KISAH SUFI, SANG KYAI [48]
KISAH SUFI, SANG KYAI [48]
Pada siri ke-47 Dikisahkan Sang Kyai diperintah menemui Sang Guru Kyai. Namun sayang, Kyai sedang sakit, sakit kali ini bukan asal sakit biasa, tapi sakit kerana disantet/disantau, keberadaan Kyai sangat dirahasiakan. Sehingga tak bisa setiap orang bisa dengan seenaknya menemui. Kyai memanggilku ke dalam ruangan pribadi yang disediakan untuknya, Aku duduk takzim mendengar uraiannya.
“Kyai sedang sakit Iyan…, kerana dikeroyok oleh banyak tukang santet seantero Indonesia, yang ada sembilan ratusan tukang santet lebih. Jika seandainya Kyai tolak. Maka sungguh Kyai tak enak sama Allah Ta'ala, baru diberi cobaan seperti ini, masak Kyai tak mahu, jadi semua santet Kyai terima, Kyai biarkan masuk ke tubuh, agar bisa menjadikan Kyai makin dekat dengan Allah Subahanhu Wa Ta'ala, sekarang tugasmu, juga tugas santri yang lain, untuk melindungi dan mengobati Kyai, memakai ilmu yang pernah Kyai berikan, sekaranglah sa’atnya menunjukkan ketaatan murid pada guru.” kata Kyai sambil duduk, dan sekali waktu salah seorang santri mengusap dengan tisu darah yang bercampur keringat yang keluar dari pori-porinya.
FORTUNA MEDIA -- “Ya Allah… abdi (hamba) minta diberi kekuatan untuk sabar ya Allah…” suara Kyai menahan sakit yang dideritanya. Terdengar berulang-ulang.
Sekali waktu pakaian dan sarung yang Kyai pakai harus ganti kerana sudah basah oleh keringat, dan keringat itu berbau kelabang dan kalajengking, dan kasur/tilam juga bawahnya diberi kertas surat kabar sebentar-sebentar diganti, kerana telah basah oleh keringat, sementara aku yang bagian menarik panas di tubuh Kyai, sebentar-sebentar
tanganku yang memerah kepanasan ku tempel ke
lantai untuk menetralisir panas dengan kekuatan
inti bumi. Jika aku lena sedikit, dan tertidur
dalam zikir, maka aku terjengkang, terhantam
kekuatan yang tak terlihat.
“Kyai…, biar saya memagar rumah ya…” kataku.
“Ya apapun yang kau anggap perlu dan bisa, ini
sudah menjadi tanggung jawab santri… aduuh…
ya Allah beri hamba kuat menjalani…” jawab
Kyai.
Aku pun beranjak, keluar dari kamar dan
menyiapkan pagaran.
Setelah selesai, maka pagar kerikil ku tanam di
setiap sudut rumah. Setelah ku tanam, suasana
agak mereda, tapi hanya untuk sehari dua hari,
begitu banyaknya yang menyantet, pagaranku
jebol, bahkan tembok luar rumah, terhantam
ambrol, sudah tiga tembok yang ambrol, mahu
dikatakan tak masuk akal, kenyataannya terjadi.
Kadang rumah kayak digoncang gempa, dan aku
terjengkang terhantam kekuatan yang tak
terlihat,
Sudah dua minggu aku mengobati Kyai, segala
daya upaya telah ku lakukan, tapi hasilnya tak
banyak, begitu banyak tukang santet yang harus
kami hadapi.
Sering ketika tidur, tubuhku terangkat
beberapa senti dari lantai, kerana tidur kami di
lantai, dan terhempas, semua santri sadar yang
dihadapi bukan main-main, ada yang menyerang
memakai santet, ada juga yang memakai hizib,
ada tukang santet dari Orang Dayak, Orang Badui, Pengamal Ilmu Leak dari Pulau Bali, dari Gunung Himalaya, juga Perguruan Santet seIndonesia, yang tak bisa ku
sebut Daerahnya. Padahal guru besarnya pernah
datang, dan minta maaf, tapi kadang ketakutan
mereka, kerana kami berseberangan dengan
mereka. Dan jika orang-orang yang menjalankan
ilmu hitam, maka dengan sendirinya kami akan
menjadi penghalang. Walau kami sama sekali
tiada maksud menghalangi sekalipun.
Sebenarnya secara dilihat dari apa yang kami
amalkan, maka tiada satupun yang berhubungan
dengan segala macam tetek bengek santet, kami
hanya menjalankan ibadah yang berusaha ikhlas,
menjalankan ibadah yang sesuai syari’at yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bahkan hanya menjalankan yang ada sanad menyambung pada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kerana kemurnian Aqidah itulah setiap amalan langsung keluar efeknya, langsung keluar sawabnya, bahkan orang-orang prewangan (yang memakai ilmu dengan bantuan jin) akan kepanasan jika berdekatan dengan kami, bahkan murid terendah dari Tareqat Qadiriyah Wa Naqshabandiyah.
Seperti pengaduan muridku di rumah, yang baru puasa 21 hari, dia punya saudara perempuan yang mengobati orang dengan bantuan Jin, jadi sebelum mengobati, Adiknya itu makan kembang (bunga) dan kemenyan, lalu bisa mengobati. Jika muridku itu main ke rumah saudarinya itu, saudarinya itu kepanasan, dan lari. Sampai muridku tak boleh ke rumahnya, kerana kepanasan.
Juga batu, atau keris, atau benda bertuah, jika dipegang orang lain, misal tahan cukur, atau tahan bacok/pakuk, orang lain diiris rambutnya tak akan putus, kerana Jin yang ada di benda yang dipegang. Tetapi jika ku pegang, aku dicukur rambutku, ya tetap putus, kerana Jin yang ada dibenda kabur, jadi benda sudah tak ada kekuatannya.
Apa Aku atau Kyaiku sakti? Ya, malah tidak sakti wong dibacok saja pegang benda bertuah tetap luka, berarti kan tak sakti. Tetapi kami lebih mengutamakan keikhlasan dan kebenaran amaliyah, kemurnian Aqidah, keutamaan Sanad Shohihnya amalan, yang kami terima dari guru-guru besar kami, seperti Tubagus Qodim Asnawi Caringin, Syeikh Asnawi, Syekih Nawawi Banten, Syekih Abdul Karim, Syeikh Tolkhah, dan Syeikh Ahmad Khotib Sambas, kerana murninya aqidah yang kami terima dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam , penyambungannya juga shohih atau kebenarannya bisa dipertanggung- jawabkan. Maka dengan sendirinya amaliyah yang kami jalankan sangat menghambat dan menghalangi segala ilmu hitam. Walau kami hanya melulu ibadah, dan ibadah kami secara lahirnya sama dengan ibadah orang lain. Tetapi ibadah orang lain itu tak menyambung ke Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Dan ibadah kami itu menyambung ke Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sebenarnya hanya itu perbezaannya
Sehingga ibadah orang lain yang tak menyambung ke Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam itu seperti orang yang punya paralon/paip tapi mesin air sanyonya tak menyambung ke sumur, dan paralon kami, sanyonya menyambung ke sumur.
Orang yang berakal tentu akan lebih memilih cara ibadah, yang menyambung pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala lewat Malaikat Jibril, ke Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, daripada melakukan ibadah mengandalkan itak-ituk diri sendiri. Tidak jelas hanya dari mempelajari kitab mujarobat. Makanya dikatakan ilmu thareqat itu ilmu tertinggi, dari segala macam cabang ilmu, kerana bukan masalah pengamalnya, tapi sambungan ilmu itu dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dan apa ada yang tingginya melebihi kedudukan Allah Azza Wa Jalla? Tentu tidak ada. Sebab sampai sekarang, sejak bumi dan langit diciptakan, belum ada yang mampu membuat bumi, matahari, dan langit tandingan.
Aku pamit pulang, kerana bagaimanapun aku juga
punya kewajiban menafkahi Anak Istri.
Jadi selama setengah tahun aku wira-wiri, ke
tempat Kyai, untuk mengobati Kyai, bukan aku
yang bisa mengobati, Tetapi kerana Kyai tak mahu
mengobati diri sendiri. Dan selalu saja santet diterima masuk ke tubuhnya dijadikan cobaan
agar lebih dekat dengan Allah Azza Wa Jalla. Juga tentunya
tubuh Kyai seperti sarana praktek untuk ilmu
kami. Apa ada seorang guru yang menyediakan
diri untuk praktek muridnya? Kalau aku sendiri
belum pernah menemui selain guruku ini, yang
mahu saja disantet orang, diterima dengan lapang
dada, dengan kesabaran yang sudah tidak masuk
akal. Padahal kalau mahu menuntaskan, Ya, tinggal
berdo’a, paling tak sampai 5 menit ijabah akan
datang, tapi Kyai tak melakukan.
Di perjalanan, aku membayangkan andai aku
punya majelis yang besar, yang terbuka dan tak
terbatas seperti sekarang, untuk semua murid Tareqatku yang entah ingin mampir ke
majelisku dengan keluarganya atau rombongannya,
maka tempat tersedia, kamar menginap ada, dan
bisa untuk transit. Jika ada yang pulang ke Jawa
dari Jakarta, sekalian berkumpul menuangkan
rindu, hati yang terikat saling mencintai kerana
Allah Ta'ala. Aku selalu ingat kata-kata Kyaiku, murid-muridku adalah keluargaku.
Aku juga ingin seperti Kyai, kesusahan mereka
juga berarti kesusahanku, bahagia mereka berarti kebahagiaanku, kasih kami melebihi
kasih saudara, ketika berkumpul, tak ada sama
sekali saling merasa lebih baik, atau lebih tinggi,
semua sama, kekerabatan kerana Allah Ta'ala…
kecintaan kerana Allah Ta'ala semata. Dan aku ingin menjadi
fasilisator, tempatku yang dijadikan berkumpul. Tetapi sepertinya jika mengandalkan himah
kemahuan kuatku, rasanya masih jauh. Apalagi soal
dana, aku termasuk minim, sering juga menolong
orang hanya diberi terimakasih saja, bahkan
kalau ada orang minta tolong. Jika miskin aku
usahakan memberinya apa-apa yang bisa ku
berikan.
Sebenarnya tempat membangun majelis yang
besar, yang bisa dijadikan tempat semua murid
internetku berkumpul, sudah ada. Tetapi dana
pembangunan yang mungkin akan sulit aku
mendapatkannya, Ya, harus dari mana aku bisa
mendapatkan??
Ada tanah juga dulu mahu diwakafkan padaku, lalu
ku jawab nanti saja, belakangan malah tanah mahu
dijual, Tidak jadi diwakafkan. Tidak apa-apa, mungkin belum rezeqi MajelisTtareqatku.
Malah kemaren waktu Kyai Askan menjelek-jelekkanku, dia mengatakan, orang tareqat itu
miskin, tak punya apa-apa.
Aku sempat panas juga, tapi aku segera
istighfar, ya tak apa-apalah miskin, asal berguna
bagi orang lain, sebab kebahagiaan bisa
mendo’akan orang sakit, yang kemudian sembuh,
itu tak bisa dirasakan orang yang seperti Kyai
Askan itu. Yang di fikirannya takut persaingan, la
kok agama kok saing-saingan, memangnya ada.
Yang terakhir ini dia mahu membuat Jama’ah Zikir tandingan, katanya untuk umur panjang,
memangnya orang bisa mengulur panjang
pendekkan umur, ada-ada saja, lagipun orang umur
seratus saja tak mati-mati, juga jadi jompo dan
tersiksa, kemana-mana sudah jalan susah, makan
jagung goreng satu biji saja bisa sebulan tak
hancur-hancur, cuma diemut-emut aja.
Apalagi kalau umur sampai 300an tahun, tidak terbayang lah, kecuali orang-orang yang memang
diberi keutamaan oleh Allah Azza Wa Jalla.
“Daaarrr…!, daaar..!” tedengar ledakan berkali-kali, di sampingku, di luar bas, seperti petasan/mercun, bas pun berhenti dan menepi, kondektur
memeriksa roda, lalu masuk lagi.
“Apa ada yang meletus rodanya?” tanya sopir.
“Tidak ada, tak tahu apa yang meledak, mungkin
dilempar petasan sama bonek.” jawab kondektur.
Aku diam saja, tentu tidak Aku bilang, kalau itu adalah
santet yang diarahkan padaku, ya kalau aku
bilang bisa-bisa diturunkan, demi keselamatan
penumpang lain, aku hanya konsentrasi,
mengitari bas dengan kekuatan prana, dan do’a,
agar bas selamat sampai tujuan.
Di jalan ada dua orang naik bas, seorang tua
dengan anak gadisnya yang seperti pincang
mengaduh-aduh.
Duduk di kursi berseberangan di kursi yang aku
duduki.
“Sudah jangan mengeluh, nanti setelah sampai
kita pijitkan ke tukang urut, agar keseleonya
dibetulkan.” kata Bapaknya.
“Tapi sakitnya minta ampun Paak…” kata anak
perempuannya
Aku segera konsentrasi, dengan kekuatan do’a
dan prana, ku raba kaki perempuan itu, lalu ku
betulkan tanpa menyentuh barang sedikitpun.
“Lho kok sakitnya hilang Pak…” kata perempuan
itu bahagia.
“Ah, jangan mengkhayal kamu.”
“Iya pak benar sudah sembuh.” jawab anaknya,
dan berdiri melompat-lompat di dalam bas.
“Sudah-sudah jangan ribut.” kata bapaknya.
Aku hanya senyum bahagia, syukur Alhamdulillah,
Allah Ta'ala memberi anugerah kebolehan padaku.
Sampai juga Bas di Pekalongan, Kota yang
menurutku sangat tidak bersahabat udaranya,
kerana pencemaran yang telah melewati batas,
sungai yang menghitam, dan udara yang berdebu,
juga membawa angin yang kental berisi obat
pewarna kimia, sungai yang airnya menghitam
diserap matahari menjadi uap, dan dihembus
angin menjadi udara yang dihisap manusia. Aneh, aku kalau di Pekalongan pastilah terkena Asma,
tapi kalau keluar dari Pekalongan asma kok
sembuh
Sampai di rumah, Husna, Istriku mengatakan,
kalau banyak orang yang mahu minta dido’akan
tapi pulang lagi, kerana aku tak di rumah.
“Lho kenapa tidak telefon, kasih khabar, kan
do’anya bisa ditransfer,” kataku.
“Ya, Abah sebelumnya tidak bilang gitu, ya, aku tidak berani ganggu, takutnya di Banten sibuk.”
jawab Husna.
“Ya, sudah tak apa-apa, nanti juga pada kembali ke
sini, kalau memang perlu.” kataku, tak
mempermasalahkan.
Dan memang benar, pagi-pagi aku belum lama
tidur, sudah ada tamu yang datang, Suami-Istri
yang membawa anaknya yang lumpuh.
“Kenapa anaknya Bu'?” tanyaku.
“Ini Pak Kyai, anak saya lumpuh,” jawab Ibunya.
“Awalnya kenapa?” tanyaku lagi.
“Awalnya tak tahu, tiba-tiba jatuh dan lumpuh,
dan sudah lima bulan, jadi sudah kami bawa
berobat kemana-mana tapi kok ya, tidak sembuh
juga, lalu ada orang yang menyarankan untuk meminta do’a pada Pak Kyai, siapa tahu jodoh…”
jelas Ibu itu.
“Coba kesinikan anaknya.” kataku sambil
mengambil anaknya dan ku pangku, lalu ku sentuh
kakinya perlahan, kemudian malah akan bingung
sendiri.
Setelah selesai ku berikan lagi ke Ibunya, dan ku
berikan air mineral sambil menjelaskan cara
pakainya, setelah dirasa cukup, Suami-Istri itu
pamitan.
Seminggu kemudian sudah datang lagi, sambil
membawa satu dus/kotak oleh-oleh,
“Ini untuk Pak Kyai,” kata perempuannya.
“Wah, apa ini Bu'…?” tanyaku.
“Ini hanya sekedar rasa terima kasih kami.”
“Wah, kok menyusahkan diri toh Bu', lha, bagaimana
adik kecilnya sudah bisa jalan?”
“Sudah, tapi tertatih-tatih.” kata Ibunya.
“Coba adik kecil jalan ayo…! Ayo paman
ditunjukin bagaimana jalannya…” kataku
Ibunya pun menegakkan anaknya, dan perlahan
mulai jalan.
“Hm… ya sudah bagus perkembangannya.”
“Iya Pak Kyai, makasih sekali Pak Kyai, tak
terbayangkan jika anak kami tak bisa jalan
sampai dewasa, dan kami sekeluarga tak bisa
memberi apa-apa.”
“Oalahh, Ibu kok jadi dramatis gini, saya malah
bisanya cuma do’a Bu'… jadi ya cuma bisa do’a,
orang lain juga bisa.” kataku.
***
Tanda Allah Subhanahu Wa Ta'ala itu menghendaki seseorang itu agar
dekat dengan-Nya, maka akan ditanamkan di
hati orang tersebut berkeinginan dekat dengan
Allah, dan keinginan itu amat kuat, tidak bisa
ditahan, dan ada kerinduan seperti rindu pada
kekasih, dalam menjalankan amaliyah.
Sebaliknya jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala menghendaki seseorang itu
celaka, maka akan dijauhkan dari keinginan
berbuat baik, bahkan sekalipun Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi Wasalla sendiri menceramahinya, maka akan
dimentahkan. Makanya hidayah itu mahal, sebab akan menjadi awal seseorang itu celaka atau
untung, bejo.
Dan sebodoh-bodohnya orang jika di hatinya
timbul niat berbuat baik, kemudian menunda-nunda, kerana disibukkan mencari hari yang lebih
baik. Atau kerana alasan yang menjadikan
perbuatan baik itu tertunda, dan akhirnya tidak
pernah dilakukan sama sekali.
Sore hari datang pasangan Suami-Istri, yang juga
membawa anaknya yang lumpuh.
“Anaknya kenapa ini Pak?” tanyaku.
“Ini Mas Kyai, anak saya lumpuh.” jawab si lelaki,
yang bernama Parman.
“Lumpuhnya kenapa pak?” tanyaku.
“Tak tahu Kyai.” jawab Istrinya Parman.
“Apa tak pernah dibawa ke dokter.”
“Ooo boro-boro ke dokter pak Kyai, makan saja
kami susah, tak punya wang untuk membawa ke
dokter.” jawab Parman.
“Oohh ini dulu tinggal di rumah yang angker ya?
“Kok, Mas Kyai tau?”
“Wah aku hanya mengira-ngira saja.”
“Ini dulu tinggal sama Neneknya di rumah dekat
pasar ?”
“Iya Kyai..”
“Hm… pantas.”
“Pantas kenapa Kyai?”
“Ya. lumpuhnya hanya tempat tinggalnya ada Jin
yang berbentuk ular, Nah, Jin itu yang menghisap
saripati bayi, sehingga jadinya tumbuhnya tak
wajar, ini umur berapa?”
“Ini umurnya sudah 8 tahun Kyai.” jawab Parman.
“Iya nanti saya kasih air, tolong diminumkan
kalau mahu tidur, dan kalau bangun tidur, juga
diusapkan ke kakinya.” jelasku.
“Maaf kami tak bisa memberi apa-apa Kyai..”
kata Parman.
“Apa aku ini kelihatan minta apa-apa toh Pak
Parman?
“Tidak Kyai…, oh ya saya juga ingin dido’akan,
agar saya dimudahkan dalam mencari rezeqi,
sebab selama ini kok hidup saya susah terus.”
kata pak Parman.
“Ikut saja zikir di majlis dzikirku, InsyaAllah
rezeqinya akan dimudahkan.”
“Wah, maaf Kyai…, saya kalau duduk lama suka
kesemutan/kebas2.”
“Lho, kalau suka kesemutan kurasa semua orang
mengalami kesemutan toh pak Parman, lha, wong
saya saja kesemutan.”
“Iya Kyai, kapan-kapan saja..”
“Ya, tak apa-apa.”
***
Sebulan kemudian Istri Parman datang ke rumah.
Dia menangis-nangis.
“Lho, kenapa Bu'…? ” tanyaku hairan.
“Tolong saya Kyai…”
“Lha, kenapa? Anaknya sudah bisa jalan belum?
“Sudah Kyai, tapi ini bukan masalah itu.”
“Terus masalah apa?”
“Ini masalah Bapaknya.”
“Kenapa dengan Suaminya?”
“Kang Parman ditangkap polisi, dan sekarang di
penjara.”
“Lhoh, masalahnya apa?”
“Ya saya juga sudah memperingatkan ke
bapaknya, jangan suka main judi togel, tapi
bapaknya itu tak mahu dengar, waktu ada
penggrebegan/operasi, lalu bapaknya tertangkap. Tolong Kyai, tolong hanya dia sandaran keluarga kami,
kalau dia di penjara, kami harus bagaimana.”
“Maaf Bu', saya kan cuma berdo’a pada Allah Ta'ala, jadi
saya itu tak bisa apa-apa, seperti anak Ibu bisa
jalan yang asalnya kakinya lumpuh itu, itu sama
sekali bukan perbuatan saya, tapi pertolongan
Allah Ta'ala, dan Allah itu Maha Suci, dia melarang
perbuatan yang merusak, seperti judi, zina, jadi
kalau Allah kemudian membantu orang berjudi,
atau membantu orang yang menggugurkan kandungan kerana perbuatan zina, maka bukan
lagi namanya Allah yang suci dari cela.” kataku.
“Jadi Kyai tak bisa menolong?”
“Ya, aku juga tak punya kedudukan di kepolisian,
tentu aku tak bisa menolong Bu', Maaf.” kataku.
Jika seseorang diperingatkan dengan cara halus,
yaitu puasa, zikir, uzlah, duduk istiqomah, tak
mahu. Maka seseorang akan diperingatkan dengan
cara kasar, seperti makan tak bisa, bisa kerana
sakit, atau tak punya wang, atau dalam penjara,
atau lari dari Desanya, digulung banjir, diguncang
gempa.
Dan Allah Azza Wa Jalla itu sanggup membolak-balikkan hati,
juga sanggup membolak-balikkan bumi.
Itulah, hidayah itu amat mahal, jika sebelumnya
orang tahu akan nasib yang dialami, ku kira
seperti Parman juga akan lebih memilih duduk
semutan daripada duduk di balik terali besi.
Pagi jam 8, sebenarnya Aku juga baru sebentar
tidur, tapi sudah ada tamu, maka aku tetap
harus menemui, menjadi pelayan Allah Ta'ala. Maka
siapapun yang datang, dan kapanpun waktunya kita harus siap, Ketika Kyaiku memintaku melatih
diri menjadi lima (5), aku masih takut-takut, dan
aku belum berani, Tetapi saat jiwa dan raga lelah,
rasanya ilmu menjadikan diri menjadi lima perlu
juga. Jadi aku bisa satu sedang zikir, satu
sedang melayani tamu, satu sedang mencari
maisyah, satu memijit satunya, dan satu
membantu yang lain, sering sekali terlintas. Tetapi
rasa takut menjadi lima lebih mendomisili fikiran
dan hatiku.
Ku temui seorang perempuan muda dengan
ibunya.
“Ada apa Bu'…?” tanyaku masih dengan mata
dihinggapi mengantuk yang sangat.
“Anu, ini anak saya…” kata Ibunya, jawil Ibu
kepada anak gadisnya.
“Ada apa toh..?” tanyaku.
Mata si gadis berlinang,
“Saya minta do’anya guru, agar saya bisa tenang
menjalani pernikahan yang rumit.”
“Rumit bagaimana?” tanyaku
“Tolong Kyai ini air ditiup dulu, biar saya minum
biar saya tenang.” kata gadis itu sambil
mengeluarkan botol aqua.
“Wah, saya belum sikat gigi.. hehehe, baru
bangun tidur, nafas saya kan bau.” kataku
bercanda.
“Tak apa-apa Kyai, biar saya dapat berkahnya…”
“Wah, bukan berkah nanti yang didapat, malah
penyakit.” kataku.
“Tidak Kyai…, monggo/silahkan Kyai tiup, biar saya
minum.” kata gadis itu lagi, sambil mendekatkan
air mineral ke depanku.
“Monggo toh kyai, biar anak saya dapat barakah
dari Kyai.” kata ibunya.
“Ini benar saya tiup?” tanyaku.
“Ya iya, saya sudah dari tadi menunggu.” kata
gadis di depanku.
“Baiklah.” kataku mengalah.
Sebenarnya nafasku asli bau, walau semalaman zikir sampai pagi, dan pagi habis subuh zikir
sebentar, dan baru mahu tidur sudah ada tetamu
Air selesai ku tiup dan ku serahkan, lalu diminum
oleh gadis yang bernama Laila Lataifa, dan air
diletakkan di dekatnya, Eehh, Ibunya langsung
mengambil air dalam botol mineral itu dan ikut
meminum airnya.
“Ibuu…! Jangan dihabiskan.”
Dunia aneh-aneh saja, dan ku lihat Laila Lataifa
pun tenang.
“Terima kasih Mas Kyai, hatiku jadi tenang.” kata
Laila Lataifa.
“Ini masalahnya sebenarnya apa?” kataku.
“Ya, saya mahu menikah dengan orang di luar Jawa Kyai, dan calon Suamiku itu ingin aku ikut
dengannya, sementara Ayahku ingin aku di sini
dan Suamiku di sini, Ayah kalau aku tidak di sini,
mahunya pernikahanku dibatalkan saja.” jelas
Laila.
“Hanya soal seperti itu?”
“Iya Kyai.” kataku.
“Lalu Laila ini apa sudah cinta lahir batin dengan
calon Suami?” tanyaku
“Saya sudah sangat mencintainya, dan saya tak
tahu jika harus tak menikah dengannya, hubungan
kami juga sudah berjalan enam tahunan, kami
sama-sama kuliah di jurusan yang sama, yaitu
kedoktoran.”
“Jadi sampean ini doktor th?”
“Iya Kyai.”
“Aneh…”
“Apa yang aneh Kyai?”
“Lha, doktor kok minta air untuk ditiup apa tiddak
aneh?” kataku.
“Tapi, nyatanya saya langsung merasa tenang.”
jelas Laila.
“Biasanya doktor kan tak percaya hal yang
seperti ini.”
“Ah, tidak juga kok Kyai, kami juga percaya.”
jelas perempuan itu.
“Pernikahan itu tidak hanya sekedar cinta,
upayakan menyandarkan cinta pada Suami,
kerana mencintai Allah Ta'ala, kerana cinta
disandarkan pada Zat yang kekal, Maka cinta akan kekal, jauh dari kepentingan ego nafsu,
Allah Ta'ala memerintahkan seorang Istri tunduk pada Suami, jadi tunduklah dan layani Suami kerana
Allah memerintah, bukan kerana siapa Suaminya. Sesiapa yang melayani Suami, dengan ikhlas dan
cinta kerana Allah Ta'ala. Maka bila diajak tidur,
pahalanya akan seperti pahala haji dan umrah,
yang diterima, wanita itu. Jadi istri itu
menjadikan Suami sebagai ladang pahala, tempat
istri mencari keredhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jika perkawinan
didasarkan bukan kerana cinta nafsu, wajah
tampan. Maka cinta itu akan kekal, Istri akan
berusaha sekuat daya membahagiakan Suami
dengan pelayanannya yang maksimal, kerana
harapan untuk memperoleh redha Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jika Istri takut tak bisa membuat Suami bahagia, dan
dalam hatinya tetanam rasa takut akan murka
Allah, kerana tidak bisa menjaga keutuhan
bahtera rumah tangga, Istri yang Suaminya selalu
redha dan senang. Maka Istri seperti itu akan
diperintah memilih dari pintu mana dia mahu
masuk syurga.” jelasku.
“Begitu juga seorang Suami, yang mencintai Istri
kerana Allah Ta'ala, bukan kerana sekedar kecantikan,
yang selalu melindungi dan memberi bimbingan. Ingat memberi bimbingan bukan mengalahkan
atau menguasai. Tetapi memberi contoh dengan
akhlak mulia. Memerintah dengan dialog cinta dan
kasih sayang. Bukan memaksakan kehendak
segala kemahuan dan perintah wajib diikuti. Sebab seorang yang ikhlas memerintah itu sama
sekali tak ingin perintahnya diikuti. Kalau ingin
perintahnya diikuti, ditaati, maka dia telah gagal
menjadi Suami, dan upayanya menjadi Tuhan atas Istrinya tak akan terlaksana. Sebab sejak dulu
manusia yang berusaha menjadi Tuhan itu tidak
pernah sukses kecuali pasti ditentang, sebab
kodhrat manusia itu sebagai hamba, bukan
sebagai Tuhan.” [HSZ]
To be Continued.....
Untuk Anda yang belum baca siri ini yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; KISAH SUFI, SANG KYAI
Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media
#indonesia, #misterinusantara, #KisahKyaiLentik #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,
Follow me at;⭐
twitter.com/romymantovani
facebook.com/romyschneider
linkedin.com/in/RyanSchneider
pinterest.com/helmynetwork
VIDEO
No comments
Post a Comment