MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 32]
MISTERI KUNCEN Kisah Perjalanan Menggapai Menara Gading [Chapter 2 Part 32]
Cerbung (Cerita Bersambung) Horor, Humor, Komedi, Lucu, untuk hiburan para SahabatWAITING FOR GAMA
LANJUTAN CERBUNG KUNCEN
JAMBU METE(LER)
FORTUNA MEDIA - Jambu mete adalah makhluk yang paling tahan uji, baik mid mahupun semesteran. Saat vegetasi yang lain nangis dihantam kemarau, si jebemete ini justru sibuk berbunga dan berbuah. Elok tenan!Tak heran, banyak warga Dawungan jatuh cinta pada buah yang lupa musim ini. Bukan jambunya sih yang bikin termehek-mehek, tapi biji alias pentolnya yang bentuknya kayak monyet.
"Kalau warga Dawungan ditanya, binatang apa yang paling bikin bahagia, jawabannya adalah monyet," ujar Pak Polo.
"Monyet, bikin bahagia?" tanya kami.
"Ya. Monyetel radio, monyetel tip, monyetel tivi, kan semua bikin bahagia. Dan itu semua, belinya pakai biji monyet juga," jelas Pak Polo.
Wakaka.. dasar pelawak!😅
Tapi masuk akal kok. Sekilo pentol basah harganya Rp400, kering Rp750. Jika sudah digoreng dan dikemas, di mal jongkok Jatiroto harganya bisa meroket sampai Rp2.000 per kilo. Itu sama dengan ongkos buruh nyangkul seminggu.😄
Tak pelak, hari-hari gondes di Dawungan pun segera akrab dengan si buah "kualat" yang kepalanya terjungkir di bawah ini.
"Kualat kerana porn0-aksi. Yang lain bijinya pada di dalam, tapi jambu mete berani-beraninya pamer bijinya di luar," cetus Widi.
"Ha ha ha.. cah edan!" sembur kami terbahak.
Pagi itu Bu Polo meminta kami out bound--out to kebound--untuk ikut panen pentol mete yang sebagian memang mulai lansia (lanjut usia).
Melihat si monyet bergelantungan di dahan rendah, Widi tak tahan. Ia langsung memetik satu yang paling besar, merah dan berbau harum. Langsung dipotek pentolnya, daging buahnya digigit dan disesap sarinya dengan rakus.
"Segaarr! Agak asem, tapi juicy banget!" komentarnya.
Mendengar promo Widi, Setyo dan Juni terpikat. Langsung saja dua tak bersaudara itu ikut mengganyang jambu sampai habis dua biji. Saya sebenarnya tertarik, tapi hidup tak senggragas itu, kawan.. he he..😎
Sedang asyik menyeruput jus alami, Pak Polo mendekat dengan tergesa. Melihat ampas jambu berceceran di tanah, dia melongo. "Hah, jambunya langsung sampean kremus tadi, tidak dicuci dulu?"
"Iya pak, langsung haaap! Segar je!" jawab Widi polos.
"Gak gatal?"
"Eh, iya, sedikit... di lidah dan bibir...," jawab trio WJS.
"Celanaaa!" ujar Pak Polo sambil menepuk kepalanya sendiri. "Sekarang juga, yang makan jambu segera pulang dan cuci mulut sebersih-bersihnya!" usirnya.
Waaa... tanpa menunggu aba-aba start, tri-gondes itu berebut pulang dan lari ke kamar mandi. Tentu dengan wajah penuh tanda seru, tanda kutip dan tanda tanya.
Sesuatu yang tidak kami mengerti, di balik semlohai dan meronanya body si jambu, ternyata tersimpan getah yang berbahaya di tangkai monyetnya. Siapa kena, bisa parah sak Quinn-nya.
Dan benar, sore harinya mulut Setyo, Widi dan Juni memerah seperti habis lipstik-an. Sudut bibir dan sekitarnya timbul bercak seperti bekas disundut rokok.
"Itu namanya dhadhaken," kata Bu Polo. "Lha di sini, jambu mete lazim untuk makanan sapi, kok."
"Tepat sekali. Kan tadi sapinya sudah makan masing-masing dua!" celetuk Retno sambil ngekek.
"Jindul ik! Sudah gatal tertimpa sapi pula!" keluh Setyo diikuti tawa perih dua gondes lainnya.
Toh kami tidak kapok. Tiap pagi kami selalu mengawali hari dengan James Bond--jam-jam stay di kebon. Apa lagi yang kami cari, kalau bukan pentol!
Tidak perlu manjat sih, cukup ngambil buah yang berguguran di tanah. Patahkan pentolnya, masukkan karung plastik, bawa pulang. Jambunya? Permisi, mohon maaf, ditinggal saja... Trauma, ndess!
Sampai rumah, kami bikin api di halaman. Bukan hanya untuk menghangatkan tubuh yang dilanda bediding, tapi yang terpenting adalah untuk.. mbakar pentol!
Caranya mudah saja, tinggal masukkan pentol ke dalam bara. Jika sudah menghitam dan meletus.. tinggal dicuthik. Jepit pakai bambu, lalu ketok pakai martil. Dan kacang mete yang gurih pun akan meloncat dari cangkangnya. Tinggal lebb...
Gaes, yang namanya pentol bakar itu rasanya nikmat pangkat tiga. Apalagi kalau gosong dikit, yummy. Chef Gordon Ramsey pun dijamin tuman kalau makan pentol gosong. Ada aroma karamelnya gitu. He he he...😍
Namanya mahasiswa jurusan Tata Boga, melihat puluhan kilo buah jambu hanya untuk makanan sapi, Ranti tersinggung berat.
"Jindul iki... Mosok sapi tiap hari minum jus, keenakan! Besok jambunya saya bikin anggur saja, biar ada nilai tambahnya!" celetuknya.
Wah.. keren inih.. sudah ketularan Pak Harmoko, pakai "nilai tambah" segala!
Entah bagimana membuatnya, sore harinya duo R plus Bu Polo tampak sibuk menyaring cairan kental berbau semriwing-manis-wangi-menggiurkan ke dalam panci.
Weh, anggur jambu cap "Tiga Putri Dewi" sudah siap rupanya! Biarlah Bu Polo urun jambu, duo R urun tenaga, saya sih urun lambe saja. Tapi saat mahu mencicipi, tangan saya ditepis Ranti.
"Jangan minum dulu, ini masih sirup! Harus didiamkan satu minggu dulu sampai terfermentasi, baru jadi anggur!" ujarnya sambil buru-buru memasukkan panci yang tertutup rapat ke almari.
Wooo... galak'e!
Lidah saya yang sudah telanjur kemecer pun terpaksa saya format ulang ke mode standby. Tahu kan seperti apa rasanya gleg yang tertunda? Kecuuutt...
Tidak seperti KKN sekarang yang Kerja-nya tak begitu nyata, KKN di Dawungan jadwalnya sangat padat. Timeline-nya super ketat, sampai ibaratnya pipis pun harus aplusan. Ya, dasarnya airnya langka, he he he..😅
Tapi sehari-harinya memang full action kayak film-nya Chuck Noris. Widi bikin papan monografi dan administrasi Desa. Setyo dan Juni mengajar anak SD, membina Hansip dan Karang Taruna. Retno dan Ranti aktif di PKK, Posyandu dan Dasa Wisma. Sedangkan saya dipercaya menggalang dana untuk membuat tugu dan Mushala dusun Dawungan sambil mengajar ngaji di malam hari.
Itu yang tercatat. Belum termasuk kegiatan ikut "ritual" ceki yang waktunya tak pasti, ngurut selang, menghadiri undangan maksi alias makan sana-sini, dan men-download pentol tentu saja. He he..😇
Saking sibuknya, sampai lupa kalau punya tabungan anggur. Baru ingat ketika dua minggu kemudian Pak Polo membuka almari dan mencium bau segar dari dalamnya.
"Ini apa, kok baunya seperti Cica (Ciu Cangkol, minuman ker4s tradisional) Bekonang?" tanya Pak Polo sambil menunjuk panci yang ditutup kain lap kotak-kotak.
"Waduh, hampir lupa. Itu anggur jambu mete, pak!" jawab Ranti.
"Oooh, anggur.. boleh diminum?
"Silahkan dicoba, kalau Pak Polo kersa."
"Pas ini. Mumpung badan lagi pegel, ada anggur..," ujar Pak Polo sambil meraih gelas.
Ranti hanya tertegun ketika Pak Polo menenggak anggur satu gelas Palem penuh dengan metode one gleg!
"Weh, kemranyas. Mantap tenan!" komentar Pak Polo sambil beranjak ke peraduan, siap parkir badan.
Baru saja memindahkan anggur ke botol, Mbah Kakung (kakek Pak Polo) yang baru pulang ngerumpi di Lik Sono masuk ruangan. Melihat Ranti menuang minuman, Simbah yang kehausan langsung tertarik.
"Wah, minuman apa kuwi, nak, kok baunya enak? Mbok saya minta."
"Monggo, Mbah, dibawa saja," kata Ranti sambil mengangsurkan botol bekas kecap yang sudah penuh terisi anggur.
Simbah pun membopong botol itu ke kamar tidur dengan wajah sumringah.
Sekira setengah jam kemudian terdengar suara orang gelegeken (bersendawa) bersahutan. Besar-besar, panjang dan berulang, seperti glegekennya orang masuk angin. "Oiiiggh... oiigghh...!!"
Tak lama berselang, terdengar dua orang berbicara dari kamar yang berhadapan, suara Simbah dan Pak Polo. Seperti orang sedang dialog, Tapi Jaka Sembung naik angkudes, gak nyambung, ndes!
"Itu singkongnya segera dimasukkan gudang," kata Simbah.
"Ada empat. Bulunya hitam dua, putih dua," sahut Pak Polo.
"Heii.. jangan tertawa! Ini ngomong dengan orang tua!"
"Lewat galengan saja... nanti jatuh!"
Ramai, disambung sendawa dan tawa berkepanjangan.
Saya dan kawan-kawan awalnya mengernyitkan kening. Tapi setelah Ranti menjelaskan sambil bisik-bisik, kami tertawa terkikik-kikik..
Ahihihi.. ternyata Pak Polo dan Mbahe ndleming kerana mabuk anggur jambu!
Entah dapat khabar dari mana, esok paginya, Mas Pardi, Mas Karso, dan Mas Slamet yang terkenal suka tenggeng tergopoh-gopoh mencari Ranti.
"Mbak.. masih ada?" tanya Mas Pardi.
"Apanya?" jawab Ranti curiga.
"Anggur. Yang kemarin mbak bikin."
"Ohh.. masih banyak."
"Di mana?"
"Di perut sapi. Tadi saya kasihkan ke sapi!"
"Waduuhh!!!"
Tiga pecinta doyong itu pun menghambur ke kandang.
Astaga.. Ternyata benar! Sapi (lembu) pak Polo teler! [hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh lihat disini linknya; Misteri Nusantara
Courtesy and Adaptation of Articles by, Nursodik Gunarjo
Editor; Romy Mantovani
Kredit Ilustrasi Image; pinterest.comVIDEO ;
No comments
Post a Comment