MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 31]
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 31]
Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para SahabatWAITING FOR GAMA
AIR, OH AIR...
Air adalah permasalahan paling krusial (bikin kurus dan sial) di Desa Dawungan. Lebih-lebih di musim kemarau, harga air lebih mahal dari emas. Buktinya cewek setempat lebih memilih mandi, daripada mendekati emas-emas KKN yang bau ketjut!
Tak jarang air jadi sumber congkrah. Suatu hari, Lik Sono dan Lik Paidi nyaris gelut (gaduh). Gara-garanya, dua ember air yang susah-payah dipikul Lik Sono dari pinggir kali, "dicicipi" sapi (lembu) Lik Paidi. Lik Sono minta ganti rugi, tapi Lik Paidi nyuruh Lik Sono minta ganti rugi ke.. sapinya. He he he..😀Tempo hari pula Mas Kisut menuduh Pak Karim sengaja melepas sambungan selang (hos paip) untuk mengoncori ladang jeruknya yang nggik-nggiken. Tapi Pak Karim menganggap Mas Kisut yang ceroboh kerana memasang selang lewat tanahnya tanpa izin. Keduanya nyaris baku pukul, untung segera dipisah oleh Pak Polo.
Air pula yang membuat saya kalang-kabut. Pasalnya di Tegalkuniran saya terbiasa mandi dua kali sehari. Lhah di sini, bisa mandi dua hari sekali saja sudah ganteng.
"Apa di sini tidak ada sumur?" tanyaku suatu hari pada "Dik" Polo.
"Banyak!"
"Lalu apa masalahnya, kok sulit air?"
"Ayo kita lihat!" cetusnya sambil menyeretku ke sumur miliknya di belakang rumah.
"Sumur ini sangat dalam. Saking dalamnya, kalau kita menjatuhkan kerikil sambil menyulut rokok, habis sebatang baru terdengar suara 'pluk!' kerikilnya tiba di dasar!" 😆jelas Pak Polo.
"Lho.. kok suaranya 'pluk' bukannya 'plung'?"😊 tanyaku.
"Soalnya hanya ada tanah di dasarnya. Airnya tidak ada!"
Woooh...
"Sejatinya masih ada satu sumur yang airnya sangat bagus di rumah Koh Swie, tapi sudah satu bulan ini tak ada yang berani menimba."
"Memangnya kenapa?"😇 tanyaku heran.
Pak Polo cerita, sebulan lalu Koh Swie gantung diri kerana masalah ekonomi. Sejak itu tak ada satu pun warga yang berani menginjak halaman rumahnya.
"Katanya si Engkoh masih suka nongol di halaman belakang, di sekitar sumur situ, hiii..,"😡 kata Pak Polo dengan wajah ngeri.
"Tapi bunuh dirinya tidak nyemplung sumur kan?"
"Tak. Gantung diri di beranda rumah."
"Yess! Nanti sore saya mandi di sana saja!"
"Woohh.. kalau Engkohe muncul, bagaimana?"
"Ya saya ajak mandi sekalian, he he.."😁
"Wah, edan sampean!"
Sorenya, ketika kawan-kawan setia menunggu air selang yang ngicir seperti pipisnya orang kencing batu, saya pergi berkalung handuk-(tuala) sambil membawa peralatan mandi lengkap.
"Arep adus ngendi, ndes?" tanya Juni heran.
"Di sumur Koh Swie."
"Yang gantung diri itu???"
Saya manggut. "Yuk, siapa mau ikut? Airnya ngebur, lhoh!"😎 pamerku.
Meski saya dorong-dorong sampai lecet, tak ada yang tertarik. Mungkin prinsip para gondes, lebih baik kecut badan daripada kecut hati!
Memasuki halaman belakang rumah Koh Swie, suasananya memang agak tintrim. Maklumlah, sudah 40 hari rumah ini tidak disentuh manusia.
Kamar mandi yang berkeramik putih tampak sedikit dikotori daun dan ranting. Tapi dibandingkan dengan kamar mandinya Pak Polo yang dindingnya dari gedek bambu, ya jauuuhh..
Saat menaruh handuk dan siap-siap nimba, saya dengar ada suara gemericik dari dalam kamar mandi. Wah, ada yang mandi rupanya! Bohong dong kalau dibilang tidak ada yang berani mandi di sini.
Saya dengar suara orang menciduk air dengan gayung, menyiram, menggosok badan, dan suara lelaki dehem-dehem kedinginan.
Khawatir dituduh "ikan lumba-lumba ikan gabus, ora melu nimba melu adus", Saya pun meraih karet-(getah) timba lalu mulai mengisi bak mandi. Saya cukup familiar dengan timba, kerana pernah menggunakannya ketika kecil di kampung dulu.
Saat air sumur yang jernih segar mulai memenuhi bak, tiba-tiba terdengar suara.. ceklek! Kunci gerendel kamar mandi dilepas dari dalam. Daun pintu terbuka, namun tak tampak sesosok tubuh pun keluar. Hanya jejak kaki basah terlihat bergerak menuju ke dalam rumah!
Saat saya lihat, ternyata lantai kamar mandi benar-benar basah, bahkan ada sisa air mengalir! Ada juga wangi sabun aroma melati tercium. Jelas ini bekas orang mandi. Tapi siapa? 😈
Nyatanya saya nimba persis di depan pintu tapi tak melihat orang keluar?😈
Wah, kalah cepat ini namanya. Mahu ngajak mandi lelembut, malah sudah keduluan. Ya wis sakkarepmu, mbut, lelembut! Saya perlunya mandi dengan air segar dalam jumlah banyak sepuas-puasnya! Yang butuh berccsih tak cuma dirimu, mbut!😰
Pulang ke rumah Pak Polo, saya pamer tubuh yang segar-wangi. Kawan-kawan semua pada iri. Tapi saat saya ceritakan kejadian tadi, semua bergidik ngeri, termasuk Pak Polo.
"Wah, kalau saya mending kecut daripada mandi berpartner lelembut," komentar Pak Polo.
"Halaah.. tak ada lelembut saja Bapake ini jarang mandi, kok.." tiba-tiba Ibu Polo yang sedang menyajikan teh nyeletuk.
"Huss... jangan membuka rahasia perusahaan!" semprot Pak Polo. Tapi kami sudah telanjur ngakak berkelanjutan.
Berhubung satu-satunya sumber air bersih yang tersedia di sumur Koh Swie tidak diminati, maka terpaksalah lima sekawan mandi di belik (sumur resapan) di pinggir kali. Waktunya dipilih malam hari. Maksudnya jelas, agar terhindar dari keterbukaan dan transparansi.
Repotnya, Retno dan Ranti tak berani mandi sendiri. Selalu minta diantar. Repotnya lagi, Widi, Setyo dan Juni penakut semua. Jadi mau tidak mau, saya yang dianggap paling kendel selalu ikut piket ngantar tiap malam.
Strategi duo R ini pinter juga. Saat berangkat, lampu senter cowok yang pegang. Tapi 100 meter menjelang belik, senternya mereka minta. Kami berempat diminta menunggu di batu besar di tengah kegelapan.
"Kok bukan kami saja yang pegang senternya, Nok?" tanya Widi suatu malam, saat kami menemani ke girli.
"Woo.. enak aja! Lha, nanti kami sedang mandi kamu main sorot kan berbahaya!" ujar Retno dengan wajah disadis-sadiskan.
"Ha ha ha, cerdas! Ya, sudah sana dibawa!"
Kami pun seperti Jaka Tarub menunggu bidadari mandi. Bedanya, yang ini Jaka Tarub-nya rombongan. Bedanya lagi, sambil digigiti nyamuk yang besarnya sak kebo-kebo dan dilingkupi aroma tak sedap khas kali-(sungai).
Saat sedang khusuk menunggu, tiba-tiba terdengar suara srreeekkkk.... brugh!! yang cukup keras dari pinggir kali. Belum lagi sadar suara apa itu, byar! cahaya senter menyorot ke arah datangnya suara, diiringi teriakan Retno dan Ranti. Pet! Lampu senter kembali mati.
Hanya tiga detik, tapi cahaya senter yang dipencet Retno menjelaskan segalanya. Pertama, ada daun kelapa kering jatuh. Kedua, Retno sedang sabunan dan Ranti sedang shampo-nan!
Tak pelak, kami pun terkekeh-kekeh sampai sakit perut kerana tak menyangka akan disuguhi "film" di tengah kegelapan. Oalaaahh.. Jaga-jaga sendiri biar tidak disembrononi, malah akhirnya sembrono karepe dhewe!
Sejak peri(h)tiwa "senter maut" itu, duo R kapok-(jera) diantar cowok. Belakangan, yang ngantar mandi kalau bukan Mbok Yah pembantunya Bu Polo, Ya Bu Polo sendiri. Elok tenan, cah KKN aduse diantar Bu Lurah!
Toh masalah air tak kunjung selesai. Kali ini yang bikin pusing adalah selang air yang terlalu sering putus. Akibatnya, pagi-pagi Bu Polo sering kepreh-kepreh kerana gak ada air untuk menanak nasi.
"Ngene wae, cah. Kita main domino. Yang kalah hukumannya ngurut selang dari mata air sampai kolah (bak air). Setuju?" tantang Pak Polo.
"Siapa takut!" jawabku, diaminkan kawan-kawan cowok.
Jadilah malam itu kami tanding kompetisi memperebutkan piala Polo Cup. Juara 1 - 3 boleh tidur. Juara 4 dan 5 ngurut selang. W4Gindulnya, saya dapat posisi 4 dan Pak Polo paling buncit!
"Ndladuk ik.. Ya, wis ayo mas Gun kita menjalankan misi mulia ini," kata Pak Polo sambil menyambar lampu petromax yang akan dipakai untuk obor kerja.
Baru tahu, ternyata selang airnya panjangnya hampir satu kilometer! Membentang melewati ladang, kebun dan kalen. Ujungnya ada di sumber air di bawah pohon beringin kurung yang letaknya di bukit atas desa.
"Kita langsung ke sumber saja. Nanti ngurutnya dari atas ke bawah," kata Pak Polo. Saya manggut-manggut saja.
Sampai di sumber saya takjub. Ternyata pohon beringinnya besarnya sak alaihim. Akarnya berjuntaian dan saling silang satu sama lain. Di growongan bawah akar itulah bendungan mini tempat selang mengisap air berada.
Saat kami tengok, ternyata bendungannya berantakan. Tapi nanti dulu... di tanah basah yang porak-poranda kok ada cap telapak kaki bulat dengan empat jari berkuku tajam!
"Pak.. kok kayaknya itu tapak kaki Kyaine...." bisikku takut.
"Kyaine siapa?" kejar Pak Polo dengan wajah tak mengerti.
Sebelum saya menjawab, tiba-tiba terdengar suara auman yang dalam dari rimbunan semak dekat pohon beringin. Seketika bulu kuduk saya berdiri. Tak salah lagi, itu memang Kyaine!
Belum lagi sadar mahu bertindak apa, sekonyong-konyong terdengar suara gemeratak. Butiran tanàh beterbangan menimpa tubuh kami.
"Lariiii!!" teriakku.
Segera Saya tarik tubuh Pak Polo. Baru sekira 50 meter, lampu petromax terbentur pohon dan langsung mati. Saking takutnya, kami terus berlari dalam gelap. Tak peduli kaki kami habis terantuk batu dan tonggak-(tiang kayu) [hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara
Courtesy and Adaptation of Articles by, Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.comVIDEO;
No comments
Post a Comment