Puisi Widji Thukul Pengobar Semangat Aktivis Dan Pejuang Kaum Tertindas
Puisi 'Widji Thukul' Pengobar Semangat Aktivis Dan Pejuang Kaum Tertindas
FORTUNA NETWORK - KUALA LUMPUR--Edited Edition.
Salah satu sosok atau tokoh aktivis, boleh dikatakan sebagai pejuang HAM (Hak Asasi Manusia) pada pergolakan reformasi era Soeharto yang digelar Era Orde Baru yang Aku cukup minat hasil tulisan puisi-puisi perjuangannya.
Walaupun, kemudian harinya sejarah mencatat Presiden Soeharto bukan ditumbangkan para kelompok reformasi mahasiswa dan pelajar. Tetapi sejatinya oleh kumpulan yang dipelopori oleh para 'Jenderal Merah' atau disebut juga dengan "jenderal abangan"- (abangan adalah dari bahasa Jawa yang bermaksud 'merah')
(kelompok jenderal merah yang diketuai Jen, Benny Moerdani yang beragama Kristian yang mula kurang suka dengan cara pemerintahan Soeharto yang mula condong kepada kelompok Islamik)
Salah satu sosok atau tokoh aktivis, boleh dikatakan sebagai pejuang HAM (Hak Asasi Manusia) pada pergolakan reformasi era Soeharto yang digelar Era Orde Baru yang Aku cukup minat hasil tulisan puisi-puisi perjuangannya.
Walaupun, kemudian harinya sejarah mencatat Presiden Soeharto bukan ditumbangkan para kelompok reformasi mahasiswa dan pelajar. Tetapi sejatinya oleh kumpulan yang dipelopori oleh para 'Jenderal Merah' atau disebut juga dengan "jenderal abangan"- (abangan adalah dari bahasa Jawa yang bermaksud 'merah')
(kelompok jenderal merah yang diketuai Jen, Benny Moerdani yang beragama Kristian yang mula kurang suka dengan cara pemerintahan Soeharto yang mula condong kepada kelompok Islamik)
Dan perancangan semua kejatuhan Presiden Soeharto juga tidak lari daripada strategi jahat Lembaga CSIS (Center of Strategic and International Studies) yang menjadi otak ‘think-than’ Orde Baru, yang mensuplay konsep kebijakan Orde Baru, dan menghancurkan golongan Islam. CSIS di awal Orde Baru merupakan kolaborasi antara para jenderal ‘abangan’ dengan kalangan Katholik ‘Ordo Jesuit’.
(Nanti saya akan tulis artikel tentang CSIS tersebut, InsyaAllah)
Pustaka Antara
Aku mula tertarik dengan sejarah perjuangan para pejuang-pejuang rakyat Indonesia dari Era 1945- Presiden Soekarno hingga pejuang reformasi Era Presiden Soeharto yang digelar Era Orde Baru. Adalah bermula apabila seorang kawan yang kaki buku memperkenalkan aku pada sebuah kedai Buku bernama Pustaka Antara pada tahun 80'an yang berniaga di Jalan Tuanku Abdul Rahman bersebalahan bangunan pejabat Umno lama. Dan kini sudah digunakan oleh Pejabat Tabung Haji. Dan Pustaka Antara telah raib tak tahu rimbanya sekitar akhir 90'an.
Di Pustaka Antara inilah Aku menemukan semua buku-buku karya penulis terkenal dari Indonesia dari Buya Hamka, Novelis Motinggo Busye(novel/cerpen), Pramoedya Anantha Toer (novel), Arswendo Atmowiloto (novel/cerpen) dan banyak lagi.
Dan yang lucunya, waktu itu, jika kita mahu beli majalah dan suratkabar Indonesia yang terkenal, kita mesti berlangganan. Jika tidak berlangganan tak kebagianlah majalah dan surat kabar semisal, Kompas, Jawa Pos, Majalah Tempo, Majalah Panji Masyarakat.
Pada zaman itu begitu susah hendak dapat akhbar dan majalah Indonesia. Ada sedikit sekatan namun buku-buku ilmiah, kitab-kitab pengajian Islam mudah dijumpai.
Dari pembacaan media Indonesia itu, akhrnya Aku mengenali sosok seorang pejuang reformasi era kejatuhan Soeharto '98 bernama Widji Thukul. Puisi-puisi nya yang bernuansa perjuangan yang bebas dari teory -teory puitis sangat menarik minat hingga menumbuhkan lagi ilham untuk Aku kembali aktif menulis puisi ataupun cerpen. InsyaAllah.
Biodata Widji Thukul
Biodata Widji Thukul
Biodata beliau ini sekedar "refreshing mind" sahaja.
Widji Thukul Wijaya lahir di Solo, Provinsi Jawa Tengah, pada 24 Ogos 1963, sebagai anak tukang becak dari keluarga Katholik. Selepas sekolah menengah rendah, selama kurang dari dua tahun dia belajar di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sampai putus sekolah pada 1980.
Di Kota Solo, Widji Thukul dibesarkan boleh dikatakan di perkampungan miskin, yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bas kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Rentenir pun (semacam Along-Ceti) telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampung.
Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang jual akhbar, tukang semir mebel-perabot, mahupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar-masuk kampung, kadang-kadang diiringi muzik gamelan.
Keterlibatan Widji Thukul dalam theater dan kesenian di Kota Solo dan Jawa Tengah sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta radio PTPN. Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antologi 4 Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya sendiri bulan July 1987 dalam bentuk photocopy yang dikomentarinya: ”Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”
Awal 1990'an Widji Thukul terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang menjadi anak-organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), parti independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai parti oposisi regim Orde Baru.
Tahun 1995 Widji Thukul nyaris kehilangan penglihatannya akibat kebrutalan polis saat ia memimpin pemogokan buruh-buruh Pabrik tekstil Sritex. Pasca kerusuhan 27 July 1996, di mana PRD(parti rakyat demokratik) dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh pemerintahan Orde Baru. Thukul bersama anggota-anggota sentral PRD harus bersembunyi. Kontak terakhir dengan rakan-rakannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak diketahui, dan Thukul dikatgeorikan sebagai "orang hilang", korban-korban penculikan pemerintahan regim militer Orde Baru.
Tahun 2002 Thukul secara' in absentia' menerima penghargaan anugerah, Yap Tiam Hien Award atas perjuangannya dibidang penegakan HAM [1]
Penyair Widji Thukul merupakan salah satu tokoh aktivis yang hingga kini hilang di tengah geger-gegeran reformasi pada bulan Mei 1998. Kini, sufah puluhan tahun sudah era reformasi bergulir. Namun, Widji Thukul tetap tak diketahui khabar pastinya.
Untuk mengenangnya, bermula tahun 2013 puisi-puisi karyanya pun diterbitkan.
Kompilasi Puisi Widji Thukul berjudul
'Para Jendral Marah-marah'
Penyair Widji Thukul merupakan salah satu tokoh aktivis yang hingga kini hilang di tengah geger-gegeran reformasi pada bulan Mei 1998. Kini, sufah puluhan tahun sudah era reformasi bergulir. Namun, Widji Thukul tetap tak diketahui khabar pastinya. Untuk mengenangnya, bermula tahun 2013 puisi-puisi karyanya pun diterbitkan.
Kompilasi atau Kumpulan puisi Wiji Thukul itu tidak diterbitkan oleh penerbit komersil. Melainkan, kumpulan yang diberi judul 'Para Jendral Marah-marah' itu diterbitkan oleh Majalah Tempo dalam edisi khususnya (May 2013) Tentu saja, ini bukan kumpulan puisi pertama Widji yang diterbitkan. Lalu, apa istimewanya?
Buklet setebal 37 halaman yang merupakan bonus dari Majalah Tempo dengan judul sampul 'Teka-teki Widji Thukul' itu memuat 49 buah puisi. Menariknya, sebagian besar dari puisi-puisi tersebut merupakan karya Widji Thukul selama dalam pelariannya.
Naskah tersebut awalnya berupa manuskrip yang berada di tangan Wakil Ketua Komisi Nasional-HAM, Stanley Adi Prasetyo. "Puisi itu adalah pemberian Widji Thukul kepadaku sesaat sebelum dia menuju pelarian berikutnya," ujar Stanley. Dia menerima naskah itu dalam tulisan tangan dengan pensil di atas kertas surat bergaris sebanyak 13 halaman bolak-balik.
Naskah yang berisi 21 Puisi itulah yang kemudian menjadi bagian pertama dari buklet 'Para Jendral Marah-marah' ini. Secara keseluruhan, buklet ini terdiri dari 3 bagian. Dua bagian lagi masing-masing berisi puisi-puisi Widji dalam bahasa Jawa (12 puisi), dan puisi-puisi 'lepas'(16 puisi) yang dihimpun dari berbagai 'sumber' dan belum pernah dipublikasikan secara luas. (Adapted Edition )
Aku persembahkan dua puisi beliau yang sangat menggugah hati
Catatan 88
saban malam
dendam dipendam
protes diam-diam
dibungkus gurauan
saban malam
menyanyi menyabarkan diri
bau tembakau dan keringat di badan
campur aduk dengan kegelisahan
saban malam
mencoba bertahan menghadapi kebosanan
menegakkan diri dengan harapan-harapan
dan senyum rawan
saban malam
rencana-rencana menumpuk jadi kuburan,
(Solo-Sorogenen,1 september 1988)
Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
(Widji Thukul 18 June 1997)
Source ;
[1] detik.com/content/2013/05/13/
[1] detik.com/content/2013/05/13/
Kredit Image Mural Widji Thukul; hot.detik.com/art/
Editor, Helmy Network
VIDEO;
VIDEO;
No comments
Post a Comment