MY HUSBAND IS PARLIN [Part 10]
Novel @Cerita Bersambung (Cerbung)
@Komedi & Humor
MY HUSBAND IS PARLIN
Part 10
" Biar Suami Jadul, Yang Penting Duit Ngumpul ".
Bercanda Dalam Hinaan
FORTUNA MEDIA - Kenapa pilihan sulit begini datang padaku? Aku tak ingin kehilangan Suami juga tak ingin kehilangan Saudara. Ini hanya salah faham. Akan tetapi para Saudaraku sepertinya sudah emosi. Bang Parlin pun untuk pertama kali kulihat dia emosi.
"Ayo, Dek!" kata Suami lagi, tangannya masih terulur.
"Maafkan Aku, Kak, Bang, Adikku semua, Aku pergi," kataku akhirnya. Kuraih tangan Bang Parlin, kami pun pergi.
"Aku merasa bersalah, Dek, ayo kita kembali, biar kujelaskan semua," kata Suami ketika kami sudah di atas motor.
"Percuma Bang, mereka memang benci Abang," kataku kemudian.
"Kok benci Abang, memang Abang salah apa?"
"Pas kita dijodohkan pun, Abang dan kakakku gak setuju."
"Biar Abang minta maaf sama mereka, Dek,"
"Lho, Abang kan gak salah?"
"Minta maaf demi keutuhan keluarga, Dek,"
"Sudah, tak usah, Bang, nanti mereka makin melanjuk, Adek juga tidak tega kalau Abang terus dihina," kataku kemudian.
READ MORE
MY HUSBAND IS PARLIN [Part-7]
MY HUSBAND IS PARLIN [Part 8]
MY HUSBAND IS PARLIN [Part 9]
Kami pun pulang ...
Kami tetap datang tahlilan, Aku antar Suami malam hari, biarpun tak mereka tegur, kami tetap datang. Hingga malam kedua, Adikku yang paling bungsu bicara pada kami.
"Kata Abang habis tahlilan nanti jangan langsung pulang dulu, kita musyawarah," kata Adikku tersebut.
Aku dan Suami menurut saja, setelah semua orang pulang, kami pun berkumpul di ruang tengah.
"Begini, besok malam kan malam ke-tiga hari tahlilan, seperti tradisi di sini akan ada nasi berkat serta kue-kue, jadi kita perlu dana sekitar dua juta," kata Abang yang tertua.
"Urusan dana kalian lah dulu yang lumayan itu," langsung disambut kakakku yang nombor dua.
"Kamipun lagi susah, tambah lagi ini bulan tua," kata Adikku.
Aku dan Suami tetap diam, ingin rasanya Aku membantu, tapi takut mereka tuduh pula wang ngepet.
(Ngepet ini istilah cari duit pakai ghaib/jin)
"Jadi bagaimana? kita tiadakan saja?" kata Abang tertua.
"Memangnya wang kemalangan tidak ada?" Aku akhirnya bicara juga.
"Ada, tapi kan sudah habis untuk biaya ini dan itu," jawab adikku.
"Berapa yang diperlukan?" tanya Suami.
"Kan sudah dibilang, sekitar dua juta," jawab kakakku.
"Kami talangi semua, ambil duitnya, Dek, wangmu bikin, nanti wangku dikira pula hasil ngepet," kata Suami.
Semua terdiam, Aku keluar untuk mengambil wang ke ATM, kali ini Aku pakai ATM-ku, kerana wangku juga masih ada, ditambah lagi kalau wang sapi itu sudah masuk.
Aku terkejut melihat saldo ATM-ku, kukira wang sapi itu hanya sekitar dua puluh juta, ternyata saldoku sudah tujuh puluh juta, seumur hidup belum pernah Aku punya wang segitu. Aku ambil seperlunya saja, dua juta sesuai permintaan mereka. Aku kembali dan memberikan wang tersebut pada Abangku yang tertua.
"Satu lagi, kebetulan kita semua di sini, Aku ingin bicara perihal warisan, seperti kita tahu, warisan orang tua kita hanya rumah ini, jadi biar bisa dibagi, kita jual saja, taksiranku rumah ini laku tiga ratus juta, kita bagi sesuai kebiasaan saja, yang lelaki dapat tujuh puluh juta seorang yang perempuan dapat tiga puluh juta" kata Abang tertua.
"Aku tidak setuju rumah ini dijual, banyak kenangan di sini," kata Adik perempuanku.
"Jadi bagaimana, kan tidak mungkin kita belah membaginya?"
"Biarkan saja di sini, siapa yang mahu tinggal boleh," kata Adikku lagi.
"Tapi kami lagi perlu wang ini," sambung Adik-Iparku.
"Sudah, Aku yang beli, tapi dua ratus juta, itupun wangnya dua bulan lagi," kata kakakku.
Aku kenal kakakku ini, dia tukang ngutang, wangku pun sudah sering dia hutang dan tak pernah dibayar. Dugaanku dia mahu gadaikan rumah ini dulu baru wang gadainya dia kasih kami bagi.
Suami lalu berbisik ke telingaku,
"bilang kita yang beli," bisik Suami.
'Kenapa bukan Abang yang bilang," jawabku sambil berbisik.
"Ini rumah kalian, Abang tidak boleh ikut campur," kata Suami masih dengan berbisik.
"Baik, kami yang bayar tiga ratus juta," kataku kemudian.
"Tunai?" tanya kakak iparku.
"Ya, tunai,"
"Dari mana pula kalian ambil wang segitu?" kakak ipar ini memang bicaranya selalu merendahkan.
"Mudah saja, Aku ngepet dulu malam ini, besok pagi sudah ada wangnya, kami tambah jadi tiga ratus dua puluh juta." Suami tiba-tiba bicara membuat semua mata melihat ke arahnya. Kucubit paha Suami, gemas juga, dianggap orang dia miskin, dia terima, dianggap orang dia ngepet malah dia iyakan.
"Bagaimana? kalau ditunggu sampai laku, bisa sebulan, dua bulan, bahkan bisa tahunan, dijual cepat pasti murah, sementara kalian perlu wang, jadi Aku ngepet saja, urusan dosanya biar Aku yang tanggung," kata Suami lagi.
Semua terdiam.
"Baik, kita sepakati, tapi harus besok pagi wangnya," kata abang yang tertua.
"Pagi sekali tidak bisa, kerana siang dulu baru bisa kembali jadi orang," kata Suami lagi. Aku makin gemas, kucubit pahanya makin keras.
"Aduh!" Bang Parlin akhirnya mengaduh juga.
Rapat ditutup, kamipun pulang, dalam perjalanan pulang ku omeli Suami habis-habisan.
"Apa sih, susahnya bilang sawit Abang luas, sapi Abang banyak?" kataku seraya mengemudi.
"Abang kesal, Dek, belum tiga hari mereka sudah bicara warisan," kata Suami.
"Iya, gak gitu juga kali, masa" Abang bilang Abang ngepet?"
"Abang itu sesuai anggapan orang, bila dianggap orang Abang miskin, ya, miskin, dianggap orang kaya, ya, kaya."
"Abang aneh,"
"Ha, itu satu lagi, bila dianggap Adek, Abang aneh, ya, Aneh," kata Suami.
Aku makin gemas saja.
Sampai di rumah Aku masih terus mengomel, akan tetapi Suami malah ngajak bercanda.
"Jaga lilin ya, Dek, Abang pergi dulu cari wang," kata Suami, kubalas dengan lemparan bantal.
"Jangan sampai lilinnya mati, ya, Dek," katanya lagi seraya menghidupkan lilin. Ini Suami ternyata bisa juga bercanda, tuduhan orang pun dia buat sebagai candaan.
Tok ... tok ...
Terdengar suara ketukan di pintu diiringi suara salam dari seseorang. Segera kubuka pintu ternyata abang Ipar-suami dari kakakku yang datang. Saat itu Suami masih memegang lilin candaannya.
"Ada apa, Bang, silakan masuk," kataku kemudian.
"Parlin, tolong dulu Aku, Aku sudah lelah dikejar hutang terus, ajari dulu Aku ngepet," katanya setelah duduk.
Aduh, Abang ipar ini ternyata menganggap Bang Parlindungan bicara serius, harus bagaimana lagi ini, kebetulan pula dia lihat Suami memegang lilin.
"Kakakmu banyak hutang, Nia, di mana-mana hutangnya berserak, makan pun jadinya tak enak, tidur tak bisa nyenyak, Aku sudah putus asa," kata Abang iparku ini lagi.
Kulirik Suami dia justru memegang mulutnya menahan tawa.😂 [hsz]
To be Continued...
Untuk Anda yang belum baca siri cerbung yang sebelumnya,
Anda boleh baca disini ; Novel Collection
Ilustrasi Image; Doc, Romy Mantovani
#indonesia, #Novel, #NovelKomedi, #CeritaBersambung, #Cerbung, #SuamikuJadul,
VIDEO :
No comments
Post a Comment