KISAH SUFI, SANG KYAI [1]

<img src=https://fazryan87.blogspot.com".jpg" alt="KISAH SANG KYAI [1]">

KISAH SUFI, SANG KYAI [1]

Kisah Hidup, Kisah Nyata

Part-1

FORTUNA MEDIA- KISAH SANG KYAI ini adalah kisah sebenar, yang ditulis sendiri atas pengalaman pribadi seorang murid Kyai Lentik sendiri yang kini juga telah menjadi guru pembimbing di Majelis Thariqat Qadiriyah Wa Naqshabandiyah Syathariyah (TQNS) di Jawa Timur Indonesia.

Cuma ada beberapa tambahan story untuk membuat kisah lebih menarik dan para pembaca dan pengunjung blog ini tidak bosan membacanya.

Perlu pembaca ingat, bahwasanya setiap episod ini saling berkaitan, walaupun judulnya berlainan. So, pastikan Anda membaca setiap threads yang sebelum artikel ini. Terima Kasih. 

Dari Penulis

Tulisan ini berisi sebuah cerita, sebagian kuambil dari perjalanan hidupku sendiri, pengalaman yang ku rangkai dengan keterbatasan dan kedunguanku akan makna hikmah suatu proses perjalanan, ini sebenarnya ku tujukan sebagai pengingat bagi diriku sendiri, ku tulis agar aku tak lupa, kerana lemahnya akalku, sehingga jika aku ingin mengingat, aku cukup membuka kisahku.

Dan yang ku tulis ini boleh dianggap suatu khayalan semata, kerana aku orang yang suka mengkhayal. Siapa saja yang ingin mengkhayal sepertiku, bisa membuat tulisan seperti yang ku buat, tak usah meributkan khayalanku ini benar atau salah, ini juga ku tulis dari huruf A sampai Z dan dari angka 0 sampai 9, juga tanda petik dan koma, dan titik, jadi pasti semua orang juga bisa melakukannya, apalagi kalau menulis pakai komputer juga tak perlu meributkan membuat m itu akan beda satu dengan yang lainnya, m m m, 3 saya jejer, hasilnya sama, jadi mari silahkan menulis karya, berkarya dari yang kita tahu,
menulis dari yang kita mampu, jika tidak bisa untuk orang lain, maka pasti akan berguna untuk diri sendiri.

Aku pribadi, menulis ini, tak ingin orang percaya dengan kisahku, sebab aku sendiri bukan tipe orang yang mudah percaya pada orang lain. Maka aku juga menyarankan, jangan percaya pada apa yang aku tulis. 
Juga jangan baca, jika tidak suka, sebab aku menulis bukan agar disukai siapa saja. Ini kutulis, biarlah ku baca sendiri. Dan siapa yang ikut membaca, supaya jangan mengganggu konsentrasiku menulis. Aku juga tidak mengharap dikomentari, walau jika ada yang komentar aku juga tak menutup mata. Siapa saja punya hak menulis, sebab kenyataannya semua punya jari sama, ini tulisanku, mana tulisanmu?
Ini karyaku, mana karyamu?

JIKA TIDAK MAMPU MEMBANGUN RUMAH,
JANGAN MEMBAKAR RUMAH TETANGGAMU.

Jika tidak bisa berkarya, maka jangan merusak karya orang lain,
maksudku jangan menyusahkan orang lain. Berkaryalah, menulislah tulisan yang kamu tahu, jangan menulis yang kamu tak tahu, lantas menyulitkanmu dalam menjelaskannya.
Mari berkarya. Wassalam, 
FEBRIAN.

   BACA JUGA,

Misteri Nusantara

SANG KYAI-1

Pagi belumlah terang, lereng Gunung Putri masih diselimuti kabut tebal, udara dingin masih menusuk tulang. Di lereng gunung sebelah selatan, nampak berjejer kobong pondokan santri tak teratur. Sayup terdengar suara wirid para santri dibagian tengah pondokan, rumah bambu yang tak sederhana, dinding yang dianyam dari bambu dengan rapi. Juga alas hamparan dari bambu yang dipukul hingga pecah, kemudian dihamparkan dengan rapi, sehingga kalau diinjak kaki akan terdengar bunyi derit bambu yang khas.

Nampak para santri yang jumlahnya 15 orang duduk melingkar khusuk dalam wiridnya. Sang Kyai yang juga ada dalam lingkaran juga duduk bersila, orang tak akan menyangka mana Kyai mana murid. Sebab semua sama, hanya ketika Sang Kyai mengangkat tangannya dan wirid semuanya berhenti. Kemudian Sang Kyai menyuruh wirid yang lain, santri pun melanjutkan.

Orang tak akan menyangka yang disebut Kyai ini seorang remaja, kira-kira umurnya 12 tahun, kulitnya putih bersih, dengan wajah biasa, namun memancarkan wibawa yang tiada taranya. Presiden sekalipun akan dibuat tunduk bila berdiri di hadapannya.

Di sebelah rumah Sang Kyai ada rumah bambu lagi yang lumayan besar, dindingnya dari kerai, yaitu bambu yang disisik halus kecil-kecil kemudian disusun rapi dengan tambang, sehingga bisa dibuka tutup dengan digulung, dalamnya juga beralaskan bambu seperti di rumah Kyai, nampak banyak orang lelaki tiduran dengan nyenyak. Mereka ada sekitar 20 orang, kesemuanya lelaki. Kerana tempat para tetamu perempuan ada tempatnya sendiri.

Para tetamu ini bukanlah orang yang biasa-biasa. Seperti pak Udin, yang seorang tentara yang punya kedudukan di Angkatan Udara. Pak Yusup yang seorang Jaksa dari Jakarta, juga ada para pemilik perusahaan raksasa di Indonesia. Adalagi yang aku tidak tahu, kata temanku dua orang menteri, seorang Duta besar, juga ada artis, tukang cukur rambut, tukang es keliling dan lain-lain, semua tidur sama kedudukannya.

Siapakah sebenarnya Sang Kyai, akupun tak tahu pasti. Yang ku tahu lelaki muda usia itu, sering dipanggil Kyai Lentik, dari Ayahnya nasabnya sampai Sunan Gunung Jati, dari Ibunya sampai ke Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Kyai yang tuturnya lembut berkasih sayang kepada siapa saja. Pagi itu seperti biasa, mbok Titing, janda tua penjual sarapan pagi nasi uduk lewat di depan rumah Kyai. Umur tua dan tubuh yang mulai bongkok ditambah rinjing dipunggungnya yang penuh dengan nasi uduk bungkus diikat dengan selendang, tangan  kanannya menjinjing tas krawangan berisi lauk-pauk. Seperti biasa pula, nenek tua itu berhenti didepan pintu Kyai sambil menawarkan dagangannya, sekalipun dia tahu bahwa Kyai Lentik tiap hari puasa, nenek itu hanya menunggu Kyai menjawab teriakannya menawarkan dagangannya, "meser Kyai?" 'Ndak bogah duwit mbok". Dan cuma itu jawaban Kyai, sudah membuat girang bukan main, dan segera berlalu, tersenyum bahagia dan tak sampai setengah jam dagangannya sudah habis ludes dibeli orang.

Nenek itu sangat murung, apabila dia menawarkan dagangannya di depan pintu Kyai, tapi Kyai ternyata pergi, itu baginya berarti perjuangan seharian menawarkan dagangan, dan itupun belum tentu habis,

Itulah tiap pagi yang terjadi di pondok Pacung, lereng Gunung Putri. Masih banyak kejadian yang kadang tak masuk diakal di balik kesederhanaan Sang Kyai.

Waktu Maghrib itu, santri yang menjalankan puasa, telah selesai berbuka dengan singkong rebus dan air putih, seperti biasa juga Kyai ikut berbuka dengan kami dengan beralaskan daun pisang singkong yang sudah masak dituang di atas daun pisang dan dinikmati bersama-sama sambil jongkok, tak ada yang istimewa, tak ada Pecellele Lamongan, Rendang Padang, Soto Madura, Soto Babat bahkan nasi pun tak ada. Tapi tak pernah kami perduli, itu hanya makan, lebih baik makan apa adanya tapi untuk beribadah, daripada makan yang enak-enak ujung-ujungnya untuk berbuat maksiat.

Setelah makan kami mengelilingi toples yang berisi tembakau, itu barang berharga kami, tembakau oleh-oleh dari Lukman yang pulang dari "menjalani ngedan", kami semua mengalami, yaitu pergi tanpa bekal, menyerahkan diri di kehendak Allah Azza Wa Jalla, dengan pakaian compang-camping, sambil terus di hati mengingat Allah, berjalan kemanapun kaki melangkah, tanpa tujuan kecuali Allah, kalau lapar tak boleh meminta pada siapapun kecuali Allah, kadang mencari makan dari mengorek sampah, tidur kadang di hutan, sawah juga kuburan.

Nah, pada waktu itu setiap ada yang ngejalani ngedan, santri pada memesan "uthis" yaitu "puntung rokok di jalan", dikumpulkan sampai satu kresek nanti dibawa pulang, sampai di pondok dibuka satu-satu dipisahkan tembakau dan kertas rokoknya. Aku mengambil kertas koran lalu membuat lintingan, dari korek kapuk kunyalakan, kuhisap dalam dan asap pun bergumpal-gumpal keluar dari hidung dan mulutku, kadang kutiupkan asap sambil asap mengepul dari tembakau dan bau kertas koran yang terbakar, aku menengadah, sambil meresapi asap keluar dari mulutku, seakan suatu kenikmatan tiada tara, santri yang lain juga sepertiku.

Saat aku menengadahkan wajah entah untuk yang keberapa kali, kulihat melayang bayangan hitam di antara pohon kelapa yang banyak 
bertebaran, aku kaget sekali, jelas bayangan itu manusia yang melayang tak terlalu cepat, kerana saat petang maka bayangan itu kelihatan hitam. Bayangan itu melintasi pohon jengkol di dekat dapur sebelah kanan rumah Kyai, lalu melayang dengan indah turun di depan rumah Kyai.

Kami segera memburu ke arah orang itu, yang sejak tadi kami ribut menebak-nebak apa sebenarnya. Deg-degan kami menghampiri, ternyata bayangan yang terbang itu seorang wanita tua, rambutnya semua memutih, dia terbang menggunakan sajadah, jelas bahwa ilmu meringankan tubuhnya teramat tinggi, yang mungkin kalau sekarang kami tidak melihat dengan mata kepala kami sendiri, tentu kami akan menyangka ilmu seperti itu hanya ada dicerita silat, atau film di televisi, arahan imajinasi. Kami semua melongo melihat perempuan itu melipat sajadah yang tadi digunakan untuk terbang, aku teringat kisah Aladin, tapi ini nyata, perempuan tua tinggi kurus, berpakaian putih kusam ringkas membentak,

“Dimana Kyai Lentik, aku ingin mengadu ilmu.”

“Nyai siapa?” kataku menguasai keterkejutan.

“Aahh. mana Kyai Lentik? Haaii, Kyai keluar!!” katanya,

Kerana menantang-nantang dan sama sekali tak memperdulikan kata-kataku, aku pun segera bergegas menghadap Kyai, yang aku yakini tengah berada di Musholla menunggu sholat berjama’ah.

Aku khawatir perempuan tua itu ilmunya teramat tinggi, bagaimana nanti Kyai menghadapinya, setahuku Kyai tak punya ilmu kanuragan, juga tak pernah mengajarkan kanuragan, tapi memang kalau difikir-fikir aneh juga, kami para santri, tak pernah dilatih kanuragan, ilmu silat apapun kami tak tahu, kerana memang di Pondok Pesantren Pacung ini kami hanya diajar bagaimana mendekatkan diri pada Allah, bukan lewat teori tapi praktek, bagaimana bertawakal, syukur, houf, rojak, dan bagaimana membersihkan hati dari segala sifat yang menjadi penyakit hati. 

Tapi para penduduk sekitar juga para tamu yang datang, selalu berkeyakinan kalau pesantren ini adalah Pesantren Kanuragan, yang muridnya sakti-sakti kebal senjata, bisa terbang dan cerita-cerita yang dilebih-lebihkan, Aku masih 
takut bagaimana jadinya kalau Kyai bertarungdengan nenek sakti ini? Selama ini yang aku tahu Kyai sangat menguasai ilmu pengobatan, sakit apapun, dari sakit gila, sakit luar, penyakit dalam, sampai penyakit kena santet, kena guna-guna kena jin, kena narkoba, semua bisa disembuhkan, orang ingin jadi lurah, camat, bupati, gubernur, sampai mahu jadi presiden larinya ke Kyai, dan Kyai hanya mendo’akan saja,

Tapi kalau Ilmu Kanuragan, Aji kesaktian, aku tak tahu, aku jadi ingat ada seorang tentara mau dikirim menjadi pasukan. Pasukan penjaga perdamaian di Kuwait namanya Iqbal, dia datang dengan tamu yang lain mahu meminta Syareat Ilmu Kekebalan, dia ngantri dengan tamu yang lain lalu menghadap Kyai, pas giliran si Iqbal, Kyai bicara, sebelum Iqbal ngomong. Begitulah Kyai selalu tahu maksud kedatangan orang sebelum orang itu menyampaikan maksudnya. Bahkan tahu hari, tanggal, tahun kelahiran serta siapa bapak ibunya. Bahkan orang itu habis melakukan maksiat apapun Kyai pun tahu, dan kadang diucapkan Kyai tanpa tedeng-aling-aling. Begitu saja mengalir

Aku jadi ingat waktu aku pertama kali, datang ketempat Kyai. Kyai mengupas aku habis-habisan tentang pacar-pacarku. Apa yang kulakukan dengan si Hani, dengan Umi, dengan si Dyah dengan si Faty, Dina, semua disebutkan satu-satu oleh Kyai plus nama orang tua gadis itu. Jelas membuatku jengah, malu dan aku yang sebelumnya datang ke pesantren ini kerana bekerja yaitu membuat kaligrafi dari simen, akhirnya memutuskan untuk mondok dan belajar ilmu dari Kyai.

To be Continued.....

Peringatan; Dilarang Keras meng-copy, mem-posting, menyalin secara keseluruhan artikel ini. tanpa izin Admin Blog ini. Jika terjadi pelanggaran tersebut Anda akan ditindak mengikut Undang-Undang yang berlaku di negara Anda.
@Copyright by FortunaMedia.Com.

WARNING; It is forbidden to copy, post, copy this article entirely without Admin Blog permission. In case of any such violation you will be prosecuted following the applicable laws of your country.
@ Copyright by FortunaMedia.Com

Editor; Helmy Network

Ilustrasi Image; Doc, Fortuna Media

#indonesia, #misteri, #KisahKyaiLentik #KyaiLentik, #KisahSangKyai, #SangKyai,

VIDEO; 

Talqin Zikir Tareqat Samaniyah Bersama; Buya Arrazy Hasyim.MA Al-Minangkabawi

No comments