My Ghost Stories [16]
My Ghost Stories [16]
[Chapter 02-Part 16]
Aku masih berdiri di sisi ranjang dengan tatapan tak percaya. Keduanya sama sekali tidak menyadari kehadiranku. Aku bingung bagaimana menyebut mereka. Yang mana yang harus kupanggil Arvin dan hantu. Tapi tak perlu waktu lama sampai kuputuskan bahwa sipemilik hawa dingin adalah hantunya. Meski Aku masih tidak mengerti mengapa hantu itu begitu mirip Arvin.
Apakah si hantu hanya menyerupai wajah Arvin atau dia memang jiwa Arvin yang lain?
Tapi meski Aku pernah mendengar seseorang bisa memiliki dua jiwa dalam tubuhnya yang disebut 'alter ego', namun Aku tidak pernah mendengar bahwa salah satu jiwa itu bisa keluar lalu berusaha membunuh yang lain. Ini sangat membingungkan dan—mengerikan.
"Lee... pass...!" Kembali Arvin berkata dengan susah payah. Tapi sama sekali tak ada permohonan atau takut dalam suaranya. Dia terdengar marah pada sosok transparan penebar hawa dingin di atasnya.
"Pergi!" geram hantu di atas tubuh Arvin. "Kini giliranku! Kau sudah cukup menikmati kebahagiaan dengan menjadikanku sebagai tumbal. Sekarang waktunya kau pergi!"
Apa maksudnya?..Tapi tak ada waktu menunggu penjelasan. Aku merasa panik melihat Arvin semakin tidak bisa bernafas. Segera Aku bergerak ke arah mereka. Namun sebelum tanganku menyentuh tubuh si hantu, tiba-tiba Aku seolah tersedot kembali ke dalam tubuhku yang masih bersandar di dinding belakang lift dengan nafas memburu.
"Hhh... hhh... hhh...!"...Suara nafasku dan Arvin berbaur menjadi satu. Sementara itu lift terus bergerak menuju lantai-tingkat terakhir, lantai tujuan kami.
"Apa itu tadi?" tanyaku begitu nafasku lebih tenang.
"Ingatanku," gumam Arvin. Belum sempat dia menjelaskan lebih jauh, pintu lift terbuka di tingkat yang keseluruhannya merupakan area penthouse pemilik gedung apartment.
Semuanya masih sama mewah seperti saat Aku datang ke sini beberapa jam lalu. Tapi yang membuatku terbelalak, kini ada lebih dari sepuluh lelaki kekar ber-style-an jas-suit seperti orang-orang yang datang ke apartmentku dan memaksaku pindah.
"Nona, Anda tidak diterima di sini," suara berat lelaki yang berdiri di paling depan yang terdengar. Dia tampak begitu sangar dengan style-suit yang tidak dikancing dan kedua tangan berada di pinggang.
Di dalam, Aku sudah mengkerut ketakutan. Namun ragaku yang dikuasai Arvin menatap orang-orang itu dengan tenang dalam posisi masih bersandar agak membungkuk di dinding lift sementara kedua tangan bertumpu di paha.
"Apa kau tuli?!" Kali ini yang berbicara adalah lelaki di samping lelaki yang tadi. "Kembali ke apartmentmu lalu kemasi barang-barangmu! Kau sudah tidak diterima di gedung apartment ini!"
"Apa sebaiknya kita pergi saja?" tanyaku dengan nada khawatir.
Tapi seperti dugaanku, Arvin tak menanggapi. Tubuhku yang masih berada dalam kendalinya perlahan tegak, lalu berjalan dengan angkuh keluar lift.
"Di mana bos kalian?" tanya Arvin. Tentu saja bukan suara aslinya yang keluar, melainkan suaraku.
"Dasar jalang tidak tahu diri!" Lelaki yang berada di barisan depan mengumpat. "Kau sudah dipersilakan pergi baik-baik tapi memilih diseret, rupanya..."
Arvin tak menanggapi lagi. Perhatiannya mengarah ke sekeliling ruangan. Lalu Aku seolah melihat gambaran-gambaran kabur sosok Arvin di ruangan itu. Berjalan, tertawa sambil menelepon, berdiri tegak dengan secangkir kopi di tangan dan tatapan mengarah pada pemandangan di luar dinding kaca. Serta gambaran-gambaran lain yang bergerak cepat hingga tak bisa kutangkap jelas.
Apa ini juga ingatan? ...Lalu pandangan Arvin berhenti kembali pada lelaki yang bertindak sebagai pemimpin di antara orang-orang itu. Dengan sikap tenang dan tatapan kosongnya dia berkata, "Suruh makhluk itu keluar atau Aku sendiri yang akan mendatanginya. Aku tahu dia di dalam sana."
Ucapan Arvin tentu membuat murka para lelaki berbadan kekar itu. Mereka tak mengatakan apapun lagi, kompak menarik pist01 yang terselip dibalik jas-suit hitam mereka lalu mengarahkannya pada kami.
"Arvin...," panggilku dengan suara bergetar, bermaksud mengingatkan agar dia segera melakukan sesuatu dan bukannya terus berdiri diam bak patung.
Tapi lagi-lagi Arvin tetap bergeming. Hingga akhirnya suara tembakan terdengar memekakkan kerana keluar dari tiga moncong pist01 sekaligus yang mengarah pada satu titik. Kami.!
Refleks kupejamkan mata, tak berani menyaksikan benda-benda logam mengerikan itu mengenai tubuhku. Tapi beberapa detik menunggu, tak ada rasa sakit yang kuduga akan kurasakan.
"Hah? Bagaimana bisa?"..."Pelurunya melayang!"
"Bagaimana dia melakukannya?!"...Suara-suara itu membuatku penasaran untuk membuka mata. Dan Aku dibuat tertegun menyaksikan tiga peluru melayang sepuluh senti di depanku. Satu mengarah kening dan dua lainnya mengincar dada.
Sementara itu sikap tubuhku tetap tenang. Malah kini jemariku bergerak mengambil tiga peluru yang melayang itu satu per-satu dengan tangan kiri lalu diletakkan di atas tangan kanan yang terbuka. Suara terperanjat dari lelaki-lelaki di depan sana sama sekali tak mengganggu.
"Kalian tidak mahu menyuruh bos kalian keluar?" tanya Arvin tenang. Saat pertanyaannya tak mendapat tanggapan, dia melanjutkan, "Baiklah."
Lalu dalam gerakan tiba-tiba yang bahkan Aku sendiri tak bisa menduganya, Arvin bergerak melempar ketiga peluru itu sekaligus. Dua peluru langsung menghantam bahu dua orang. Sementara satu peluru mengarah pada dinding kaca tebal di belakang sana hingga terdengar suara keras memekakkan telinga akibat kaca pecah.
PHRAAANGGG!..."Arrgghh!"...Para lelaki yang semula berjumlah dua belas dan kini tersisa sepuluh orang yang masih berdiri tegak, tampak saling pandang dengan perasaan gentar. Tapi itu tak lantas membuat mereka mundur lalu lari ketakutan. Mereka langsung menghujani kami dengan tembakan bertubi-tubi. Namun tidak ada satupun yang mengenai tubuhku. Arvin hanya mengibaskan tangan membuat peluru-peluru itu berubah arah mengenai seluruh ruangan dan beberapa kembali pada si penembak.
Dalam suasana gaduh itu, tampak kelibat bayangan beberapa orang setengah berlari menuju pintu di sudut seberang ruangan. Lokasinya agak tersembunyi dari bagian depan penthouse tempat kami berada hingga bisa saja mereka melarikan diri tanpa ketahuan. Namun sayang, Aku melihat mereka dari sudut mata saat Arvin tengah fokus pada para penembak.
"Arvin, di sana!" teriakku dan berniat menunjuk. Tapi tentu saja tidak ada gerakan yang bisa kulakukan.
Arvin menoleh lalu mengumpat kesal. Dalam satu kibasan, dia menepis orang-orang itu bagai lalat hingga terlempar menghantam dinding dan perabotan.
"Dia berniat melarikan diri melalui tangga darurat," geram Arvin seraya mempercepat langkah menuju pintu di sudut ruangan yang ternyata menuju tangga darurat.
"Kenapa dia berniat kabur?" tanyaku bingung. "Jika benar dia hantu yang berhasil merebut tubuhmu, bukankah seharusnya dia lebih kuat untuk melawanmu?"
Kami sudah tiba di depan pintu namun pintunya tak bisa terbuka dengan mudah. Sepertinya dikunci dari luar. Tapi tentu itu bukan masalah bagi Arvin. Dengan sekali sentak, daun pintu lepas dari engselnya dan langsung terbuka lebar.
"Sepertinya sekarang Aku tahu kenapa dia bersikeras membuatmu keluar dari apartment itu. Dia takut kau membantuku keluar dari sana dan membuatku berdekatan dengannya, seperti yang kau lakukan sekarang."
"Memangnya kenapa?"
"Tampaknya jika tubuh kami dekat, semua ingatanku akan kembali dan mungkin—ragaku akan melemparnya keluar sedangkan jiwaku yang akan kembali ke sana, tubuh asalnya. Bagaimana pun, tubuh yang dia gunakan bukan tubuhnya sendiri dan dia mengambilnya secara paksa. Tentu akan ada penolakan."
"Tapi—apa sebelumnya kau tidak pernah mencoba masuk ke tubuh orang lain yang menyewa apartment itu?"
"Sudah kucoba. Tapi tidak bisa. Hanya kau yang bisa kurasuki."
Ah, ternyata seperti itu. Sekarang Aku tidak hairan lagi kenapa si hantu Arvin sangat ingin Aku keluar dari apartment yang kutempati.
Tangga yang harus kami lewati sangat banyak. Empat orang itu—yang salah satunya merupakan hantu Arvin—sudah jauh di bawah kami. Tapi dengan tenang Arvin mengikis jarak. Dia melompati susuran tangga lalu mendarat di bawah, membuat kami kini hanya berjarak beberapa meter di atas hantu Arvin.
"Temb4k dia!" seru hantu Arvin memberi perintah namun dirinya tetap bergegas turun.
Dengan patuh, tiga orang pengawalnya berhenti lalu berbalik seraya menghujani kami dengan peluru. Masih sama tenang seperti tadi, Arvin mengibaskan tangan menyingkirkan peluru-peluru itu, membuat ketiga penembak terbelalak kaget.
Sadar lawan mereka memiliki kekuatan aneh yang tidak akan bisa mereka lawan, dua orang langsung berbalik kabur dan memutuskan menyusul hantu Arvin. Tapi satu orang dengan berani tetap berdiri tegak. Kedua tangan menggenggam pistol dengan mantap lalu melepaskan tembakan.
Tentu lagi-lagi ini bukan hal sulit bagi Arvin. Tapi tiba-tiba, kelibat ingatan kembali menghantam kami. Kali ini kami seperti berada di kamar mandi menatap cermin. Pantulan sosok Arvin di dalam cermin menatap dengan marah sambil melontarkan umpatan-umpatan yang menyakitkan pendengaran.
"Arrgghhh!".., Aku memekik kesakitan. Kali ini bisa kurasakan dengan jelas seluruh tubuhku yang terjatuh di atas tangga lalu terguling sejauh dua anak tangga. Seluruh tubuhku terasa sakit. Tapi yang paling sakit di bagian pundak, tempat peluru tadi bersarang.
"Kalian, cepat kembali!"...Terdengar seruan dari bawah sana. Tapi Aku tak bisa lagi memperhatikan. Nafasku terengah-engah sementara pandanganku mulai berkunang-kunang. Bahkan saat derap langkah kaki terdengar mendekat, kesadaranku perlahan hilang dengan fikiran terakhir.
Arvin, di mana kau? Apa kau berhasil kembali ke tubuhmu? [hsz]
To be Continued...
Editor ; Romy Mantovani,
Kredit Ilustrasi image ; wattpad.com
No comments
Post a Comment