Cerpen@Hikayat Kyai Lentik Penguasa Gunung Puteri[4]"Duel Dengan Carik Sanusi Penculik Perawan Desa"

 Ok, Kita lanjutkan ceritanya, Dibagian ke-4 ini untuk memahami kisahnya Anda perlu dahulu baca bagian siri ke-3 disini;
Belum sampai setengah jam mobil Evo dan keluarganya pergi, datang lagi dua mobil, satu mobil Toyota model lama, satu lagi mobil sedan Polisi. Setelah mobil itu parkir, orang-orang yang ada di dalam mobil segera keluar, dari mobil Toyota Kijang, nampak keluar dua lelaki satu berperawakan sedang, bajunya warna coklat susu, umurnya sekitar empat puluhan tahun, orang ini bernama Setiono, sering dipanggil pak Nono, adalah Ketua Desa Pasir Seketi. Yang keluar dari mobil bersamanya adalah Carik Sanusi, orangnya berperawakan tinggi gagah, kumis melintang sangar. Sementara mobil yang satu lagi adalah mobil polisi, berisi tiga orang polisi. Kelima orang itu segera menemui Kyai di rumahnya.

Aku tak mengerti masalahnya, sampai Kyai memanggilku, kerana aku sedang memasak di dapur menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Merebus singkong, dan membakar ikan masin. Bau ikan masin yang terbakar segera memenuhi udara, memanggil cacing dalam perut bergerak-gerak sehingga menimbulkan suara berkerutan, rupanya bau ikan masin pun sampai ke rumah cacing-cacing dalam perut itu.

“Feb, dipanggil Kyai..” suara Majid yang wajahnya melongok dari balik gedek yang sebatas dada, pemisah dapur dengan dunia luar, yang memanggil Aku dengan panggilan Feb, cuma Majid, dia adalah teman sekolahku di SMA. Kerana tahu aku di pesantren lalu dia menyusul, Majid sama denganku dari Daerah Tuban cuma beda Kecamatan, dia dari Bangilan, perawakannya biasa malah agak pendek, tingginya setelingaku, wajahnya pas-pasan, ganteng tidak, jelek ia, kerana wajahnya berlubang-lubang bekas jerawat batu. Tapi memang hobynya memicit jerawat, kalau sudah mencet jerawat. Maka ia akan berusaha sekuat mungkin supaya jerawat itu kena, kalau sudah kena, senangnya seperti mendapatkan harta karun terpendam.

“Gantiin di dapur ya?”

“Udah sono, biar aku yang ngurusin”

Akupun melangkah meninggalkan dapur menuju tempat Kyai menerima tamu. Nampak di situ juga Mujahidi, rupanya dipanggil juga, Mujahidi adalah santri (pelajar pondok) dari Bekasi. Sebenarnya awalnya bukan santri, tapi berobat kerana kecanduan narkoba, setelah sembuh, kemudian memutuskan untuk menjadi santri.

Mujahidi perawakannya tinggi kurus, Aku saja sepundaknya, umurnya masih delapan belasan, bibirnya tebal hitam, sering sariawan, lalu dikelotoki kulitnya, wajahnya agak lonjong, sama dengan Majid, wajah Mujahidi juga berlubang-lubang kerana bekas jerawat batu, hobinya sama dengan Majid, memenceti jerawat, Kalau Mujahidi sudah memenceti jerawat maka ia akan lupa waktu, lupa makan, bedanya dengan Mujahidi kalau Majid mencet jerawatnya kalau sudah meletus, bekas letusannya diusap-usapin ke tembok, tapi kalau Mujahidi lebih profesional mencetnya saja dia pakai kain, sehingga kalau jerawatnya meletus, letusannya tak kemana-mana, kainnya juga dibasahi cairan antiseptic.

Peralatan pencet memencet jerawat milik Mujahidi juga lumayan lengkap. Yang Aku pernah lihat, ada batu kali, manfaatnya adalah kalau batu dijemur di matahari, dan setelah panas maka ditempelkan, ke jerawat yang belum matang, maka akan segera matang, ada lagi amplas nomor 2000, gunanya untuk mengamplas tempat jerawat yang terlalu dalam. Ada juga jarum jahit, untuk mengorek-ngorek jerawat yang sudah terlalu berakar.

Aku segera duduk di sebelah Mujahidi, yang melemparkan senyumnya kena mataku,

“Mas Iyan.” kata Kyai.

“Iya Kyai.”

“Entar malam, bareng Mujahidi ikut ronda sama orang Pasir Seketi. Mereka memerlukan bantuan kita, untuk menangkap pencuri yang meresahkan warga.”


Akupun mengiyakan, sambil melirik Pak Lurah dan rombongannya. Maka setelah Sholat Maghrib, dan menjalankan wirid wajib, Aku dan Mujahidi pun berangkat setelah berpamitan kepada Kyai. Gelap mulai merayap, kampung Pasir Seketi dari Pesantren jaraknya kira-kira empat kilometer gitu, cuma harus melewati hutan pohon kopi yang panjang serta grumbul-grumbul yang gelap mengerikan, tapi kami menganggapnya biasa, kerana memang kami biasa hidup di alam bebas. Jam delapan lebih kami tiba di desa Pasir Seketi. Di hadang pemuda-pemuda Desa yang membawa golok parang.

“Siapa?” tanya pemuda gempal memakai topi coklat. Di belakangnya berdiri pemuda yang lain siaga.

“Aku Iyan.” jawabku keras untuk menghilangkan kecurigaan. Dan rupanya pemuda itu mengenaliku.

“Oohh, mas Iyan, ayo mas ke rumah Pak Lurah, Pak Lurah sudah menunggu, tadi berpesan kalau mas Iyan datang supaya langsung dibawa ke rumah.” kata pemuda itu seraya menggandengku. Diikuti oleh anggukan hormat dari sepuluh pemuda, di mata mereka memancarkan kekaguman ketika memandangku dan Mujahidi.

Memang kisah Pesantren Kanuragan Pacung, lereng Gunung Putri, sudah menjadi buah bibir, tentang Kyai dan Santrinya yang sakti-sakti, itu membuatku bangga sekaligus takut, takut satu saat cerita mereka terbukti, dan kami tak sakti, lemah, tentu akan kecewa mereka dan nama Pesantren Pacung hanya isapan jempol belaka.

Kami bertiga sampai di rumah Pak Lurah, dan memang di serambi depan Pak Lurah telah menunggu kedatanganku. Melihatku dan Mujahidi datang, Pak Lurah segera menyongsong kedatanganku.

“Ahh, saya sudah berharap-harap cemas, jangan-jangan nak mas Iyan tak datang, mari-mari.″ kami diajak masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi.

Sementara di meja terhidang beraneka macam buah, gorengan, dan entah makanan apa lagi, Aku yang tiap hari makan singkong rebus, tentu ingin mencicipi buah semangka yang telah dipotong-potong warnanya ada yang kuning dan merah. Aku melirik Mujahidi, tentu dia juga merasakan apa yang kurasakan, Ohh, benar sekali, kulihat jakunnya naik turun amat cepat. Kerana ludah yang ditelannya, dan tanpa sadar dia mengulurkan semangka kuning, Aku menyodok kakinya dengan kakiku. Kebetulan Pak Lurah ke dalam sebentar, memanggil istrinya, dan anaknya diminta menyediakan minuman, semangka kuning yang telah di tangan Mujahidi, segera cepat dilahap, ketika Pak Lurah keluar, semangka itu telah hilang termakan tak tersisa sampai kulit-kulitnya.

Pak Lurah keluar bersama istri dan anak perempuannya, sambil membawa minuman di nampan.

“Ini lho Bu,,.. murid dari Pesantren Pacung, anak-anak muda yang sakti-sakti.″ terdengar suara Pak Lurah yang benar membuat Aku jengah, serba salah, tapi aku berusaha bersikap wajar.

Anak Pak Lurah bernama Anggraini, wajahnya ayu wajah polos anak Desa, tapi aku kaget ketika Anggraini meletakkan minuman matanya mengerling, bagaimanapun aku lelaki normal wajarlah kalau berdesir hatiku. Setelah kenal-kenalan, istri dan anaknya Pak Lurah ke dalam, tinggal Aku, Mujahidi, dan Pak Lurah. Sementara satu pemuda dan dua orang Desa yang sebelumnya menemani Pak Lurah telah melanjutkan ronda. Aku melanjutkan pembicaraan sambil sekali-kali mencicipi makanan tahu isi dengan cabe kesukaanku.

“Sebenarnya ada pencurian yang bagaimana sih pak, kok sampai meminta bantuan Kyai?”

“Begini lho nak mas Febrian,” Pak Lurah mulai bercerita, setelah menarik nafas panjang.

“Desa Pasir Seketi adalah desa yang damai, tak pernah ada pencurian, kehilangan. Sampai satu hari… Anak perawan Desa ini ada yang hilang, namanya Nining. Sehari dua hari Nining tak muncul, kedua ibu bapanya menyangka Nining pergi ke kota menyusul abangnya yang bekerja di Jakarta, jadi ibubapanya kemudian menghubungi abang Nining yang ada di Jakarta, tapi abangnya mengatakan, Nining tidak menyusul ke Jakarta, semua orang bertanya lalu kemana Nining, sampai seminggu kemudian tubuh Nining ditemukan di sungai pinggir Desa sudah tak bernyawa. Semua orang geger, siapa yang tega melakukan kekejian seperti itu? Setelah diperiksa forensik ternyata Nining diperkosa sebelum dibunuh, Polisi berusaha menyelidiki tapi hasilnya tak ada. Pembunuh Nining tak bisa ditemukan.
Sampai sebulan kemudian, lagi-lagi Melati perempuan Desa ini pun menghilang, malah menurut ibunya Melati malam itu menghilang dari kamarnya, kerana memang jendelanya terbuka, seluruh Desa telah diubeg-ubeg tapi Melati tak ditemukan, sampai seminggu kemudian mayatnya ditemukan di sungai dulu Nining ditemukan. Ini jelas bahwa penjahat yang menculik adalah penjahat cabul belaka. Tapi kami tak tahu bagaimana dia beraksi.”


Pak Lurah berhenti bercerita, dia mengambil rokok Dji sam soe dan menyalakannya, Aku dan Mujahidi pun ikut-ikutan mengambil rokok dan menyalakannya, selama ini kami merokok tingwe' alias ngelinteng dewe'. Itu pun tembakau puntung, maka rokok Dji sam soe terasa nikmat sekali, asap mengepul-ngepul bergulung.

Pak Lurah melanjutkan ceritanya.
“Kami tak mahu kecolongan lagi, maka perondaan ditingkatkan, dibantu para Polisi, sampai seminggu yang lalu, kami meronda, salah satu rombongan peronda melihat bayangan dalam gelap malam, “Berhenti.!!” tapi bayangan itu, malah berlari, dan ternyata menggendong karung di pundaknya, tak salah lagi, penculik, sebagian rombongan segera mengejar, yang lain memukul kentongan memanggil bantuan, semua orang berlarian ke arah suara kentongan, dan setelah tahu semua mengejar, saat itu Pak Lurah sendiri dan tiga Polisi ikut mengejar. Betapa saktinya orang itu, dengan masih menggendong orang yang diculiknya dia melesat meloncati pagar meloncat ke wuwungan atap rumah, lalu meloncat ke atap yang lain, Polisi mahu menembak tapi takut mengenai perempuan yang dipanggul, lalu penculik itu berhenti dan menoleh, seperti mengejek. Lalu melesat cepat, dan hilang di telan kegelapan malam. Tempat sekitar penculik itu menghilang sudah kami aduk-aduk tapi kami tak menemukan apa-apa, dan yang hilang kali ini gadis bernama Tunik, seminggu kemudian kami menemukan nyawa Tunik dibuang begitu saja di sungai ujung Desa. Maka setelah kami adakan rapat, kami memutuskan meminta bantuan Kyai Lentik …,”
Belum lagi Pak Lurah menyelesaikan ceritanya, tiba-tiba terdengar jeritan istri Pak Lurah dari dalam.

“Anggraini..! Anggraini pak.”
Pak Lurah segera berlari ke dalam, aku dan Mujaidi segera mengikuti, nampak Bu Lurah menangis.

“Anggraini hilang pak,”

“Hilang gimana?”

“Tadi di kamar, sekarang nggak ada..”

“Sudah dicari kemana-mana?″

“Sudah pak tapi tak ada.”

Tiba-tiba ditabuh kentongan bertalu-talu. Aku segera menghambur ke arah suara kentongan, disusul Mujahidi.

“Kejar..!” “Penculik tangkap…!!!”
Aku berlari cepat, Mujahidi menyusul di belakangku, orang berserabutan mengejar. Tubuhku terasa ringan, Aku dapat menyusul yang lain, malah Aku tak sadar ada paling depan di antara pengejar. Kulihat bayangan meloncati sebuah pagar, di pundakya kelihatan karung, tentunya berisi, Ahh, pasti Anggraini, Aku makin cepat mengejar, semangat, meloncati pagar, meloncati sungai kecil, menerobos kebon pisang. Aku berhenti membungkuk mengatur nafas, mengusap keringat yang membasahi jidatku. Aku baru sadar kalau aku sendiri, kemana yang lain, Aku tengak tengok tak ada orang, yang lain pada kemana, tapi Aku tadi benar-benar melihat orang itu lari ke sini, dengan sinar bulan yang seperti kuku, kucoba mengenali tempat sekitarku.

Perlahan pandanganku mulai jelas. Kuburan. Benar tempat ini kuburan, mungkin tempat pemakaman orang Desa Pasir Seketi, tapi semakin ku perhatikan ini pemakaman tua, terlihat yang tak begitu terurus, dan batu nisannya dari batu yang menyerupai batu candi, semua hitam berlumut. Segala pohon melintang kesana kesini, rumput setinggi lutut, pohon besar di tengah pemakaman, sungguh tempat yang angker, mungkin dulu Aku kalau tidak digembleng Kyai mengitari Pulau Jawa dan tidur di sembarang tempat yang lebih seram dari tempat ini, tentu Aku akan takut.

Aku melangkah berhati-hati sambil kaki meraba-raba, sekali waktu mataku menengok ke arah aku datang, mengharap ada yang menyusulku, tapi keadaan teramat sepi, Aku mahu memutuskan untuk kembali, tiba-tiba terdengar, suara daun kering terinjak,

”Siapa?” kataku, tak yakin. Muncul di depanku bayangan manusia, pakaiannya hitam-hitam dan memakai penutup wajah hitam.

“Hehh, cuma mas Iyan ha ha ha.” suara orang itu dan bentuk tubuhnya yang tinggi besar, Aku seperti pernah mengenalnya.

“Hahh, kau penjahat cabul…”
kataku sambil masih tengak-tengok, mengharap orang yang datang.

Sebab kalau sampai Aku berhadapan dengan lelaki ini sendirian bisa berabe. Apakah begini rasanya kalau mahu berkelahi, tubuh gemetar. Bagaimana Aku menghadapi orang ini, kulihat tubuhnya tinggi besar, berotot, kalau dibandingkan denganku tubuh kecil ceking, tangan kecil kurang gizi, jangankan berkelahi salaman saja kalau tanganku diremasnya tentu seperti meremas kobis. Apalagi sampai berantam, Aku takut membayangkannya.

Terus terang selama ini belum pernah Aku berkelahi, pernah juga mahu berkelahi, waktu Aku kelas SD, kelas dua, kursi yang ku tempati ditempati sama anak lain, lalu ku suruh dia pergi, tapi tak mahu malah ngajak berantam, lalu dia memegang hidungku, Akupun menangis sekencangnya. Tanpa sadar ku pegang hidungku yang mancung. Wah bagaimana kalau nanti hidungku dipukul sampai patah, pasti tak bisa ku banggakan lagi, apalagi kalau sampai Aku mati.

Ahh, Aku kan masih punya hutang sama Teh Ipar, warung yang dekat pondok, apa Aku lari aja ya, eehh, pembaca jangan mengira Aku ini pengecut, Aku lari cuma mahu bayar hutang, apa Aku jujur saja ya, sama orang di depanku. Aku pergi dulu bayar hutang, nanti balik ke sini, dia bisa nunggu sambil merokok-ngrokok, kuraba sakuku, tadi sebelum pergi Aku sempat menyambar rokok Djisamsoe yang ada di meja Pak Lurah, tapi alangkah kecewaku, rokokku hilang pasti terjatuh saat kejar-kejaran tadi, Ahh, pupuslah harapanku, tapi kalau difikir-fikir kalau untuk bayar hutang saat ini Aku sendiri tak punya uang.

Ehh, kamu jangan hiha-hihik kalau baca, pasti kamu mengira Aku pengecut, bener Aku mahu bayar hutang tak bermaksud lari, ini pilihan sulit tak seperti yang kau kira, Aku hanya takut kalau mati masih menanggung hutang. Dan aku tak takut berkelahi, soal Aku di terminal Pulogadung ditodong preman kemudian semua uangku diminta lalu ku berikan, itu memang kerana Aku tak mahu berkelahi dan tak suka berkelahi, kalau mahu orang di depanku ini, daripada berkelahi mending main gaplek, atau catur, atau macan-macanan, atau yang lebih gampang lagi, suit..,

Yang kalah harus mengakui kalah, jadi tak ada yang terluka, Eehh, pembaca jangan ketawa-ketawa saja, Aku tahu kalian menganggapku pengecut, lagian kalau Aku mati, kalian tak akan tahu kelanjutan cerita ini, Okey, Aku ngalah memang Aku pengecut, lalu kalian mahu apa?

Bingung, terjadi pergolakan dalam fikiranku. Ahh, Aku masih berharap ada pemuda kampung yang datang kesini membantuku, susahnya kalau menjadi orang sudah terlanjur dianggap sakti, keringat mengucur, dari semua pori-pori tubuhku, bahkan punggungku basah.

Padahal udara sangat dingin sekali. Sesaat hatiku lega, ketika kulihat bayangan mendekati. Tempat Aku dan orang bertopeng itu berhadapan. Tapi rasa legaku segera sumpek lagi, kerana yang datang ternyata Mujahidi, Wahh, sama saja, parah. Bisa tambah runyam ini urusan. Gimana tak runyam, Mujahidi ini lebih pengecut lagi, mungkin embahnya pengecut. Sama ulat saja takut, jangankan ulat, di tubuhnya dirambatin kecoak-lipas aja gindrang-gindrangnya saja tak henti, merinding terus.

“Hua ha ha, rupanya pendekar dari pesantren Pacung lagi yang datang, sungguh bangga bisa bertarung dengan orang gagah.” kata orang bertopeng itu dengan nada menghina, mungkin dia sudah tahu kalau kependekaran kami cuma cerita saja,

“Heh Muja, kenapa kamu kesini..?” tanyaku berbisik, setelah dia ada di dekatku.

“Aku cuma ngikuti mas Iyan, soalnya tadi arah larinya kesini. Dia tuh siapa mas?”

“Ya, ini orangnya yang suka nyulik gadis.”

“Waduh, bahaya kalau begitu mas, mending lari aja mas..” Mujahidi beringsung sembunyi di belakangku, itu sudah Aku kira, jadi Aku tak terkejut melihat tingkah Mujahidi. Lalu bisikku,

“Eh apa enggak perlu pakai alasan?”
“Ya enggaklah ya lari, lari aja,” Aku baru saja mahu menyetujui usul Mujahidi, tiba-tiba orang bertopeng itu telah bicara,

“Ahh, jangan banyak bacot, terima seranganku.” kaki orang itu lurus menendang ke perutku, gerakannya begitu cepat. 'ngehg.! Perutku kena tendangan telak.

Aku tak sempat lagi mengelak, atau lebih tepatnya tak tahu cara mengelak, kerana memang tak tahu bagaimana bertarung, perutku mulas bukan main, tapi Aku masih untung jatuhku menimpa Mujahidi yang ada di belakangku.

Aduh perutku mules banget. Ahh, mungkin bisa jadi alasan Aku berak dulu, tapi setahuku dalam cerita silat tak ada yang menghentikan pertempuran untuk beol dulu. Apa nanti tak malu-maluin.

Tiba-tiba bruuuet…! Angin keluar tanpa bisa kucegah lagi, Mujahidi mendorongku, “Ahh, kentut, beuh baunya seperti kentut gendruwo…” Mujahidi memegangi hidungnya seakan-akan yang kukentuti hidungnya. Dia berbangkis-bangkis. Aku segera berdiri, setidaknya mulas di perutku berkurang.

Tiba-tiba kudengar bisikan halus di telingaku, jelas Aku tahu itu suara Kyai. “Mas Iyan, baca Basmalah.” panas seperti balsem Cap Elang, mengalir deras ke setiap urat-uratku, mengalir ke ujung jari kaki tangan dan kakiku. Sehingga tubuhku makin lama makin ringan, dan kakiku serasa tak menapak lagi ke bumi, mengalir ke kepala sehingga mataku makin lama makin jelas melihat, tempat ini pun menjadi seperti siang di penglihatanku. Bahkan seekor nyamuk yang terbang kian kemari tampak nyata sekali, suara nyamuk yang hinggap pun terdengar kakinya menapak di batu nisan.

Aku tak tahu apa yang terjadi denganku, hawa yang mengalir dari pusarku masih terus mengalir.

“Huahaha…., pendekar, jawara tai ayam, curot, murid pesantren Pacung tak ada isinya..,” suara orang bertopeng itu memecahkan sunyi yang menyelimuti perkuburan tua itu.

“Mati saja kalian.”
setelah mengatakan itu tubuh orang itu berkelebat. Kaki dihantamkan lurus ke arahku, kaki satunya menekuk. Tapi di pandanganku serangan itu seperti filem dalam gerakan lambat-perlahan..

Tiba-tiba kurasakan ada tenaga dari dalam tubuhku. Aku menyamping, kaki yang menderu ke arahku, ku cengkeram dan ku tarik sehingga lelaki itu terlempar mengikuti tendangannya. Dan tanganku menelusup menghantam lehernya dengan pergelanganku.

Hugh!!, tubuhku terseret oleh tubuhnya, kaki kiriku yang terangkat segera memalu belakang kepalanya sementara tanganku menarik lepas kain penutup kepalanya, dan bret..! Aku kaget bukan main.!

“Hah Carik Sanusi…!!”
Orang yang menjadi maling para gadis itupun kaget, tutup wajahnya lepas.

Lebih kaget lagi dia tak menyangka akan seranganku. Cepat beruntun, telak, Aku sendiri kaget, dan tak tahu apa yang menimpaku sehingga mampu menyerang begitu jurus yang kupakai seperti Jurus Taici. Mujahidi juga terlongo-longo menyaksikan sepak terjangku.

“Setan alas. Bajul-buntung, tai-kebo, jiampot, rupanya punya simpanan hahh,.” umpat Carik Sanusi panjang pendek, lalu segera mencabut goloknya.

Aku pun segera mencabut golokku. Golokku ini dibilang golok biasa ya, memang golok biasa, kerana sering kupakai memotong kayu bakar. Soal kesaktiannya sudah tak terhitung berapa nyawa ayam termakan ketajamannya. Golok ini pemberian Kyai, kerana memang Aku tak punya uang untuk membeli golok, golok ini bergagang kayu sawo kecik, dibuat oleh orang Ciomas. Kampung pembuat golok paling punya nama di daerah Banten.

Sebelum membuat golok besi ditancapkan di tanah pada waktu bulan purnama, dan baru diambil bulan purnama kemudian, sehingga besinya menjadi besi kuning tahan karat dan tua. Ilmu kekebalan yang bagaimanapun akan terluka tersentuh golok ini, kerana diisi oleh Kyai. Tapi Aku tak mahu terbawa oleh cerita mistik tentang golok, makanya golok ini kubuat bekerja di dapur.

“Suuiiing…!” terdengar desingan ketika Carik Sanusi menyerangku dengan ilmu goloknya, Aku tak mengerti ilmu golok, tapi yang jelas serangan Sanusi tak bisa dianggap remeh, goloknya menderu menjadi beberapa bagian, lagi-lagi kekuatan dalam tubuhku seperti menggerakkanku, Aku mengikuti saja. Ketika tubuhku juga berkelebat yang jelas di seluruh tubuhku seperti ada sentakan-sentakan kecil seperti setrum elektrik, yang membuat golokku berkelebatan kesana kemari. Sangat cepat dan tak terduga. Mengurung Sanusi dari segala arah, wut,wut, betbetbet. Begitu suara nya.

“Trraang…!” Golokku berbenturan dengan golok Sanusi, tak terasa apa-apa, tapi golok Sanusi terlepas dan dia memegangi tangannya. Ada kekuatan yang menarikku mundur, badanku pun melayang seperti kapas, kemudian hinggap di tanah dengan perlahan melayang. Kulihat Sanusi terhuyung, ternyata hasil seranganku sungguh mengerikan, beberapa detik kemudian terlihat di sana sini tubuh Sanusi penuh luka sedalam setengah senti. Bahkan pakaiannya tercabik-cabik tak karuan, Sanusi melenguh, lalu melemparkan sesuatu ke arahku, ku kira itu sebuah tulang kecil-kecil, dan “bulz” asap mengepul tipis.

Tiba-tiba saja telah muncul, empat pocong mengurungku, Aku kaget dan ngeri melihat empat pocong yang wajahnya ada yang cuma tengkorak, Ada yang biji matanya sudah hilang satu, biji mata yang satu keluar seperti mahu jatuh. Sementara tempat hidung telah gerowong, juga rahang dan giginya hilang, Aku pontang panting kerana pocong itu tak mempan dibacok, golokku membal ketika mengenai kain pocong itu sehingga Aku panik, dan hanya bisa menendang untuk menjauhkan pocong itu, tapi ketika pocong itu terjengkang maka tubuhnya seperti memantul, tegak lagi.

“Haaii Mujahidi bantu aku.” Aku berteriak panik kerana sudah lelah, tapi Mujahidi rupanya pingsan tubuhnya menyandar ke pohon sambil berdiri. Ahh, rupanya Aku harus berjuang sendiri, tenaga di dalam tubuhku melontarku ke atas, tubuhku melayang ringan di atas pocong-pocong, lalu bersalto dua kali dan hinggap di dekat Mujahidi. Ku dekati dia memang benar-benar pingsan, mungkin pingsan saat melihat pocong-pocong itu, Uuhh, matanya sampai melotot dan mulutnya terbuka lebar.

Tiba-tiba terdengar bisikan Kyai di telingaku, “Mas Iyan kalau membacok pocong itu baca takbir.”
Mendapat pesan seperti itu Aku lantas menggenjot tubuh, berkelebat bak anak panah lepas dari gendewa membabat empat pocong sekaligus. Sambil membaca takbir, dan memang golokku bisa merobek kain ules mereka. Dan blesss.! Begitu saja pocong-pocong itu berhamburan seperti debu yang ditaburkan ke udara. Hilang.!!

Aku berdiri sejenak memandang berkeliling, Carik Sanusi telah tak ada dia tadi melempar tulang kearahku langsung kabur. Ku dekati Mujahidi, Ahh, enak-enakan dia pingsan, Ku coba membangunkan dengan cara apa saja tapi tetap aja pingsan, Aduuhh, nih orang nambah kerjaan aja. Sekarang mungkin jam dua dini hari, embun sudah mulai turun. Aku berfikir pasti Anggraini di sembunyikan di perkuburan tua ini. Ku tinggalkan Mujahidi, menuju arah tadi Aku pertama kali Aku melihat Carik Sanusi datang, untung penglihatanku terasa terang, sehingga Aku dapat melihat jelas sekitarku.

Nampak makam-makam yang aneh berbatu nisan batu ukir, mungkin makam zaman Hindu kuno, pohon kemboja, randu alas, dan pinggir makam ditumbuhi pohon bambu yang rapat. Aku berhenti di sebuah batu nisan aneh bentuknya seperti kepala kuda, tapi patah sampai matanya, juga telinganya yang keatas sudah patah, Aku bersandar, tapi ketika Aku sandari batu nisan kepala kuda itu bergeser, Aku terkejut, kerana tanah yang ku injak terbuka begitu saja dan Aku pun jatuh ke sebuah tangga semen, menuju ke bawah. Sebentar Aku terkejut, rupanya di makam ini ada ruangan rahasia, pantas Sanusi selalu dapat menghilang kalau dikejar orang kampung.

Rupanya rahasianya di sini, perlahan ku turuni tangga, golok kukeluarkan, untuk berjaga-jaga dari sesuatu yang tidak kuinginkan, dinding bawah tanah ini lumayan rapi, kerana disemen walau asal-asalan dan kasar. Ada lampu minyak menempel di dinding yang cahayanya bergoyang-goyang kerana tertiup angin yang masuk. Wahh, gila juga si Carik Sanusi menciptakan tempat seperti ini, ruangan bawah tanah ini ada dua, Aku masuki ruangan satu, luasnya kira-kira empat kali tiga meter, ada meja kursi, piring, mangkok dan peralatan masak, ruangan ini rupanya dapur dan tempat makan, Aku ke ruangan satunya lagi, rupanya yang ini ruangan tidur, ada ranjang kayu berkelambu. Ku dekati ranjang kayu, dan Aku terkejut, menemukan Anggraini walau sebelumnya sudah mengira Anggraini ada di situ.

Mata gadis itu melotot, tubuh Anggraini digeletakkan begitu saja, di kiri kanannya bertaburan bunga aneka warna, pasti di sini juga gadis yang lain menemui ajalnya, Aku merinding juga membayangkannya, seperti banyak mata gadis yang mati memandangku, meminta keadilan, atas kehormatan dan nyawa yang terenggut tanpa sisa. Tiba-tiba hawa yang keluar dari pusarku mengalir, deras menuju jari telunjukku, dan kuikuti saja ketika tanganku bergerak, membuka totokan yang ada di tubuh Anggraini, Aku masih tak mengerti apa yang bergerak di tubuhku, Sampai di Pondok-Pesantren nanti Aku akan bertanya kepada Kyai.

Anggraini setelah bebas dari totokan segera saja menghambur memelukku. Menangis sejadi-jadinya. Aku sempat gelagapan, maklum Aku tak pernah dipeluk wanita, keringatan juga, gemetar. Apalagi pelukannya dengan erat. Aku lelaki normal, bagaimanapun juga, walau imanku kuat, pasti imron tak bakal kuat. Sebelum setan membisikkan yang enggak-enggak, Aku segera melepaskan tubuh Anggraini dari tubuhku.

“Sudahlah, sekarang sudah aman.”
“Tapi aku takut sekali kak.” katanya menghiba, air matanya berderai-derai membasahi pipi.

“Sekarang mari pulang, kuantar ke ayah ibumu, pasti mereka sangat mencemaskan keselamatanmu.”
Anggraini mengangguk, kemudian kami keluar, Anggraini masih menggenggam lengan kiriku. Mungkin takut, mungkin menyukaiku, Ahh, tak tahulah, Aku kasihan, gadis muda begini, mengalami pengalaman yang mengerikan, tak terbayangkan bagaimana dia diperkosa dan dibunuh seperti gadis-gadis yang telah mati menjadi korban Carik Sanusi.

Kami berjalan pulang ke Pasir Seketi, di tengah jalan kami bertemu dengan serombongan para pemuda yang semalam ikut mengejar Sanusi. Semua ribut menanyakan bagaimana Anggraini bisa ditemukan bagaimana penculiknya, agar tidak bertanya terlalu banyak, maka kukatakan penculik yang selama ini membuat resah warga desa adalah Carik Sanusi.

Sontak para pemuda itu kaget tak percaya, tapi setelah Anggraini mengiyakan, maka mereka marah, dan berbondong-bondong mendatangi rumah Sanusi. Aku dan Mujahidi melanjutkan perjalanan mengantar Anggraini. Sampai di rumah Bu Lurah yang sangat khuatir keselamatan anaknya segera menghambur memeluk anak semata-wayangnya. Tangis-tangisan ramai terdengar.

Sementara istri dan anaknya bertangis-tangisan pak Lurah mengajakku dan Mujahidi ke ruang depan, ku ceritakan dengan singkat sampai para pemuda yang mahu mendatangi rumah Carik Sanusi. Ketika tahu yang menjadi biang segala pembunuhan adalah Sanusi, Pak Lurah terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala tapi segera mengajakku untuk mendatangi rumah Sanusi sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Aku dan Mujahidi mengikuti Pak Lurah yang melangkah tergesa-gesa namun di jalan tak henti-henti mengucapkan terima kasihnya.

“Sekali lagi Aku dan segenap Warga Desa, khususnya Aku pribadi sangat berterima kasih dengan nak Mas Iyan, kalau tak ada nak Mas Iyan, Apa jadinya Anggraini, mungkin kami tinggal menunggu mayatnya ditemukan di pinggir kali.” Pak Lurah berjalan sambil menangis haru.

“Sudahlah pak, yang penting semua telah berlalu.” Aku mencoba bersikap bijak, walau kedengarannya ragu.

Yah, bagaimana kata bijak keluar dari mulut pemuda seperti Aku, rambut panjang sepunggung, walau selalu ku ikat dengan rapi, anting kecil di telinga kananku, wajah hampir mirip perempuan, yah mungkin kerana pergaulanku, sebagai pelukis motor airbrush. Sehingga tampang cuek dekil, seenaknya, semua melekat begitu saja dalam diriku, bagaimana mungkin, kata bijak bisa keluar dari mulutku, kalau ada kata bijak mungkin kata itu akan terbang kerana tak punya bobot mati. Sampailah kami di rumah Carik Sanusi.
Teriakan para pemuda ramai terdengar bersahut-sahutan.

“Bakar saja rumahnya, seret saja keluar, lalu bacok rame-rame. Dirajam saja, terlalu enak kalau mati cepat.”
Tapi semua pemuda tak ada yang berani maju, melewati pagar rumah Sanusi. Kerana setiap melewati pagar, paku-paku segera beterbangan, malah telah ada dua pemuda yang terluka lengan dan pahanya kena sambitan paku.

“Bagaimana ini nak mas?” tanya pak Lurah.

Aku menggeleng tak tahu.

“Hei Sanusi, Ayo keluar serahkan dirimu!” Tiba-tiba pak Lurah berteriak, dan teriakan pak Lurah dijawab dengan meluncurnya paku kecil hitam kearahnya. Aku segera berkelebat, tring…! Sepuluh paku rontok jatuh ke tanah, tertangkis golokku.

“Bagaimana ini mas?” tanya pak Lurah khawatir, Aku menggeleng.

“Tak tahu lah pak,”
sementara waktu telah beranjak pagi kicau burung mulai terdengar di sana sini, orang-orang sudah tak ada yang berteriak-teriak lagi, mungkin sudah lelah, sehingga keadaan hening.

Kulihat rumah Carik Sanusi, rumah yang besar namun biasa saja, dinding rumah bagian depan menggunakan kayu tanpa dicat. Dan dinding rumah bagian belakang menggunakan bambu yang dianyam, sedang lantai rumah geladak setinggi kurang lebih tujupuluh senti dari tanah. Depan pintu utama ada balai-balai yang ada tangga kecil dari kayu. Balai-balai kayu itu selebar dua kali empat meter. Tiba-tiba terdengar suara mobil datang, rupanya mobil Polisi. Dua polisi keluar dari mobil, lalu menghampiri pak Lurah,

“Bagaimana pak keadaannya?” tanya Polisi itu setelah ada di dekat Pak Lurah.

“Wah sulit pak.”

“Sulit bagaimana.”


“Yah setiap orang mahu maju langsung dihujani paku, sudah ada korban dua orang.”

“Bagaimana kalau kami menyerbu?”

“Apakah itu tak berbahaya sekali?” Aku maju menimpali.

“Pak Polisi, bagaimana kalau saya maju mengajak berunding Carik Sanusi?”


“Lho, anak muda ini siapa?” tanya Polisi itu ditujukan pada pak Lurah. Mungkin dia curiga, karena tampangku, yang lebih mirip kriminal daripada orang baik-baik.

“Ohh, dia murid Kyai Lentik, yang kami mintai bantuan, sebenarnya Sanusi sudah terluka parah kerana semalam telah bertarung dengan nak mas Iyan.”

“Ohh, Maaf saya tak tahu.”
wajah Polisi itu menatapku kagum, kemudian menghormatiku dengan sedikit membungkuk, sementara temannya manggut-manggut.

“Bagaimana menurut nak mas?” tanya Polisi itu ditujukan padaku.

“Yah gimana seandainya Aku maju mengajaknya berunding, sementara pak Polisi menghadang dari pintu belakang, kalau-kalau dia lari?”

“Yah patut dicoba.”
Dua Polisi itu pun kemudian berjalan memutar menuju belakang rumah, sambil mencabut pistolnya, Aku mengeluarkan golokku bersama sarungnya kepada Mujahidi.

“Wah, apa tak terlalu berbahaya mas? Nanti kalau mas Iyan disambitin paku, Aku kagak bawa tang untuk nyabutinnya.” Mujahidi menerima golokku dengan ragu.

“Udahlah berdo’a aja.”

“Kalau menurut saya dikepung aja, yang satu ngepung yang lain makan, gantian gitu, lama-lama juga dia pasti kelaparan dan mati.”

“Ahh, kamu ini.”  Aku menepuk pundak Mujahidi seraya melangkah maju, semua mata menatap ke arahku, orang-orang kampung Pasir Seketi juga sudah mengerumuni tempat itu mungkin juga dari Desa-desa tetangga, mereka menonton dari jauh, seakan ini tontonan yang gratis. Aku tak perduli, dengan langkah mantap Aku melangkah maju.

Semua mata tegang menatapku, Aku berhenti dua meter dari tangga kecil untuk naik ke balai rumah Sanusi, sambil menunggu kalau-kalau ada paku yang menyambar. Lengang Aku berkata, “Carik Sanusi, Aku tak bersenjata, Aku mahu berunding,” kataku seraya membuka lebar-lebar lenganku, kalau-kalau dia mengintip dari dalam maka akan melihatku tanpa senjata, lalu Aku memutar tubuhku untuk meyakinkan.

Suasana masih hening tak ada jawaban. Setelah menunggu beberapa menit Aku melanjutkan melangkah maju. Melewati anak tangga satu-satu, lalu menginjak papan paling tepi dari balai-balai rumah itu, “braak..,!!”

Pintu depan rumah itu lepas, melayang cepat ke arahku yang berdiri dalam posisi yang tak menguntungkan, di belakang pintu itu Sanusi yang dengan goloknya beringas menyerangku.

“Mampuslah kau, anak setan alas..! Kau telah menggagalkan semua usahaku selama ini.!” Aku yang terpelanting kerana hantaman daun pintu, tak bisa menghindar lagi ketika Sanusi menghantam kepalaku, semua orang yang menonton menjerit, mukaku pun pucat. Ahh, mati aku ! Tapi, “prak!!” Golok Sanusi telak mengenai kepalaku, tapi Aku tak merasakan rasa sakit sama sekali, malah kekuatan dalam tubuhku, menggerakkanku dengan cepat, tubuhku begitu ringan berkelit dari timpaan daun pintu tahu-tahu telah berdiri di belakang Sanusi, dan melakukan totokan sana-sini, sehingga Sanusi jatuh menimpa daun pintu yang jatuh dahulu.

Tubuhnya kaku, kerana totokanku yang tak ku sadari telah mencabut semua ilmu yang dimiliki, seketika semua orang bersorak. Lalu terdengar suara berteriak, “Habisi penjahat cabul…” langsung semua orang menyerbu. Pagar pun roboh diterjang orang-orang kampung yang marah, Aku tak bisa menahan ketika tubuh Sanusi dihujani golok, batu, pentungan, orang ramai rupanya teramat marah. Pengeroyokan baru berhenti setelah terdengar suara tembakan.

Semua orang kampung yang mengeroyok mundur, tubuh Sanusi, tak berbentuk lagi, Aku yang berdiri di atas balai-balai melihat dengan jelas, betapa mengerikannya, wajahnya telah tak dikenali lagi, terlalu hancur, juga tubuhnya sudah tak karuan, darah seperti dituang begitu saja, sungguh kengerian yang tiada tara, Aku berjalan meninggalkan tempat itu menghampiri Mujahidi yang juga terbengong, Aku segera menarik tangannya unuk segera meninggalkan tempat itu, Pak Lurah melihatku, dan menghampiri.

“Nak Iyan, mampir dulu ke rumah dan tunggu aku di rumah, biar aku mengurus dulu di sini.” Aku manggut aja, lalu menyeret Mujahidi untuk bergegas pergi. Dalam perjalanan, Mujahidi selalu menyanjungku.

“Ah benar-benar tak menyangka saya, kalau mas Ian sehebat itu, punya ilmu kebal lagi, Uh uh, apa tak sakit mas tadi dibacok di kepala? Wah saya ampek teriak mas tadi, mengira kepala mas Iyan pasti belah, ee, ternyata tak apa-apa.”


To be Continued.....

Kredit Image by Google Image.

(Courtesy to Chuuzein.Sazali-yang telah mengizinkan kisah gurunya ini saya sharing di blog ini)
=======================================

Peringatan; Dilarang Keras meng-copy,mem-posting, menyalin secara keseluruhan artikel ini.tanpa izin Admin Blog ini. Jika terjadi pelanggaran tersebut Anda akan ditindak mengikut Undang-Undang yang berlaku di negara Anda.
@Copyright by FortunaNetworks.Com.

WARNING; It is forbidden to copy, post, copy this article entirely without Admin Blog permission. In case of any such violation you will be prosecuted following the applicable laws of your country.
@ Copyright by FortunaNetworks.Com

No comments