KISAH SUFI, SANG KYAI [31]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SUFI, SANG KYAI [31]">

KISAH SUFI, SANG KYAI [31]

  • Pada siri ke-30. Dikisahkan seorang pebisnis yang telah menipu Sang Kyai dan orang-orang lain. Akhirnya mendapat balasan dari Allah Ta'ala dengan balasan di dunia yang amat dahsyat sekali.
  • Sosok itu bernama Mahmud. Disamping telah bangkrap, Istri Mahmud minta cerai, dan anak-anaknya tak ada yang mahu tinggal dengannya, Mahmud tinggal di bekas kandang sapi tetangganya. Semua itu terjadi dalam masa cuma tiga bulan, Aku (Sang Kyai) membayangkan bagaimana jika seandainya hal itu menimpa diriku dan keluargaku. Kadang Aku sendiri merasa kasihan dengan keadaan Mahmud. Tetapi seandainya tidak begitu pasti yang dia lakukan pada orang lain tak akan berhenti, dan sampai pada diriku, pasti orang sebelum diriku yang dikerjai Mahmud sudah banyak korbannya, dan pas kebetulan dia ketemu batunya.
  • Segala perjalanan apapun yang terjadi, maka itu tak ada artinya jika kita tidak bisa mengambil sebagai pelajaran, menyerap kandungan hikmah apa yang tersimpan di dalamnya. Sehingga segala keputusan dan apa yang seharusnya dilakukan ketika menghadapi hal yang sama. Begitu juga bagi diriku sendiri. Apapun yang dihadapi, kepanikan sekali-kali bukan jalan keluar, ketenangan mengambil sikap, akan menghasilkan keputusan yang terbaik. 

  • Jika kita menyandarkan diri pada Zat yang paling kuat yaitu Allah Azza Wa Jalla, Maka kita akan menjadi kuat. Dan jika kita menyandarkan pada selain Allah Ta'ala, siapapun selain Allah itu pasti mati, terhalang. Tidak ada manusia atau apapun ciptaan Allah itu sakti, dan punya kelebihan kecuali Allah yang memberi kelebihan, seperti burung yang terbang, atau ikan yang tahan hidup di dalam air.  
FORTUNA MEDIA - Abang -Iparku Abdullah menelpon. “Ada kesibukan apa di rumah?”  tanya Abdullah.

 “Ya menganggur, tidak ada kesibukan apa-apa.”   jawabku.

 “Bagaimana kalau bekerja di Arab Saudi ? Ya, hitung-hitung bisa naik haji,” 
kata dia.

 “Ya tidak apa-apa, kerana kalau di rumah terus kok kayaknya tak banyak pengalaman, lalu bagaimana sistemnya?” 
tanyaku yang memang awam soal kerja di Saudi

“Besok datang saja ke PT- agen, kaerana besok ada manager dari sana yang langsung melakukan 18px survei.”  jelas Abdullah.

 “Baik nanti malam Aku berangkat dengan travel.”

Malamnya Aku berangkat ke PJ-TKI (Pengurusan Tenaga Kerja Indonesia) untuk ikut wawancara. Sampai di PJTKI aAu ketemu Macan, yang menjadi bapak asuh penjaga semua TKI.

“Mengapa ke sini?” tanya Macan.

 “Bekerja di Saudi.”  jawabku.

 “Hahaha, kamu mahu kerja di Saudi?”

 “Apanya yang salah, kodok itu harus keluar dari tempurung Can, biar tak mengira kalau dunia itu hanya dalam tempurung.” 
kataku berdalih membela kepentinganku.

“Ya, kau memang paling bisa membuat alasan.”

“Tapi kenyataannya kan kayak gitu…, kalau mahu ikut jangan malu-malu..”

 “Byuh, aku ini kalau pisah sama Istri seminggu saja nekak-nekuk tak karuan, kalau setahun apa tidak nanti pulang dari Arab Saudi tidak dalam keadaan stres?” 

“Ya kalau gitu jangan ikut, daripada kamu stres, Aku juga yang ngurus…”


Di PJTKI, Aku berkenalan dengan seorang TKI Suami-Istri yang sudah lama bolak-balik kerja di Arab Saudi, namanya Najib. Dia dan Istrinya ketemunya juga di Saudi, dan pulang ke Indonesia kemudian menikah. Najib dari Ciamis, Jawa Barat.  Dan Istrinya orang Makasar, Sulawesi.

“Mas ini ya yang katanya Adiknya Pak Abdullah..?”  tanya Najib.

“Iya… ada apa Mas?”

 “Maaf, kenalkan dulu Mas, namaku Najib,” 
kata Najib memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya.

“Namaku Febrian,”  ku jabat tangannya.

“Lagi jalan-jalan ke PJTKI ya Mas?” tanya dia.

 “Oo tidak, Aku mahu ikut wawancara kerja di Arab Saudi.”

“Wah, kerja di sana berat Mas.”
jelasnya,

 “Saya ini sudah 6 kali bolak-balik ke Arab Saudi, jadi tiap, 
dua tahun pulang, jadi di sana sudah 12 tahun Mas.”

“Wah, lama juga ya. Berarti sudah banyak dong wangnya.”

“Wangnya habis di jalan Mas.”

 “Lho, kok bisa gitu?”


 “Ya, wang dari sana itu kayak tidak berkah Mas, mudah habis, tak tahu kenapa kok gitu, ya wang kayak menguap begitu aja.”

“Terus kamu sama Istri kerja di sana ini kerjanya apa?”

“Saya jadi sopir, dan Istriku jadi pembantu rumah tangga Mas. Ini menunggu dapat Visa yang perlu suami-istri dalam satu majikan, lha, Mas sendiri kerja apa?”

“Aku juga belum tahu kerjanya apa, dan di mana, katanya dengar-dengar kerja di pabrik semen, kurang tahu pastinya.”  jelasku yang memang kurang tahu. Tiba-tiba Najib mengeluarkan kertas dari tasnya,

“Maaf Mas, ini kertas perjanjian kerja 
saya, saya juga belum tahu ini majikannya baik atau tidak, entah bagaimana orangnya, saya minta Mas mahu meniup kertas ini, biar saya mendapat majikan yang baik.”  kata Najib menyerahkan kertas perjanjian kerja padaku.

 “Maksudnya, meniup itu bagaimana?” tanyaku tak mengerti.

 “Istriku tahu dari banyak TKW, kalau Mas sering dimintai do’a kalau ada TKW mahu berangkat ke Arab Saudi, supaya diberi keselamatan, mendapat majikan yang baik, dan pulang dengan selamat.”

 “Ooo itu, iya sih memang banyak yang minta ke rumah, dan memang kebetulan juga kabarnya selalu mendapat majikan yang baik.”

 “Makanya saya minta ini ditiup Mas…, biar saya juga dapat majikan yang baik.” jelasnya. Kertas ku ambil lalu ku tiup. Dan sebentar kemudian Aku telah berpisah dengan Najib, kerana dia dipanggil. Sebab pesawat keberangkatannya jamnya sudah sampai.

Malam pertama, setelah sholat isya’, Aku memilih nongkrong di pos penjagaan, tidak kumpul 
dengan para TKL, tempat TKL ada di penampungan bagian depan, di samping ada penampungan lain, di Daerah Cipinang. Sementara penampungan belakang diisi para TKW.  Jadi ingat waktu di pondok ramai wanita, kalau ini ingin merubah jalan hidupnya, merubah ekonominya. Sementara di pesantren para santri ingin mendapat ilmu. Tiba-tiba seorang pegawai kantor menemuiku dengan tergopoh-gopoh.
“Mas… mas Ian ada TKW yang yang kerasukan…!” kata petugas itu.

 “Di mana?” tanyaku.

 “Ya, di penampungan putri.”  jawab dia sambil tangannya menunjuk penampungan putri.

 “Lha, si Macan kemana?” tanyaku.

 “Mas Macan keluar.., tolong Mas kasihan.”


“Aku pun ke dalam penampungan putri, diiringi security dan petugas kantor yang jaga.”  Masuk ke dalam, di dalam ramai sekali perempuan dengan berbagai macam, ribut mengerungi yang kerasukan.

Tetapi baru sekitar 
jarakku dengan yang kerasukan masih lima meteran, yang kerasukan sudah tersadar.

 “Permisi-permisi, tolong dikasih jalan, biar yang kerasukan ku lihat.”  kataku meminta agar perempuan yang mengerubuti menyingkir, bau khas perempuan amat pekat. Ku lihat yang kerasukan, ku dekati, sudah tak ku rasakan getaran Jin, ku pagar tubuhnya.

“Sudah-sudah tidak apa-apa, ayo dibawa ke kamar.” 
kataku, kepada yang mengerubuti, dan tubuh perempuan itupun dibawa masuk ke kamar.

 Sementara itu Aku kembali ke depan, ke pos security, ngobrol sama yang lain yang ikut nongkrong di pos.

“Apa sering terjadi kerasukan kayak gitu? ”
tanyaku pada security.

“Sering juga Mas…, ”  jawab satpam (satuan pengamanan/security).

 “Harusnya Macan memagar tempat ini, jangan dibiarkan angker, soalnya ini kan tempat kumpul para orang yang punya latar belakang beda-beda. Ada yang stres, ada yang punya kasus di rumah, jadi akan amat mudah kerasukan.”  jelasku,

“Mas mahu besok membersihkan tempat penampungan yang satunya, soalnya di sana juga banyak yang menampakkan diri hantunya.”

“Tidak apa-apa, nanti dibersihkan, tentunya kalau Aku ada waktu.”

Malam makin larut, sudah sekitar jam 12 malam, Aku memilih sholat Isya’ dan kemudian zikir di dalam ruang tidur pos security, yang terletak di belakang pos penjagaan. Hujan rintik-rintik, baru setengah jam duduk berzikir, pintu gerbang penampungan ada yang mengetuk, Aku tetap dalam zikirku, tak tahu tamu mana yang masuk, baru seperempat jam tamu masuk, tiba-tiba petugas dari dalam mendatangiku.

 “Mas-mas tolong Mas, ada TKW ngamuk…”  kata petugas itu.

 “Lhoh, apa yang kerasukan tadi?” tanyaku.

 “Bukan Mas, ini yang baru datang tadi…” kata satpam yang menyertai.

 “Ngamuknya kenapa?” 
tanyaku. Wah kok malah Aku yang mengurusi TKW… 


“Dia di dalam Mas, sedang dipegangi orang banyak, soalnya kepalanya dibentur-benturkan ke tembok, sampai berdarah-darah, katanya mahu bunuh diri.” jelas satpam.

Aku segera beranjak berdiri, tapi tiba-tiba dari dalam ada perempuan yang berlari, dikejar sama TKW lain. Semua segera berusaha menangkap, seperti mahu menangkap kambing qurban yang lepas, kerana ogah disembelih, Aku melihat saja, sampai TKW itu ditangkap.

“Coba bawa ke pos satpam.” kataku. Lalu TKW itu pun dibawa ke pos satpam, dan tetap berusaha berontak. Ku tempelkan tanganku ke kepalanya, dan ku salurkan hawa penenang ke fikirannya. Perlahan perempuan muda itu mulai tenang. Lalu menangis sesenggukan.

 “Ya Allah berdosanya aku, aku perempuan kotor, bagaimana suamiku, bagaimana dia mahu menerima aku, ya Allah…!”  kata perempuan itu meracau, nampak di jidatnya berdarah. Mungkin jidatnya itu yang dibentur-benturkan ke tembok


“Aku mati saja…, mati saja.. huuu..huu..”  kata perempuan itu berulang-ulang, di antara tangisnya sampai tubuhnya terguncang.

 “Ada apa toh Mbak, ada masalah bisa diselesaikan, apa mati itu bisa menyelesaikan masalah? Apalagi kalau mati bunuh diri, bisa jadi di sana akan disiksa sampai hari kiamat, apapun masalah itu, maka ada jalan menyelesaikannya.”  hiburku masih tetap menempelkan tanganku ke kepalanya, agar tenaga prana menenangkan fikirannya dan memang perlahan tapi pasti dia mulai berhenti menangis.

 “Kau tak ikut merasakan yang aku alami di Arab Saudi Mas… jadi tak merasa sedih.”
katanya yang mulai tenang, sementara beberapa lelaki di pos satpam tetap berjaga, takutnya perempuan itu kabur.

“Ya aku mungkin tak ikut mengalami, tapi kalau Mbak mungkin punya pengalaman pahit dan tak tahan memendamnya sendiri, bisa diceritakan padaku, Jika Aku sanggup membantu mencarikan solusinya, maka akan ku bantu dengan sekuat tenagaku.”  kataku, dengan nada datar takut mengejutkan kejiwaannya yang terguncang, pasti tak ringan yang dialaminya di sana,

“Aku ini baru berangkat ke Arab Saudi sebulan kemaren Mas, dan sampai di majikanku, dan Mas tahu aku di sana cuma dijadikan pelampiasan nafsu digilir tiap hari oleh, ayah, anak, paman dan keluarga mereka, yang aku tak tahu, aku selalu disekap, dipegangi, diperkosa ramai-ramai, huuu… huuu… betapa malangnya nasibku… cabutlah nyawaku ya Allah.. bagaimana dengan suamiku, dengan kekotoranku ini…”  Aku ikut menitikkan air mata, tak terbayangkan akan yang dialami oleh perempuan di depanku, wajar bila jiwanya terguncang.

 “Ya tenangkan diri Mbak, Mbak mengalami itu bukan kerana keinginan sendiri, jadi Mbak orang yang dizalimi, bukan orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan keji, lalu bagaimana Mbak bisa pulang?”

“Aku kabur Mas, kabur melewati jendela, ini lihat tanganku bekas diikat.” 
katanya sambil menunjukkan tangannya, dan memang ada bekas luka ikatan.

 “Lalu sampai di Indonesia?” 

“Aku kabur ke Kedutaan Mas, dan dipulangkan.” jelasnya.

 “Sudah sekarang tenangkan diri, yang menimpa nanti diurus.” 
kataku menenangkan.

 “Aku ingin ganti baju Mas.”  katanya, memang tadi bajunya kotor kerana lari-larian jatuh bangun. Seorang TKW segera menyerahkan tas berisi baju pada perempuan itu, dan perempuan itu diantar ke kamar mandi yang ada di belakang pos satpam.

Aku masuk lagi ke dalam kamar satpam. Sepuluh menit berlalu, seperempat jam berlalu, di luar adem-ayem saja. Aku keluar kamar, dan ku lihat satpam juga petugas PJTKI masih ngobrol.

 “Lhoh, mana perempuan tadi?”  tanyaku.

 “Ya, masih di kamar mandi Mas.” jawab satpam.

 “Lhoh, gimana toh, yaaa kabur pasti, ” 
kataku memperingatkan. Kamar mandi segera digedor, tapi tak ada sahutan

“Sudah didobrak saja.”  kataku.

Kamar mandi pun didobrak, dan dalam keadaan kosong. Nampak jejak di dinding, pertanda perempuan itu telah kabur. Aku hanya geleng-geleng kepala, tak tahulah, apa yang terjadi, padahal sudah jam 2 dini hari.

Paginya interview dengan manager pabrik semen berjalan lancar, Aku dites membuat aneka motif aliran kaligrafi dan Aku dinyatakan lulus, Aku tinggal ikut medical, BAP, dan menunggu terbang.

 “Ayo, ke penampungan lama Mas.”  kata seorang pegawai PJTKI.

 “Jadi mahu dipindah di penampungan baru ya?”
tanyaku.

“Wah, Mas Ian lupa, kan Mas mahu bersihkan tempat itu dari gangguan Jin?” 
kata pegawai yang bernama Arif Rahman.

“Di penampungan itu kosong kok Mas, tidak ada penghuninya, cuma ada sopir Suami -Istri, juga yang mahu berangkat ke Arab Saudi.” jelas Arif rahman

“Oo kirain mahu dipindah…”

 “Mari Mas, berangkatnya ku bonceng motor.”
ajak Arif.

Akupun dibonceng Arif, meliak liuk di antara mobil yang terjebak kemacetan Kota Jakarta, kadang harus masuk gang sempit, dan becek, juga menyerempet tong sampah. Memang begitulah Jakarta, kebersihannya dan tak macetnya terlanjur menempel di lidah para gubernur dan walikotanya. Sehingga mengurainya harus mengelupasnya dari lidah mereka. Dua jam perjalanan akhirnya sampai. Mungkin sebenarnya jika ditarik garis lurus, dari awal perjalanan yang ku tempuh dengan tujuan yang ku tuju, paling berjarak 1 km. Tetapi jadi jauh, kerana kemacetan. Sampai di penampungan sudah sore. Memang di penampungan ada penghuni Suami-Istri saja, selain penjaga penampungan, kerana penampungan ini penampungan lama, yang sudah tidak dipakai lagi. Sedang TKL yang bertemu denganku bernama Tejo, Aku tak tahu nama Istrinya.


“Katanya mahu membersihkan penampungan ini dari pengaruh jahat ya Mas?” tanya Tejo yang duduk bicara denganku setelah waktu Maghrib.

 “Iya..”

“Wah, kebetulan.” 
kata Tejo.

 “Kebetulan kenapa?”

“Ya kebetulan ketemu orang pintar.”

“Wah, orang pintar mana? Ketemu di mana?”
tanyaku hairan.

“Lha, Mas ini kan orang pintarnya…”  jelas dia sambil tertawa, Tejo orangnya kurus kekar, ku lihat dia biasa bekerja keras, dan bicaranya juga ceplas ceplos.

“Wah, saya tidak punya kelebihan apa-apa, jika ada ilmu itu juga anugerah dari Allah, Saya cuma dititipi, jadi bisa kapan saja diambil.”  jelasku.

 “Maaf Mas, mbok saya ini dilihat kenapa,”

“Kenapa apanya?”


 “Begini Mas… sejak saya remaja, saya ini sudah bekerja sebagai sopir truk kontainer, awalnya 
sih saya knek, tapi lama-lama saya belajar dan bisa, kemudian saya jadi sopir, sudah sekian tahun, sampai saya punya Istri, kok tidak ada sama sekali rezeqi yang nyantol, saya malah miskin tidak punya apa-apa, Padahal sekali kirim barang, wang 4 ratus ribuan pasti saya dapat. Tetapi kok ya,  seperti hilang tak tahu kemana, terus kalau sama Istri saya selalu bertengkar, kalau sudah bertengkar, apa-apa bisa saya banting, sepertinya saya merasa hilang kendali.”  jelas Tejo panjang lebar. Ku raba tubuhnya indraku…

“Sampean habis bacok orang ya, di kampung?”  tanyaku.

 “Kok sampean tahu?” tanya Tejo balik.

“Iya apa enggak?”
tanyaku.

“Iya mas… ceritanya begini, di kampung ada maling yang dikejar-kejar orang kampung, waktu itu aku lagi di sawah, ee kok, malingnya lari ke arahku, mahu ku tangkap melawan, ya terpaksa ku bacok kakinya.”  cerita Tejo


“Kamu pernah Nyupang di Laut Selatan ya?” tanyaku lagi.

“Kok, tahu juga Mas…”

“Lha, iya apa tidak?”


 “Iya Mas…, tapi awalnya aku cuma ngantar orang, yang mahu nyupang ngambil pesugihan di Pantai Laut Selatan, ceritanya begini.”  kata Tejo mulai bercerita.

 “Saat itu aku kerana sopir travel, aku mendapat rombongan penumpang mengantar rombongan orang yang mahu mengambil pesugihan ke Laut Selatan, ya aku awalnya tidak tahu, ku kira orang yang mahu rekreasi, aku mengantar mereka, sampai di pantai kok aku diminta mengantar ke juru kuncinya, dan aku antar, Ya, aku ingin tahu juga apa sebenarnya yang mereka lakukan. Maka sekalian aku ikuti, sampai kemudian semua pada melakukan sesaji di Laut Selatan, di Parangtritis, malam-malam, aku juga ikut, Nah dalam melakukan sesaji dan persembahan itulah, dari laut muncul ular besar sekali.”  cerita Tejo.

“Kamu melihat ularnya.?”  tanyaku.


“Ya, melihat Mas., ular besar sekali dan anehnya wajahnya wajah nenek-nenek. Dia menggigit sesuatu benda, lalu benda itu dilepas, ternyata berupa bambu yang diikat, banyaknya sesuai banyaknya kami yang hadir, lalu sama juru kunci bambunya diterima dan dibagikan pada kami, lalu kami disuruh berjanji untuk mempersembahkan bayi sebagai ganti permintaan kami jika sudah berhasil, Ya, aku tidak mahu Mas, Tetapi bambu tanda permintaan kami sudah diberikan. Setelah ular besar berkepala nenek-nenek itu memberi pesan kepada kami. Maka ular itu masuk lagi ke dalam air, dan kami semua pulang, dan bambu milikku ku buang, Ya, walaupun aku bukan orang yang beragama, tapi aku tidak mahu masuk neraka, untuk mempersembahkan bayi. Lalu sampai rumah bambu sebesar jari itu ku buang. Nah, sejak saat itu hidupku amat susah, keluarga selalu cekcok. Malah aku seperti sering hilang kendali, juga istriku hilang kendali, rezeqiku juga sama sulit. Sementara orang yang ku antar itu semuanya menjadi orang yang kaya raya.”  Tejo mengakhiri kisahnya.

“Kamu pernah menjalankan amalan kejawen?”
tanyaku lagi. 


“Waduh, Mas kok tahu semua toh…”

 “Ya, dijawab, iya apa enggak.” 
kataku.

 “Iya Mas, ceritanya begini Mas, aku ini kan sopir, sopir kontainer, Mas tahu sendiri, kontainer itu kadang membawa barang berharga, la tak jarang kami itu dihadang bajing loncat, belum lagi kami sering dimintai polisi-polisi nakal di jalan. Sehingga pendapatanku sering tinggal seratus ribu, kerana diminta polisi-polisi itu, kami kan juga punya keluarga, anak yang perlu dihidupi. Pada suatu hari temanku bilang biar tidak dihadang bajing loncat, atau polisi nakal. Maka aku disarankan meminta keselamatan pada seorang yang linuweh di Daerah dekat Alas Roban, Maka aku diantar ke sana, dan aku diberi isi dan amalan, lalu ku amalkan. Memang dalam perjalanan kami selalu aman, teman-teman yang lain dihadang bajing loncat, Tetapi aku tak pernah dihadang, juga tak pernah dimintai polisi-polisi nakal, sehingga wangku utuh.”


“Hm gitu…”

 “Iya, Mas itu kisahnya.” 


“Kalau ilmu kejawen, Jin yang dari Pantai Selatan itu semua ku ambil dari tubuhmu, dan nanti kamu bertaubat, terus menjalankan hidup yang Islami mahu?”  tanyaku.

 “Mau-mau Mas, asal hidupku tenteram… Alhamdulillah, Aku dipertemukan dengan Mas, Allah telah mengirimkan Mas padaku.”  
 [HSZ] 

To be Continued.....

#indonesia#misteri#KisahKyaiLentik  #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #KisahSufi, #SangKyai,

No comments