, hati akan dipenuhi limbah kebencian, yang jelas-jelas akan membuatmu tak tahan dengan keadaan itu, misalkan kamu bertemu dengan orang yang kamu benci itu, segala gerak gerikmu akan tak bebas, percayalah, kalau kamu masih mempertahankan keadaan seperti itu, sepuluh tahun kemudian kamu tak akan makin dekat dengan Allah Azza Wa Jalla, hanya akan menjadikanmu makin jauh saja, biarlah orang lain itu mengumbar (menebar) kebenciannya, kalau bisa kita itu menebar kasih sayang, agar kedamaian di dalam diri itu terpupuk, ketenangan dan redha pada keadaan akan menjadikan diri tenang dalam setiap langkah, sekalipun di sekitar kita banyak orang yang melakukan perbuatan tercela, setiap manusia itu menjalani takdirnya sendiri, jika diburukkan orang difitnah, bisa jadi itu jalan Allah Ta'ala mengurangi dosa kita yang menggunung.”
“Iya Mas…. saya mohon selalu dibimbing.”
“Sudah sana bawa kakakmu pulang….” kataku dan Nanang dan Khadijah pun mohon diri.
Pagi-pagi, orang yang kemarin datang minta air untuk mengobati yang kerasukan sudah datang. “Bagaimana, sudah sembuh?” tanyaku.
“Belum Mas, malah airnya tak ada efeknya sama sekali.” jawabnya.
“Lhoh, kok aneh…?” kataku hairan.
“Ya, tidak tahu Mas…” jawab mereka berdua.
“Ooo, ini yang saudaranya kerasukan di pabrik, lha, sudah mengandung masih kerasukan, jadi ngeri.” kata Kang Din yang kebetulan lewat.
“Lhoh, memangnya yang kerasukan perempuan? Lha, kok tidak bilang kalau perempuan, ku tanya bin nya siapa, jawab saja,”
“Iya perempuan, malah mengandung…” jawab Kang Din
“Oalah, bagaimana toh, ya jelas tdak ada efeknya, lha, wong airnya ku do’akan untuk mengobati lelaki yang bernama Romdona, Wah, khodamnya bingung itu pasti ubek-ubekan mencari mana lelaki yang bernama Romdona.”
“Lha, saya tidak tahu Mas, kalau seperti itu ada bedanya,” kata salah seorang yang meminta air.
“Ya jelas beda, kan lelaki sudah jelas beda sama perempuan, bodi tubuhnya saja kelihatan kalau tak sama, sudah nanti ku kasih air lagi, kalau minta obat itu yang jelas, jadi tidak kesalahan.”
“Ya, maaf Mas…”
Maka ku kasihkan air isian lagi, dan dibawa pulang, dan Alhamdulillah, langsung sembuh ketika dikasih air. [HSZ]
To be Continued.....
Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI
Editor; Helmy Network
Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media
#indonesia, #misterinusantara, #KisahKyaiLentik #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,
Follow me at;⭐
twitter.com/romymantovani
facebook.com/romyschneider
pinterest.com/helmynetwork
No comments
Post a Comment