Dari Biografi Bung Karno: 'Aku Dikutuk Seperti Bandit dan Dipuja Bagai Dewa'
Fazryan87.blogspot.com -- Dari Biografi Bung Karno: 'Aku Dikutuk Seperti Bandit dan Dipuja Bagai Dewa'
“Tidak
seorang pun dalam peradaban moden ini yang menimbulkan demikian banyak
perasaan pro-kontra seperti Sukarno. "Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa,” kata Bung Karno dalam buku Bung Karno: Penyambung
Lidah Rakyat oleh Cindy Adams.
(Foto;Bung Karno dengan Ernesto Che Guevara)
Sekilas Tentang Kota Blitar,
Kota
Blitar merupakan sebuah kota yang terletak di bagian selatan Provinsi
Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak sekitar 167 km sebelah selatan
Surabaya. Kota Blitar terkenal sebagai tempat dimakamkannya presiden
pertama Republik Indonesia, Sukarno.
Berdasarkan legenda, dahulu bangsa Tartar dari Asia Timur sempat menguasai daerah Blitar yang kala itu belum bernama Blitar. Kerajaan Majapahit saat itu merasa perlu untuk merebutnya. Kerajaan adidaya(super power) tersebut kemudian mengutus Nilasuwarna untuk memukul mundur bangsa Tartar.
Keberuntungan berpihak pada Nilasuwarna, ia dapat mengusir bangsa dari Mongolia itu. Atas jasanya, ia dianugerahi gelaran sebagai Adipati Aryo Blitar I untuk kemudian memimpin daerah yang berhasil direbutnya tersebut. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembali pulangnya bangsa Tartar.[1]
Berdasarkan legenda, dahulu bangsa Tartar dari Asia Timur sempat menguasai daerah Blitar yang kala itu belum bernama Blitar. Kerajaan Majapahit saat itu merasa perlu untuk merebutnya. Kerajaan adidaya(super power) tersebut kemudian mengutus Nilasuwarna untuk memukul mundur bangsa Tartar.
Keberuntungan berpihak pada Nilasuwarna, ia dapat mengusir bangsa dari Mongolia itu. Atas jasanya, ia dianugerahi gelaran sebagai Adipati Aryo Blitar I untuk kemudian memimpin daerah yang berhasil direbutnya tersebut. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembali pulangnya bangsa Tartar.[1]
Hey
Dude,! Pada artikel tagged 'tokoh' kali ini saya akan menulis tentang
tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang tak pernah habis kisahnya
kembali ditulis orang yang mengaguminya,termasuk saya pribadi.
Di antara sekian banyak biografi tentang proklamator RI, Presiden Soekarno, karya Cindy Adams-lah yang paling kuat dan hidup kerana ditulis berdasar penuturan langsung Bung Karno.
Kali pertama muncul dalam bahasa Inggeris pada 1965 dengan judul Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, buku itu kemudian diterjemahkan berulang-ulang dalam bahasa Indonesia dengan judul Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Berhasilnya Cindy Adams mendekati Sukarno Itu bermula dari aktiviti suaminya, Joey Adams. Dia adalah seorang komedian dan entertainer yang menjadi presiden seluruh aktor di Amerika era itu. Pada 1961, dia dikirim Presiden Kennedy sebagai duta kebudayaan untuk wilayah Asia Tenggara. Dia dan teamnya mengadakan pertunjukan di Istana Negara di Jakarta. Di situlah kali pertama Cindy Adams bertemu 'Bapak'( Cindy selalu menggunakan kata ”Bapak” untuk menyebut Soekarno,pen)[2].
Di antara sekian banyak biografi tentang proklamator RI, Presiden Soekarno, karya Cindy Adams-lah yang paling kuat dan hidup kerana ditulis berdasar penuturan langsung Bung Karno.
Kali pertama muncul dalam bahasa Inggeris pada 1965 dengan judul Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, buku itu kemudian diterjemahkan berulang-ulang dalam bahasa Indonesia dengan judul Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Berhasilnya Cindy Adams mendekati Sukarno Itu bermula dari aktiviti suaminya, Joey Adams. Dia adalah seorang komedian dan entertainer yang menjadi presiden seluruh aktor di Amerika era itu. Pada 1961, dia dikirim Presiden Kennedy sebagai duta kebudayaan untuk wilayah Asia Tenggara. Dia dan teamnya mengadakan pertunjukan di Istana Negara di Jakarta. Di situlah kali pertama Cindy Adams bertemu 'Bapak'( Cindy selalu menggunakan kata ”Bapak” untuk menyebut Soekarno,pen)[2].
Baca juga ; Kisah Jasad Para Tokoh Dunia Yang Diawetkan,Masih Utuh Bertahun-Tahun.
Kota Blitar adalam tempat pemakaman Bung Karno. Namun, sebenarnya, sebelum wafatnya, Bung Karno sempat berwasiat ingin dimakamkan “di antara bukit yang berombak, di bawah pohon rindang, di samping sebuah sungai dengan udara segar.” Tempat itu adalah halaman rumahnya di Batutulis, kota Bogor Jawa Barat.
Permintaan terakhir Bung Karno tersebut ternyata ditolak oleh regim Orde Baru (era Suharto)Kemungkinan, Orde Baru takut makam Bung Karno di Bogor akan menjadi tempat ziarah yang dapat menjadi pencetus gerakan politik, yang akan berimbas ke Jakarta, pusat kekuasaan, yang jaraknya tak jauh dari Bogor. Maka, Bung Karno pun dimakamkan di Blitar, di samping makam bundanya.
Kenyataannya, meski telah dimakamkan lebih dari 40 tahun lampau, Bung Karno masih tetap “hidup” sampai sekarang, bukan saja dalam skala nasional, tapi juga internasional. “Sejarahlah yang akan membersihkan namaku!” kata Bung Karno suatu ketika.
Bung Karno memang punya andil(peranan) yang tak terkira kepada bangsa ini. Selain sebagai proklamator kemerdekaan, Bung Karno juga berhasil menyatukan bangsa besar Indonesia untuk bersama-sama merebut kemerdekaannya.
Dan, Bung Karno melakukan itu “hanya” dengan “bahasa”, dengan pidato-pidatonya yang memukau, bergelora, dan berani. “Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru!
"Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air dan aku akan mengguncang dunia!” demikian salah satu petikan pidato Bung Karno yang sangat terkenal.
Yang menakjubkan, Bung Karno tidak hanya berjuang untuk bangsanya sendiri. Bung Karno adalah tokoh dunia yang sangat berani dalam membela bangsa-bangsa tertindas, terutama di Asia dan Afrika. Bung Karno mengobarkan semangat bangsa-bangsa lain untuk melawan “imperialisme dan kolonialisme Barat”.
Namun, sejarah mencatat, apa yang dilakukan Bung Karno tak lepas dari peranan mentor politiknya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto,(baca; Haji Umar Said Cokroaminoto) pemimpin Parti Sarekat Islam, gerakan politik prakemerdekaan yang memiliki basis penerimaan paling luas. Kelak kemudian, Tjokro juga menjadi mertua Bung Karno.
Bung Karno menyebut rumah Tjokro sebagai “dapur revolusi Indonesia”. Beliau memang pernah tinggal di rumah Tjokro, sewaktu menempuh pendidikan sekolah menengah (Hogere Burger School) di Surabaya.
Di rumah itulah Bung Karno berkenalan dengan banyak tokoh politik dan pergerakan kemerdekaan. Juga menimba banyak ilmu.
Di rumah Tjokro, beliau mengenal langsung Ki Hadjar Dewantoro, misalnya. Ki Hadjar Dewantoro adalah pemrakarsa(initiators) gerakan pendidikan Taman Siswa dan satu dari “Tiga Serangkai” pendiri Indische Partij, partai radikal pertama yang menyerukan kemerdekaan Indonesia secara tuntas dari Belanda.
Dari Ki Hadjar, Bung Karno belajar bagaimana menyatukan pandangan Barat dengan pandangan tradisional Jawa.
Bung Karno juga berkenalan dengan Hendrik Sneevliet, pendiri Indische Sociaal Democraticshe Vereeniging, cikal-bakal Partai Komunis Indonesia. Juga dengan Alimin, yang Bung Karno sebut sebagai “orang yang memperkenalkan saya pada marxisme”.
Yang juga ikut berperanan dalam pembentukan karakter dan perjalanan Bung Karno sebagai Bapak Bangsa adalah kehidupan semasa menjadi mahasiswa di Technische Hoogeschool (kini Institut Teknologi Bandung). Pada masa ini, beliau bertemu dengan Ernest FE Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, dua tokoh lain dari “Tiga Serangkai”. Wakil khusus dari Douwes Dekker, Bung Karno banyak mempelajari gagasan nasionalisme sekuler.
Di Bandung pula untuk pertama kalinya Bung Karno terjun ke kancah politik aktif, dengan mendirikan Kelab Studi Umum pada tahun 1926. Kelab Studi Umum adalah sebuah kelab diskusi yang berubah menjadi gerakan politik radikal.
Nama Kelab Studi Umum dan Bung Karno semakin berkibar-kibar ketika Bung Karno tahun 1927 menulis artikel-artikel di bawah tajuk “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” dalam Indonesia Moeda, media yang diterbitkan Kelab Studi Umum.
Melalui artikel-artikelnya itu, Bung Karno menegaskan pentingnya sebuah persatuan nasional, satu front bersama kaum nasionalis, islamis, dan marxis dalam perlawanan tanpa-kompromi (non-kooperatif) terhadap Belanda.
Sebelumnya, gagasan tersebut juga telah diungkapkan Mohammad Hatta, tokoh Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, sejak tahun 1923. Namun, gagasan itu lebih bergema di tangan Bung Karno kerana Bung Karno menterjemahkan gagasan tersebut dalam bahasa yang lebih mudah difahami masyarakat plus gaya orasinya yang memikat. Gagasan yang diutarakan Bung Karno itu pun mampu mengilhami 'Sumpah Pemuda 1928'.
Kelak, Bung Karno dan Hatta bersama-sama harus menghadapi masa-masa awal kemerdekaan yang sulit. Tapi, sejarah mencatat, Tokoh Dwi Tunggal ini mampu melawan tantangan serius dari dalam negeri, termasuk pemberontakan di berbagai daerah dan dari luar negeri, misalnya agresi militer dan ketatnya diplomasi dengan Belanda. Sayangnya, hubungan Bung Karno dan Hatta kemudian renggang.
Bahkan, kemudian, Bung Karno bersikap keras dengan kawan perjuangannya yang menjadi lawan politik atau yang mengkritik dirinya, seperti Sutan Sjahrir, Tokoh Perdana Menteri Pertama Indonesia itu ditahan Bung Karno dan meninggal di Switherland (Swiss)kerana sakit dalam status masih sebagai tahanan.
Bung Karno juga membubarkan secara langsung Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia. Juga memberangus pers(media akhbar)dan memenjarakan wartawan jihad Mochtar Lubis.
“Tidak seorang pun dalam peradaban moden ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro-kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa,” kata Bung Karno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat oleh Cindy Adams.
____________________
Courtesy to reference/resource;
[1] id.wikipedia.org/wiki/Kota_Blitar
[2] jawapos.co.id//mengenal-cindy-adams-html
[adaptasi] Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat oleh Cindy Adams via pribuminews.com
No comments
Post a Comment