Menelusuri Stigma Negatif Budaya "Carok"Etnik Madura

i<img src="CAROK MADURA.jpg" alt=" Menelusuri Stigma Negatif Budaya "Carok"Etnik Madura">
                                             Ilustrasi Foto;Pencak Silat

Prolog;

Sekitar awal tahun awal 50an hingga 90an Semenanjung Malaysia(Malaya waktu itu),kedatangan para penghijrah,pedagang dan pencari kerja dari Negeri-negeri di Pulau Sumatera,Pulau Jawa,Pulau Kalimantan,Pulau Madura,Pulau Bawean(Di Malaysia disebut Boyan)Pulau Sulawsi,Pulau Lombok Hingga dari Pulau Flores.

Dan kedatangan penghijrah tersebut waktu itu bagaikan penghijrah antar pulau di Nusantara melalui laut.Dimana sangat kurang yang menggunakan pasport.Apalagi waktu itu penjajah British sangat memerlukan pekerja/buruh dipelbagai sektor selain pekerja yang di import dari benua kecil India.

Baca; 5 Keistimewaan Wanita Madura yang Membuat Para Lelaki Bertekuk Lutut


Dan setelah Malaysia Merdeka penghijrah dari Pulau Sumatera,Pulau Jawa,Kalimantan(etnik Banjar)Pulau Madura dan Pulau Bawean sangat mendominasi populasi pendatang waktu itu.

Maka bermunculanlah waktu itu apa yang disebut sebagai perkampungan "Setinggan" yaitu para pendatang dari Madura dan Bawean membina perumahan/perkampungan sesama etnik mereka di tanah-tanah kerajaan.Yang sangat mencolok waktu itu di sekitar daerah Kuala Lumpur,Negeri Selangor dan Negeri Pahang.

Dan waktu itulah di daerah pemukiman "setinggan" ataupun di rumah-rumah kongsi(rumah penempatan pekerja/buruh).Masyarakat Malaysia dikejutkan apa yang dinamakan "Carok",pembunuhan kejam yang berlaku akibat dendam lama dari persoalan perempuan sama ada punca yang berlaku di Malaysia ataupun "dendam lama" yang dibawa dari Madura.

Alhamdulillah,sekitar awal 90an,dengan kesigapan dan kecekapan Polis DiRaja Malaysia(PDRM),bagian Siasatan Jenayah Bukit Aman dapat membanteras gejala Carok tersebut untuk meluas dan berkembang kepada etnik/suku pendatang lainnya.PDRM,melakukan berbagai cara pendekatan musyawarah dengan ketua-ketua masyarakat tersebut dan mana -mana pelaku pembunuhan di hukum setimpal dengan jenayah yang dilakukan.

<img src="CAROK MADURA.jpg" alt=" Menelusuri Stigma Negatif Budaya "Carok"Etnik Madura">
                                           Ilustrasi Foto;Wanita Madura

Budaya Carok: Hak, Harga Diri dan Wanita

Dr. A. Latief Wiyata menyatakan bahwa budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotype tentang orang Madura, dan lahir citra yang tidak menguntungkan. Lebih daripada itu, pandangan mereka terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura selalu cenderung negatif.

Kekerasan khas orang Madura (carok) dan konflik-konflik yang terjadi tampaknya sangat mempengaruhi perhubungan antara orang Madura dengan suku lain –semisal suku Dayak di Kalimantan – dan menciptakan ketakutan pada suku lain, sekalipun mereka tidak pernah berinteraksi langsung dengan orang Madura.

Padahal carok bagi orang Madura terjadi akibat pelanggaran terhadap kehormatan orang Madura, misalnya berkenaan dengan hak, wanita, keluarga, dan agama. Dengan kata lain, Carok tidak sembarang terjadi, tetapi ia terjadi ketika berkaitan dengan pelecehan terhadap harga diri dan kapasiti diri.

Kapasiti diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peranan dan statusnya dalam struktur sosial. Dalam prakteknya, peran dan status sosial ini tidak cukup hanya disadari oleh individu yang bersangkutan, melainkan harus mendapat pengakuan dari orang lain atau lingkungan sosialnya. Oleh kerana itu dalam perhubungan/pergaulan sosial antara satu orang dengan yang lainnya harus saling menghormati, saling menghargai status dan peran sosial masing-masing.
Baca Juga; Inilah Keistimewaan Wanita Madura yang Perkasa & Mandiri dan Pekerja Keras


Pandangan Lelaki Madura Tentang Wanita

Tiang penyangga kuatnya tradisi Madura tak lepas dari prinsip “Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata“ maksudnya "lebih baik mati daripada menanggung malu". Ungkapan ini berlaku demi untuk mempertahankan martabat, hak dan harga diri sebagai orang Madura. Dan biasanya timbulnya perselisihan tidak lepas dari permasalahan lingkungan dan wanita.

Dan tentang wanita sendiri, bagi lelaki Madura mendapat tempat tertinggi, kerana dari wanitalah kaum lelaki di Madura menjadi lebih bersemangat, dan dari kaum wanita pula dapat menimbulkan berlakunya pembunuhan. Kerana tingginya kedudukan wanita Madura, maka kaum wanita khususnya para gadis dikonotasikan dengan 'perlambang melati'. Maka tak hairan falsafah 'melati' menjadi pujian bagi orang-orang tua Madura dengan ucapan “duh tang malate ta’ geggher polana ojhen, ban ta’ elop polana panas are”, artinya; "oh, melatiku, yang tak gugur kerana hujan dan tak layu kerana panas matahari".

Jadi kalaupun dalam suatu peristiwa carok lantaran wanita hal itu telah merupakan kenyataan yang tak mungkin dihindarkan. Demikian pula masalah hak. Permasalahan ini erat kaitannya dengan permasalahan lingkungan yang dijajah atau diganggu oleh pihak lain. Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan dengan permasalahan irigasi(pengairan) yang merupakan penentu kelangsungan hidup bagi masyarakat setempat. Kerana hanya air yang menjadikan mereka dapat bertahan.
Tapi dalam kondisi yang lain, peranan wanita Madura dibandingkan dengan kaum lelaki belum seluas sebagaimana peran-peran yang dilakukan wanita-wanita kota besar, meskipun pada dasarnya wanita Madura telah mengenal persamaan hak dan kewajiban dengan suami. Atau dengan kata lain bisa disebut semacam emansipasi pembawaan naluri.

Seorang istri mampunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting untuk menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga. Mereka bersama-sama turun ke ladang membanting tulang dan memerah keringat hingga “ agili pello koneng “ (mengalir keringat kuning), maksudnya "bekerja keras sampai tuntas". Rasa kebersamaan kerja ini juga berlaku dipasar, dilaut, atau juga dimana saja sang suami membanting tulang.
Namun demikian satu kelebihan wanita Madura, tugas-tugas yang lain, baik sebagai ibu dari anak-anaknya maupun sebagai pendamping suami dari menyiapkan makan dan minum maupun tetek bengek lainnya, sang istri akan selalu setia melayani. Tetapi didalam persamaan hak tersebut, wanita Madura menurut tradisi harus selalu hidup dibawah kekuasaan lelaki (suami). Artinya wanita Madura harus tunduk, patuh, taat dan menyerah pada kemauan suami dan tidak dibenarkan untuk menolak maupun membantah. Bahkan untuk menentukan perkawinan diteruskan atau diputuskan. Dan apabila suami tidak mampu memberikan keturunan, biasanya sang suami mengambil inisiatif untuk mentalaq atau kawin lagi dengan alasan demi meneruskan keturunan.
Demikian pula sebaliknya sang suami tidak akan merestui bila istri berkehendak minta cerai. Kecuali bila suami melepaskan dengan suka rela.

Tapi hal itu jarang dan sulit terjadi, kerana menyangkut prestige dan harga diri sebagai lelaki yang harus dipertahankan. Kalaupun sampai terjadi, maka akan berakibat buruk dan berkepanjangan, terutama kalau perkawinan terjadi antar keluarga. Hubungan keluarga akan menjadi retak. Akibat yang lain bila suatu ketika bekas istrinya kawin lagi dengan lelaki lain, maka tak ayal akan terjadi dan timbul permusuhan, cemburu dan sakit hati bekas suaminya.
Apalagi dikemudian hari bekas istri menemukan kebahagiaan lain.

Pada prinsipnya, para suami Madura biasanya bersikap keras dan tegas dalam membela kehormatan dan kesudian istrinya. Dan umumnya pangkal utama timbulnya perselisihan dari kaum wanita. Sehingga tak hairan timbulnya carok, kadang hanya masalah sepele, yaitu lantaran bekas istri dilamar atau berkawin dengan leaki lain.
Terkadang konflik antara dua orang biasanya merembet melibatkan orang lain, antar keluarga, kerabat bahkan sampai melibatkan semua penduduk kampung.

Peristiwa carok antar kampung yang cukup mengerikan pernah terjadi beberapa tahun lampau, tepatnya di Bangkalan. 'Carok massal' itu terjadi antara penduduk desa Bilaporah dengan penduduk Jodih saling berhadapan dengan clurit ditangan. Dan akibatnya 5 orang maut serta beberapa puluh lainnya luka-luka parah. Kejadian ini sempat menggegerkan masyarakat Bangkalan khususnya, hingga membuat Bupati, Polisi, Tentara dan para Ulama prihatin dan turun tangan.

Dan banyak contoh-contoh lain yang kerap terjadi peristiwa carok di Pulau Madura maupun daerah-daerah lain di Jawa yang kebanyakan dilatar-belakangi oleh adat istiadat yang dibawa dari Madura.
Beberapa pendapat mengatakan, pengertian carok sebenarnya duel antara satu melawan satu. Itupun dilakukan dengan unsur sengaja. Artinya kemampuan dan ketinggian ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan diketahui bila tanpa dibuktikan dilapangan. Jadi bila seseorang telah memungkinkan untuk menjajal/mempamerkan ketinggian ilmunya, maka biasanya ia dengan sengaja mengganggu ketentraman orang lain, baik mengganggu keluarga maupun istri seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan ilmu yang setara. Bila tak hairan akan memancing dan merangsang emosi pihak yang keluarganya diganggu untuk menantang carok.

Nah saat itu pula mereka mengadakan perjanjian menetukan waktu dan tempat bertarung dengan disaksikan beberapa orang/tokoh yang lain.
Sementara pendapat yang lain mengatakan, carok pada awalnya merupakan suatu bentuk permainan pentas yang dilakukan masyarakat Madura tradisional. Menurut cerita, pentas semacam itu tiap-tiap daerah mempunyai nama tersendiri. Di daerah Sampang menyebut “karja” di Pamekasan menyebut “ salabadhan”, sedang di Sumenep disebut “pojhian”.
Pentas semacam tersebut digelar dalam bentuk teater arena (semacam Lenong Rumpi). Jadi antara pelaku dan penonton tidak ada jarak, mereka bergantian tampil sesuai dengan karakter masing-masing dengan diiringi “saronen”, yaitu sejenis tabuhan yang biasa dialunkan sebagai pengiring karapan sapi (lumba lembu) atau hajat lainnya, merupakan jenis musik tradisional Madura.
 
Dalam event tersebut biasanya menampilkan nama-nama tokoh artificial sebagai pengantar cerita kepahlawanan yang menggambarkan tokoh-tokoh Madura seperti Sakerah, Ke’ Lesap dan sebagainya. Dalam babak tersebut diperagakan suatu bentuk perkelahian sebagai klimaks cerita.
Bahkan pernah sampai terjadi perkelahian sungguhan, dan mengakibatkan salah seorang diantaranya maut. Melihat latar belakang peristiwa tersebut, kerana orang-orang Madura telah terlanjur diklaim sebagai orang yang berwatak keras, bringas dan “mbalelo”. Maka setiap perkelahian dan menjatuhkan korban yang dilakukan orang Madura, dianggap sebagai perkelahian carok.


Ironisnya, pada gilirannya masyarakat luar Madura memandang Madura sebagai wujud berindentik kekerasan dan Carok. Padahal bila ditelusuri lebih jauh, justru di Madura banyak terkandung nilai-nilai luhur. Baik dari segi sosial budaya, sosial masyarakat maupun sosial ekonomi. Dengan demikian, prospek masyarakat Madura bak mutiara dalam bukit tanah kapur.

Dan dibalik itu untuk membangun kembali citra positif,tentang stigma negatif etnik Madura memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran bahwa membangun citra positif harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi: “Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura” (Cuma orang Madura yang mengerti bahasa Madura).
Semangat untuk memajukan Madura ini harus terus diperjuangkan seperti yang tercermin dalam sajak D.Zawawi Imrom dalam kumpulan puisi Celurit Emas-nya:
“Bila musim melabuh hujan tak turun.
Kubasahi kau dengan denyutku.
Bila dadamu kerontang.
Kubajak kau dengan tanduk logamku.


Di atas bukit garam kunyalakan otakku.
Lantaran aku tahu.
Akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu.

Aku berani mengejar ombak.
Aku terbang memeluk bulan.

Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku.
Di bubung langit ku-ucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu”.

 Fail Rujukan;
www.lontarmadura.com

No comments